Begitu banyak dan luas khazanah keintelektualan seorang Cak Nur (Prof. Nurcholis Madjid). Ia adalah sosok yang mempunyai gagasan keberagamaan yang segar, kosmopolit, inspiratif, berwawasan universal, dan penuh kedalaman spiritual.
Bahkan, ia menantang umat Islam zaman ini untuk berpikir ulang atas kepercayaan keagamaan tradisional selama ini. Yang itu, bisa kita jumpai lewat buku-buku maupun karya-karyanya. Saking maha luas semesta pemikiran Cak Nur, terbitlah buku bertajuk Ensiklopedia Nurcholis Madjid yang berjumlah empat jilid.
Salah satu percikan pemikiran Cak Nur yang begitu kita gandrungi ialah “pembaruan pemikiran Islam”. Pemikiran tersebut, diungkapkan Cak Nur dalam makalah bertajuk “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.”
Makalah tersebut disampaikan pada silaturahim antara para aktivis, anggota, dan keluarga empat organisasi: Persami, HMI, GPI, dan PII, yang diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta, di Jakarta pada 3 Januari 1970 (Lihat Nurcholis Madjid dalam Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan, 2013: 386).
Pentingnya Sekularisasi
Dalam makalahnya, Cak Nur mengumandangkan akan pentingnya pembaruan pemikiran di dalam tubuh umat Islam di Indonesia, yaitu: pertama, sekularisasi.
Ia menegaskan pentingnya kualitas umat Islam. Sedari itu perlu adanya “sekularisasi”. Istilah sekelurasi berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda, dan lain-lain). Namun sebetulnya, kata tersebut berasal dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya “zaman sekarang ini.”
Sekularisasi dimaknai Cak Nur bukan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion.
Tetapi, bagi Cak Nur memaksudkan sekularisasi adalah untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikan hal-hal yang duniawi (Nurcholis Madjid, 2013: 250-261).
Maka, dari situ Cak Nur memaknai sekularisasi sebagai “proses temporarisasi” yang dalam artian ini adalah kontekstualisasi mengenai hal-hal yang dahulu dan sekarang. Misalnya, sekarang ini sudah tidak zamannya lagi menganggap sakral sebuah benda pusaka yang dianggap mempunyai kekuatan supranatural.
Tidak jarang hal tersebut akan mencetuskan konflik horizontal antara kaum Islam tradisionalis dan modernis, yang mana konflik tersebut akan membuang-buang tenaga dan pikiran. Sehingga, dalam istilah Cak Nur, hal tersebut menjadikan ke-jumud-dan umat Islam Indonesia pada umumnya.
Idea of Progress
Kedua, idea of progress, merupakan kepercayaan akan masa depan dalam sejarahnya dan tidak perlu khawatir akan perubahan-perubahan tata-nilai yang berlaku pada masyarakat.
Konsistensi dari idea of progress ialah keterbukaan sikap mental, yaitu berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari manapun sumbernya, asalkan mengandung kebenaran.
Sikap Inklusif
Ketiga, sikap terbuka (inklusif). Yang menurut Cak Nur, merupakan sebuah tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk dari Allah dan orang yang bersikap tertutup.
Yaitu, ia bagaikan “berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit” dan hal tersebut merupakan tanda kesesatan.
Berpikir Bebas
Keempat, berpikir bebas (intellectual freedom). Cak Nur juga mengharuskan umat Islam Indonesia untuk berpikir bebas.
Karena bagi Cak Nur, jika umat Islam tidak memiliki pemikiran yang segar, umat Islam kehilangan daya tonjok psikologi (psychological striking force) di era modernisasi yang kita tamapaki saat ini (Nurcholis Madjid, 2013: 252-254).
Cak Nur untuk Generasi Muda
Disadari atau tidak, sekarang ini sudah para pemuda menggantikan mereka yang sudah tua-tua dalam berbagai sector maupun ranah keilmuannya. Sehingga, lahirlah istilah “yang muda yang berkarya. Kaum muda, yang merujuk kepada generasi milenial dan generasi Z.
Mengimpun data dari BPS (Badan Pusat Statistik), penduduk Indonesia hingga tahun 2020 didominasi oleh generasi muda. Yaitu, generasi milenial adalah ia yang lahir antara 1981-1998. Jumlah generasi milenial adalah 69,90 juta atau 25,87 persen populasi. Sedangkan, generasi Z adalah mereka yang lahir antara 1997-2012 yang mana, jumlah generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa atau 27,94 persen dari total populasi yang berjumlah 270,2 juta jiwa.
Generasi muda Islam Indonesia yang sekarang ini masih menggelora semangat mudanya—yang menuntut ilmu di pesantren maupun perguruan negeri atau keisalaman—diharapkan mampu mengakhiri pembahasan dan perdebadatan yang kiranya tidak perlu dan masih mendiskusikan hal ukhrawi yang padahal itu sudah selesai.
Karena, bilamana generasi muda Islam masih seperti itu, mengingat kata Cak Nur, umat Islam akan kehilangan kekuatannya secara psikologis.
Sedari itu, para generasi muda harus segera melakukan sekularisasi sebagaimana apa yang digaungkan oleh Cak Nur dengan tidak mengukhrowikan hal-hal yang duniawi. Memang di lain pihak, generasi muda Islam banyak yang terpapar virus fundamentalisme agama sehingga mereka masih asyik mengkafirkan tradisi-tradisi lokal yang padahal dengan menggandeng tradisi, kita ini dapat memeluk agama Islam secara ramah bukannya marah-marah.
Jadi, kita dapat menyatakan bahwa: berangkat dari tradisi, menuju modernisasi. Dengan merawat dan meruwat tradisi, generasi muda akan mempunyai sikap terbuka, berwawasan luas, dan mendukungnya untuk berpikir progresif.
Begitulah Cak Nur, semoga dengan agenda pembaruan pemikiran Islam-nya dapat mencetak generasi muda Islam yang baru, cerdas secara akidah dan spiritual, dan dapat mempersiapkan masa depan umat Islam Indonesia di ranah dunia.
Editor: Yahya FR