Oleh: Moh. Shofan
Buya Syafii Maarif, yang pada 31 Mei lalu genap berusia 85 tahun, dikenal sebagai Sejarawan, Cendekiawan Muslim modern yang pluralis, inklusif, moderat, terbuka dan toleran, bahkan menjadi salah seorang dari sedikit Guru Bangsa yang kita miliki hari ini. Di usia senjanya, Buya Syafii, kelahiran Sumpur Kudus, Minangkabau, yang dijuluki “Makkah Darat”, ini tetap gemar membaca, dan terus menulis mengumandangkan seruan dan kritiknya yang keras dan tajam saat melihat ada masalah yang tidak beres di negerinya. Itu dilakukannya tak lain demi memperbaiki nasib bangsa yang sangat dicintainya.
Boleh dibilang, sepeninggal tokoh-tokoh besar seperti: Cak Nur (Prof. Dr. Nurcholish Madjid), Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), mungkin hanya Buya Syafii-lah yang kini menjadi benteng moral dan guru bangsa yang tersisa—tanpa bermaksud menafikan nama dan tokoh lainnya. Buya Syafii, nyaris bergerak dan berjalan sendirian. Banyak sekali orang bersetuju dengan gagasan gagasannya yang brilian nan cerdas, kritiknya yang keras, namun sedikit sekali–jikalau ada–yang berani menyuarakan kebenaran di tengah rimba perebutan kepentingan dan kekuasaan.
***
Tanpa bermaksud melebih-lebihkannya, pemikiran dan karya intelektualnya harus diakui telah membawa pengaruh besar dalam pembentukan tradisi intelektualisme Islam di Indonesia. Jika kita telisik karya karya tulisnya, Buya hampir tak pernah absen berkhutbah tentang nilai-nilai kemanusiaan universal, mengumandangkan moralitas, dan keadaban publik.
Tak jarang khutbah-khutbah ilmiahnya banyak menimbulkan kesalahpahaman. Jumlah umat Islam yang mayoritas di bumi nusantara ini, mendorong Buya tak pernah berhenti mengingatkan agar tidak lagi mempersoalkan hubungan trilogi antara Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga konsepsi tersebut, menurutnya, haruslah senafas dan seirama agar Islam yang berkembang di Indonesia adalah benar-benar Islam yang berkemajuan, ramah, terbuka, dan rahmatan lil ‘alamin.
Sembari mengutip ungkapan gurunya Fazlur Rahman, Buya mengatakan bahwa Islam yang tidak memberikan solusi bagi urusan kemanusiaan, bukanlah Islam yang sejati dan tidak memiliki masa depan. Bagi Buya, agama (Islam), termasuk segala hal yang ada di dalamnya seperti Kitab Suci dan bahkan Nabi, adalah untuk manusia, dan bukan untuk Tuhan. Sikap inilah yang membedakan dengan sikap kebanyakan Muslim yang masih sangat teosentris, yakni segala hal yang ada dalam agama hampir selalu masalah Tuhan. Sedangkan perihal manusia justru terlupakan.
***
Untuk menyebut beberapa kegelisahan Buya Syafii yang sampai dengan hari ini terus-menerus dipikirkannya adalah mengentalnya budaya arabisme di masyarakat. Buya mengingatkan agar umat Islam bisa membedakan antara Arabisme dan Islam.
Dalam hal ini, umat Islam juga perlu cerdas dalam memaknai antara Islam sebagai substansi atau sebagai simbol. Pada saat yang sama juga bisa membedakan antara Islam yang otentik dan kebudayaan yang menyertainya. Sehingga tidak mewariskan misguided arabism.
Buya Syafii menilai pemakaian simbol-simbolAarab di ruang publik bisa dimaknai sebagai wujud ketidakpercayaan diri umat Islam Indonesia akan entitas budayanya sendiri. Buya bukan anti-Arab, hanya saja ia selalu menyerukan agar bersikap kritis bahwa Arab dan Islam adalah dua variabel yang berlainan dan harus dibedakan. Buya ingin agar Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap berbagai persoalan bangsa dan negara.
***
Buya, melayarkan impian Islam yang berkemajuan, Islam yang sejalan dengan nilai-nilai modernitas, Islam Nusantara yang menghargai keragaman (budaya, suku, bahasa, etnis dan agama), Islam yang ramah, Islam yang menyapa, Islam yang menyalakan lilin harapan untuk membangun bersama-sama negeri ini menjadi lebih baik. Keinsyafannya akan realitas pluralisme masyarakat ini melampaui dasar-dasar keyakinannya sebagai pemeluk Islam. Meskipun demikian, hal itu tidak kemudian mengubah kesetiaannya kepada Islam. Buya tetaplah seorang muslim yang taat.
Keprihatinannya yang besar terhadap sejumlah kelompok yang mengusung gagasan negara Islam, khilafah islamiyah, dan bersemangat mengganti dasar negara ini membuatnya menulis buku Islam dalam Bingkai Kemanusiaan dan Keindonesiaan. Buya menilai Indonesia merupakan bangsa yang belum sepenuhnya jadi. Sehingga bangsa ini sering kali diuji dengan berbagai konflik. Mulai dari kepentingan ideologi, kepentingan politik, dan belakangan ancaman pemisahan diri.
Menurutnya, sebagai sebuah bangsa, usia Indonesia belum genap 100 tahun. Artinya bangsa ini masih sangat muda. Karena itu, lanjut Buya, bangsa ini perlu dirawat, dan untuk merawat Indonesia yang besar ini, perlu orang dengan pemikiran besar dan berwawasan jauh ke depan—bukan pikiran pikiran partisan.
Salah satu hal penting yang sering disampaikan oleh Buya, adalah bahwa “Indonesia harus tetap bertahan satu hari sebelum kiamat.” Ungkapan itu menunjukkan kepeduliannya bahwa di tengah situasi krisis moral dan krisis kewarasan yang membahayakan NKRI ini, masih sangat mungkin diselamatkan dengan menyalakan lilin kewarasan.
Buya, juga selalu menegaskan bahwa literasi perjalanan bangsa dan negara perlu dibaca ulang dan direnungkan dengan cara yang lebih mendalam, khususnya oleh kelompok elite yang biasa main di panggung politik nasional dan lokal. Tanpa asupan bacaan yang luas, tegas Buya, pasti mereka akan gagap dalam berpolitik karena tidak punya tempat berpijak yang kokoh di kedalaman lautan sejarah bangsa.
***
Tema tema besar tentang kemanusiaan dan kebangsaan inilah yang menjadikan Buya Syafii diterima dan dihormati tidak saja oleh kalangan Muhammadiyah, namun juga NU dan yang lainnya, termasuk kalangan non-muslim. Buya sendiri tak pernah canggung bergaul dan menjalin hubungan baik dengan pemuka dan tokoh-tokoh agama; Kristen, Budha, Hindu, Tionghoa, kalangan nasionalis, NU dan juga tokoh-tokoh dunia. Baginya, ini merupakan modal yang sangat besar untuk membangun toleransi dan dialog dengan kelompok lain.
Begitulah, Buya sebuah pribadi yang selalu gelisah dan terus menerus memikirkan bangsanya, seorang humanis yang selalu mengajak bangsa besar ini untuk bangun dari ketertinggalan. Buya adalah guru bangsa, yang spirit keindonesiaan dan humanismenya tak diragukan lagi. Ajaran-ajaran bijak yang dilayarkannya melintasi agama, budaya, usia, dan kelompok, membuat siapa pun yang berdialog dengannya merasa teduh.
Cerita kehidupan Buya, adalah cerita keteladanan, cerita seorang cendekiawan dengan kepribadian yang humanis, yang memandang bahwa setiap manusia harus dihormati sebagai seorang manusia seutuhnya tanpa memandang agama, ras, suku, bahasa, atau budaya.
Semoga sikap intelektual, kebersahajaan, dan keteladanan yang ada pada diri Buya bisa menjadi virus positif bagi segenap masyarakat di Indonesia, terutama di kalangan generasi muda millennial, dengan harapan mereka bisa menyebarkan pemikiran Islam yang inklusif, toleran, moderat serta berpihak pada kemanusiaan, kenegaraan serta keindonesiaan. Pula, mereka setidaknya memiliki perspektif, sikap dan pendirian yang relatif sama dalam memotret dinamika, perubahan dan perkembangan kehidupan keberagaman di Indonesia.
* Direktur Riset Maarif Institute
Editor: Arif