Dampak dari perkembangan zaman telah menggiring masyarakat kepada persepsi bahwa gelar bukan lagi menjadi jaminan kualitas kompetensi. Lebih jauh mengenai hal tersebut, seorang budayawan mengungkapkan konsep keberhasilan menjadi manusia jauh lebih penting diperhatikan dari sekedar pembicaraan kompetensi belaka. Lalu bagaimana jika konsep tersebut dihubungkan dengan kondisi pendidikan Indonesi. Apakah terdapat titik temu di antara keduanya?
Sekilas tentang Emha Ainun Najib
Emha Ainun Nadjib atau yang akrab di sapa dengan Cak Nun merupakan seorang budayawan yang memiliki banyak pengalaman dalam arena sosial. Hal ini yang menjadikan pendapat dan pituturnya mampu dijadikan sebagai bahan rujukan oleh berbagai kalangan. Terlebih bagi jama’ah maiyah di berbagai penjuru nusantara yang dimotori oleh beliau sendiri. Sosoknya dikenal sebagai orang yang mempunyai kecakapan multidimensi dinilai mampu dalam memberikan win-win solution atas setiap permasalahan yang menimpa bangsa ini.
Selain, identitasnya sebagai budayawan yang multitalent, sepak terjangnya tak bisa dilepaskan dari seorang penulis dan aktivis sosial. Hingga pada akhirnya, ribuan karya tulisnya dibidang sastra, agama, ekonomi, pendidikan dan sosial politik banyak diminati oleh seluruh elemen masyarakat.
Keberhasilan Output dan Input
Berangkat dari salah satu karya tulis beliau, sebuah kajian mengenai keberhasilan menjadi manusia telah tersusun rapi dalam sebuah tulisan dengan judul “Bedakan antara mana input dan mana output”. Dalam lingkup pencapaian manusia, terdapat suatu kebanggaan bilamana seseorang sudah mencapai pada titik kepintaran, kekuasaan, dan kekayaan. Beliau memberikan pandangan bahwa ketiganya masih berada dalam wilayah garis start atau bisa disebut masih inputnya belum menyentuh titik maksimal berupa output.
Lantas, bagaimana seseorang bisa mencapai titik maksimal? Apa parameter keberhasilan yang digunakan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada sebuah hadis yang kedengarannya sudah tidak asing ditelinga kita, “Khairunnas anfauhum linnas” Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Dari beberapa pemaparan tadi, beliau menjelaskan bahwa parameter keberhasilan menjadi manusia dapat diukur melalui manfaat yang sudah diberikan kepada orang lain.
Gampang-nya jika seseorang yang sudah meyandang gelar pendidikan tinggi dengan sederet title yang dimiliki. Orang tersebut belum bisa dikatakan telah berprestasi dan orang yang terpilih menjadi presiden pun juga belum bisa dikatakan sebagai sesuatu yang membanggakan. Baru ketika ia sudah mampu memberikan output berupa manfaat, barulah ia sampai kepada titik keberhasilan. Bisa jadi semakin tinggi jabatan seseorang justru dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi sehingga menyengsarakan banyak orang. Tak perlu menyebutkan contoh konkret, mungkin dalam hal ini masyarakat kita bisa menilai kinerja para manusia gelar berderet justru membuat kerugian.
Kondisi Pendidikan Indonesia
Tentunya dari beberapa pemaparan di atas tak bisa dilepaskan dari kondisi pendidikan kita selama ini. Karena pada dasarnya fungsi adanya pendidikan selain untuk mencerdaskan juga bertujuan membentuk moral bagi seluruh warga negara. Kalau kita hubungkan dengan konsep output dan input muncul sebuah pertanyaan besar. Apakah pendidikan kita sudah melahirkan generasi yang bermanfaat atau justru hanya tampil sebagai mesin pencetak gelar saja?
Benjamin S. Bloom seorang tokoh pendidikan terkemuka, menguraikan tujuan pendidikan menjadi 3 bagian kognitif (kecerdasan), afektif (emosional), dan psikomotorik (tindakan). Mengacu kepada tujuan tersebut, pendidikan seharusnya mampu mengarahkan para siswa menjadi generasi yang cerdas dalam keilmuan, unggul dalam akhlak, dan ketepatan dalam bertindak. Penguasaan pada aspek tersebut berfungsi sebagai bekal dalam menentukan pilihan hidup sehingga mampu melahirkan kualitas output yang berguna bagi masyarakat.
Akan tetapi, tujuan yang diharapkan sebagai output dari sistem pendidikan justru jauh terpinggirkan. Kalau kita cermati lebih mendalam, format pendidikan kita hanya mengandalkan sisi kognitif belaka. Sementara dari sisi afektif dan psikomotorik tak sedikitkpun terlihat dampaknya. Seiring dengan pergantian model pembelajaran yang hanya mengacu pada aspek kecerdasan pada akhirnya hanya akan mencerabut sisi kemanusiaan pada diri peserta didik.
Muatan kognitif hanya bagaikan sebuah bangunan kokoh yang berdiri tanpa memperhatikan pentingnya kualitas kepribadian. Akhirnya pun sekolah hanya menjadi industri pencetak gelar yang mendesain para siswanya dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Di mana tujuan dari semua itu hanyalah untuk dipersiapkan layak mendapat lapangan pekerjaan.
Sebuah kenyataan pahit memang ketika kita menyaksikan kasus kenakalan seperti free sex, narkoba, dan fenomena klitih yang didominasi oleh remaja menjadi bukti adanya ketidakseimbangan antara fungsi kognitif, afektif dan psikomotorik dalam pendidikan negara kita.
Output Pendidikan Moral
Pada dasarnya lingkungan masyarakat seperti sebuah kapal yang di dalamnya terdapat banyak orang dan beberapa ruangan. Walaupun antara satu orang dengan yang lainnya memiliki ruang privasi masing-masing. Namun, kalau ada satu orang yang melakukan tindakan membobol lantai kapal walaupun itu dilakukan di ruangannya sendiri. Kalau tidak dicegah secara bersama hal tersebut menyebabkan air masuk ke dalam kapal dan pada akhirnya menenggelamkan seluruh isi kapal.
Hal tersebut sejalan lurus dengan kondisi sosial masyarakat jika terdapat satu dua orang yang memiliki perilaku jauh dari kualitas moral yang baik, pasti akan berpengaruh pada lingkungan sekitar. Menggunakan analogi di atas, selain menjadi tugas bersama untuk mencegah perilaku seperti perusak kapal tadi. Tampaknya ini menjadi pekerjaan tambahan bagi sektor pendidikan agar kembali mempertimbangkan tujuannya dalam membentuk kepribadian warga negara.
Mengacu pada kondisi zaman yang didominasi oleh kekuatan modernisasi dan konsep keberhasilan input dan output yang di tawarkan Cak Nun di awal tadi. Sekiranya pendidikan di masa sekarang mampu memperlengkap tujuan pendidikan yang belum tercapai. Dalam hal ini terdapat beberapa unsur yang harus diperhatikan apabila sektor bangku sekolah ingin menghasilkan produk yang berkualitas di segala bidang.
Pertama, mengenai domain tujuan pendidikan harus diletakkan secara seimbang, terutama peningkatan pada aspek afektif. Walaupun keberadaan gelar dianggap menjadi sesuatu yang penting untuk diraih. Agaknya kurang pas jika hal tersebut dijadikan tujuan utama tanpa sedikitpun menyentuh ranah kecakapan dalam bersikap. Kedua, sudah seharusnya pendidikan saat ini harus berupaya dalam membangun generasi anfauhum linnas atausyukur-syukur mampu menciptakan generasi anfauhum lil alamin yangbermanfaat bagi seluruh alam semesta.
Kembali pada konsep keberhasilan yang diulas di awal tadi, bahwa tingginya jabatan dan banyaknya gelar bukan menjadi tolak ukur keberhasilan menjadi manusia, melainkan kebermanfaatan yang seharusnya diperhitungkan.
Editor: RF Wuland