Feature

Musyawarah Para Kiai: 67 Tahun Cak Nun

3 Mins read

‘Dari Pojok Sejarah’, ‘Markesot Bertutur’. Di ‘Seribu Masjid Satu Jumlahnya’, alkisah para Kiai sedang bermusyawarah. Sebagai perwakilan warga, turut hadir di sana ‘Doktorandus Mul’, ‘Mas Dukun’, bahkan seorang lelaki yang terkenal dengan kisah ‘Keajaiban Lik Par’ karena ‘Geger Wong Ngoyak Macan’. Hadir juga beberapa tamu, termasuk ‘Sunan Sableng dan Baginda Farouq’.

Pada musyawarah itu, ‘Pak Kanjeng’ memulai ceritanya tentang ‘Indonesia Bagian dari Desa Saya’. Tentang betapa ‘Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya’. Sebuah negeri yang ‘Sedang Tuhan pun Cemburu’, ‘Kagum pada Orang Indonesia’. Di mana ‘Anak Asuh Bernama Indonesia’ bisa begitu lepas dan bahagia seperti cerita-cerita lucu dalam ‘Folklore Madura’.

Namun, ‘Kiai Sudrun Gugat’. Ia sama sekali tidak setuju dan menganggap apa yang dikatakan Pak Kanjeng hanyalah ‘OPLeS: Opini Plesetan’. ‘Kerajaan Indonesia’ adalah ‘Republik Gundul Pacul’. Negeri ini ibarat ‘Perahu Retak’, katanya, ‘Kapal Nuh Abad 21’ yang justru ‘Allah Merasa Heran’ karena kapal itu dikuasai ‘Iblis Nusantara Dajjal Dunia’ yang berkomplot dengan ‘Kafir Liberal’. Dinahkodai oleh Pemimpin yang Tuhan, padahal itu hanya GR saja, ‘Presiden Balkadaba’ yang hanya mementingkan ‘Yang Terhormat Nama Saya’, membuat bangsanya jadi ‘Gelandangan di Kampung Sendiri’!

Mendengar Kiai Sudrun begitu penuh emosi dan berapi-api, Markesot mengalihkan pandangannya ke sudut masjid. Kemudian menatap seorang Kiai yang tak pernah mengenalkan namanya sendiri, Kiainya ‘Orang Maiyah’, Kiai yang selalu tenang membacakan ‘Syair-syair Asmaul Husna’.

Darinya ‘Markesot Belajar Mengaji’, dari ‘Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai’ bahkan dari ‘Slilit Sang Kiai’. Darinya ia belajar kesabaran bahwa ‘Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem’, seperti laku yang diajarkan ‘Suluk Pesisiran’.

Baca Juga  Ebiet G Ade: Tenar Menyanyikan Puisinya Sendiri
***

Melalui tutur lembut Sang Kiai ketika ‘Sinau Bareng Markesot’ selama ini, ia belajar bahwa bahkan dari ‘Secangkir Kopi Jon Pakir’ kita masih bisa menemukan harapan dari ‘Sesobek Buku Harian Indonesia’. Belajar memahami ‘Nasionalisme Muhammad’ yang tidak pernah putus asa bahwa ‘Cahaya Maha Cahaya’ tidak akan meninggalkan apalagi berhenti mencintainya. Yang meski kadang wahyu datang terlambat atau nubuat terasa meragukan, tetapi ‘Tidak. Jibril Tidak Pensiun’. Hanya ‘Allah Tidak Cerewet Seperti Kita’ sebab barangkali kadang ‘Tuhan Pun Berpuasa’.

‘Markesot Bertutur Lagi’, bahwa tentang negeri ini kita harus melakukan ‘Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan’, sambil bermain cantik dengan ‘Bola-bola Kultural’, dalam rangka menyelamatkan Indonesia dari ‘Titik Nadir Demokrasi’ agar tak terlempar ke ‘Keranjang Sampah’ sejarah dan peradaban.

Mendengar kematangan dan ketenangan Markesot, Pak Kanjeng mengangguk-angguk. Ia sepakat bahwa ‘Demokrasi La Roiba Fih’ meskipun harus diperkuat dengan ‘Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah’. Jangan sampai kita kembali menerapkan ‘Demokrasi Tolol Versi Saridin’ yang dulu membuat kita gagal ‘Menyibak Kabut Saat-saat terakhir bersama Soeharto’. Begitu absurd sehingga hampir membuat bangsa ini ‘Mati Ketawa ala Refotnasi’. ‘Urusan Laut Jangan Dibawa ke Darat’, katanya.

Namun, ‘Kiai Hologram’ punya pendapat lain. Ia adalah Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Katanya, Indonesia itu seksi sekaligus agung seperti ‘BH’ seorang ibu. Darinya kita menemukan kegairahan sekaligus kemuliaan, tergantung sudut pandang. Jika otak kita ngeres, maka yang kita lihat hanya kesaruan. Jika pikiran kita jernih, bukankah dengannya air susu kasih sayang dijaga dan dilindungi selama ini? Bayangkan jika ‘Istriku Seribu’, katanya, tidakkah Indonesia begitu Indah seperti ‘Syair Lautan Jilbab’, seperti ‘Sajak-sajak Sepanjang Jalan’ ketika kita bersepeda ‘Jogja-Indonesia Pulang Pergi’?

Baca Juga  Penjual Pecel Naik Haji: Haji Bukan Privilege Orang Kaya
***

Mendengar pendapat Kiai Hologram, Kiai Sudrun naik pitam. Ia ‘Terus Mencoba Budaya Tanding’. Ia begitu marah dengan pendapat Kiai Hologram, menunjuk-nunjuknya sambil mengulang-ulang kalimat yang gelisah itu: ‘Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu’. Rasanya ia ingin mendaftar semua kegelisahannya dalam ‘99 untuk Tuhanku’ atau menulis ‘Surat kepada Kanjeng Nabi’ tentang semua kekacauan ini. Ia ingin menggelar ‘Doa Mohon Kutukan’ karena sungguh Indonesia sudah tak bisa diselamatkan lagi. Bahkan kalau bisa, ia ingin ‘Abacadabra Kita Ngumpet’ saja.

Namun, tiba-tiba Kiai Sudrun terjengkang. Kini ia meringkuk kesakitan. Jiwa santri Markesot segera membuatnya bangkit untuk memeriksa apa gerangan yang terjadi pada Kiai Sudrun. Betapa terkejut ia melihat ‘Jejak Tinju Pak Kiai’ di dada Kiai Sudrun. Bagaimana ini bisa terjadi? Markesot menghela nafas, berbahaya memang jika membuat Kiainya Orang Maiyah marah. Bikin semua ‘Kiai Kocar-Kacir’ seperti ini.

Kini, musyawarah itu pun hening. Markesot diminta mendekat oleh Kiai Maiyah untuk mengabarkan ‘Kenduri Cinta’, ‘Padang Rembulan’, dan ‘Kado Muhammad’ untuk Indonesia. Bahwa kita harus mencintai ‘Indonesia Apa Adanya’, lebih banyak mendengarkan ‘Nyanyian Gelandangan’, ‘Tak Mati-Mati’ ‘Menggambar Karikatur Cinta’ untuk negeri ini, menemukan ‘Sastra yang Membebaskan’ sebagai ‘Doa Mencabut Kutukan’ sekaligus ‘Talbiyah Cinta’ dan ‘Ikrar Husnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia’.

‘Jangan Cintai Ibu Pertiwi’ jika pada saat yang sama kau ingin menghancurkannya. Berhentilah menyebut dirimu muslim jika gagal memahami bahwa ‘Islam itu Rahmatan Lil Alamin, Bukan untuk Kamu Sendiri’. Jangan menggelar ‘Sidang Para Setan’, jangan ‘Menyorong Rembulan’ di ‘Tikungan Iblis’, jangan terlibat dalam ‘Segitiga Cinta’ untuk membersamai Iblis ‘Mencari Buah Simalakama’. Sebab sejatinya ‘Iblis Tidak Butuh Pengikut’!

Baca Juga  Konsep Moral Berbasis Etika Sufistik ala Cak Nun

‘Jaman Wis Akhir’, jadilah ‘Santri-santri Khidir’, jadilah ‘Duta dari Masa Depan’, ‘Daur’ lagi cintamu hingga jika negeri ini harus ‘Lockdown 309 Tahun’ sekalipun engkau tetap bisa menemukan ‘Hikmah Puasa’ dari semesta kejadianNya.

***

Usai Markesot menyampaikan semuanya, tiba-tiba masjid dipenuhi ribuan jamaah. Di luar masjid, bahkan gelombang manusia terus berdatangan. Berjuta-juta. Berpuluh-puluh juta. Markesot kemudian bergerak ke tengah-tengah kerumunan itu. Sambil memegang pengeras suara, ia ‘Terus Berjalan’ membelah lautan manusia. Ia membaca ‘Wirid Padang Bulan’, menyanyikan ‘Dangdut Kesejukan’ yang kemudian diikuti jutaan manusia menyerupai shalawat.

Di ujung kerumunan, Markesot menghilang. Lenyap ditelan shalawat yang terus menggema. Pak Kanjeng, Kiai Sudrun dan Kiai Hologram hanya bisa bertanya-tanya, ‘Siapa Sebenarnya Markesot?’

Bintaro, 27 Mei 2020

*Ditulis untuk merayakan #67TahunCakNun. Tulisan ini dirangkai dari judul-judul buku puisi, esai, cerpen, novel dan album yang pernah ditulis Mbah Nun. Hampir seluruhnya sudah saya baca, saya dengarkan, saya tonton (Tebak tahun berapa saja?). Meski saya belum pernah sekalipun bertemu secara personal dengannya, Mbah Nun adalah salah satu guru terbesar dalam saya. Berkah dan sehat selalu, Mbah Nun.

Related posts
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…
Feature

Tarawih di Masjid Sayyidah Nafisah, Guru Perempuan Imam Syafi’i

3 Mins read
Sore itu, sambil menunggu waktu buka, saya mendengarkan sebuah nasyid yang disenandungkan oleh orang shaidi -warga mesir selatan- terkenal, namanya Yasin al-Tuhami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *