Siapa yang tidak mengenal suatu aliran yang selalu mengutamakan dan menjunjung tinggi akal pikiran. Sudah banyak diketahui orang-orang bahwasannya aliran tersebut selalu mengutamakan akal pikirannya. Dengan cara pandang tersebut membuat para cendekiawan muslim berminat dan tertarik untuk memakainya dalam mengkaji beberapa kajian teolog. Aliran tersebut yang dimaksud ialah Mu’tazilah, di mana aliran itu sendiri digolongkan sebagai aliran rasionalis menurut pendapat sejarawan Barat.
Mu’tazilah
Akan tetapi, menurut pendapat lain yaitu dari sejarawan muslim sendiri, aliran Mu’tazilah ini ialah aliran yang digolongkan terhadap aliran mutakallimun kufur. Dalam sebuah buku yang berjudul Defenders of Reason in Islam Mu’tazilizm from Medieval School to Modern Symbol, menjelaskan bahwasannya aliran Mu’tazilah digolongkan terhadap aliran mutakallimun kufur yang disebabkan dengan adanya Al-Qur’an dianggap sebagai makhluk serta manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat.
Di dalam Al-Qur’an terdapat kata yakni i’tazala yang bermakna dengan menjauhi yang keliru dan tak benar, maka kata dari aliran Mu’tazilah sendiri bermakna pujian. Hal tersebut diungkapkan oleh Al-Qadi ‘Abd Al-Jabbar. Kemudian Al-Qadi ‘Abd Al-Jabbar juga menjelaskan bahwasannya umat islam di dunia ini akan terpecah menjadi 73 golongan dengan yang paling terbaik dan taat ialah aliran ini yakni Mu’tazilah. Diungkapkannya dalam sebuah hadis Nabi (Harun Nasution, 2013: 44).
Adapun salah satu cendekiawan yang sangat mendukung dengan aliran Mu’tazilah khususnya dalam bidang rasional. Siapakah tokoh cendekiawan yang dimaksud tersebut? Yakni Harun Nasution. Ia tak lain merupakan tokoh yang berasal dari negara kita sendiri yakni Indonesia, ia merupakan pendukung aliran Mu’tazilah. Islam rasional yang ia jadikan sebagai pegangan dan ia perkenalkan di negaranya sendiri.
Dengan cara menggunakan akal pikiran ialah sebagai bentuk suatu dasar dalam menjalankan beragama Islam. Sebab iman dan akal pikiran akan menjadi kesempurnaan dalam beragama Islam dengan tujuan untuk mengembangkan dan mencapai kemajuan suatu ilmu pengetahuan. Tak lupa, ia juga menyesuaikan antara wahyu dengan akal yang merupakan sebagai unsur yang paling pokok diantara keduanya sebab saling melengkapi satu sama lain.
Penyesuaian Wahyu dan Akal ala Harun Nasution
Dalam menyesuaikan antara wahyu dengan akal Harun Nasution juga terinspirasi dengan salah satu tokoh yang bernama Muhammad Abduh. Apa yang membuat Harun Nasution terinspirasi kepada Muhammad Abduh? Harun Nasution terinspirasi dengan gaya model pemikiran Muhammad Abduh mengenai gerakan modernisme. Sebab ia menganggap pemikiran Muhammad Abduh cocok dengan teologi dari aliran Mu’tazilah.
Menurut pemahaman saya dari membaca beberapa literatur, dari kalimat manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat mempunyai maksud manusia bisa melakukan dan berbuat dengan bebas namun harus bisa mempertanggungjawabkan hal itu. Dengan ini berkaitan dengan upaya Harun Nasution dalam hal mengembangkan Islam di negara ini, yakni mengenai HAM (Hak Asasi Manusia).
Dalam karya tulisannya sendiri buku yang diberi judul “Hak Asasi Manusia dalam Islam” yang ditulisnya sekitar tahun 1995, di dalamnya menggambarkan tentang melihat dari sudut pandang filsuf yang ada di dunia dapat mempengaruhi mengenai kedudukan hak asasi manusia di dalam Islam. Dari hak asasi manusia itu sendiri telah membuktikan keapada kita bahwa Allah telah memberikan kehidupan di dunia ini kepada manusia.
Akan tetapi, selain memberi kehidupan di dunia ini kepada manusia, Allah juga memberikan hukuman kepada manusia jika manusia tersebut melakukan hal yang keji. Sehingga dapat disimpulkan apa yang telah Allah berikan kepada manusia tidak dapat dirubah ataupun diganggu-gugat sesuai dengan keinginan manusia itu sendiri. Sebab akal pikiran dapat dijadikan konteks yang memainkan (berperilaku atau bertindak).
Dapat dicontohkan misalnya, sesuatu yang dapat dirasakan manusia ialah bagaimana cara manusia tersebut berpikir untuh melakukan usahanya. Sebab, Allah selalu memberikan apa yang manusia tersebut telah mengusahakannya dengan sungguh-sungguh untuk meraihnya. Jika hal tersebut sudah melekat pada diri manusia dan apabila terjadi kegagalan bukanlah menjadi kesalahan yang telah Allah berikan.
***
Sebagaimana telah dijelaskan di dalam surat Ar-Ra’d ayat 11, disebutkan bahwa yang artinya, “…sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…” Maka dari apa yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an merupakan bukti bahwa hasil akhir apa yang telah di usahakan manusia itu tergantung pada manusia itu sendiri.
Seorang petani jagung apabila ia mengalami kegagalan dalam panen jagungnya maka yang pertama diselidiki ialah apa yang menyebabkan gagal dalam memanen jagung itu. Dengan demikian, dari kegagalan tersebut membuat manusia untuk mengintropeksi dirinya masing-masing dengan sebab Allah akan menghendaki umatnya yang lemah. Hal itu, membuat para cendekiawan yang menggunakan cara berpikir rasional.
Aliran Mu’tazilah biasanya dijadikan dasar untuk sumber pengetahuan dengan tujuan untuk mendapatkan hasil pengetahuan yang pasti dan akurat bersifat universal.
Editor: Nabhan