Politik Adiluhung Muhammadiyah | Sebagai organisasi besar yang bergerak dengan spirit dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah banyak diyakini sebagai salah satu sendi besar tatanan sosial Indonesia. Namun, Muhammadiyah memilih netral dalam arena politik praktis dan menyerahkan kuasa politik kepada organisasi politik yaitu partai politik.
Muhammadiyah sebenarnya bukan anti politik atau sekular, melainkan Muhammadiyah memilih cara sendiri dalam mengurusi kepentingan politiknya.
Netralitas politik Muhammadiyah sendiri adalah cerminan ideologi Muhammadiyah yang inklusif. Di mana, Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan salah satu aspek ajaran Islam dalam ranah keduniawian (al-umur al-dunyawiyyat) yang harus selalu didorong, dijiwai, dan ter-frame oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama.
Politik Adiluhung Muhammadiyah
Maka, Muhammadiyah menempuh jalan politik Adiluhung (High Politics) sebagai bentuk komunikasi kepentingan politiknya. Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui jalan politik maupun pengembangan masyarakat, adalah alat yang mutlak diperlukan untuk membangun nilai-nilai ilahiyah.
Keduanya melandasi dan tumbuh subur bersama dengan tegaknya nilai-nilai kebersamaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, keadaban guna mewujudkan negara yang ‘Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur’.
Jarak teritorial dan politik Muhammadiyah (Kantor Utama Muhammadiyah di Yogyakarta) menjadi faktor penjelas perbedaan ijtihad politik Muhammadiyah pada level nasional dan lokal dalam pesta demokrasi.
Jarak politik Muhammadiyah juga merupakan filosofi politik Muhammadiyah hari ini, yaitu ‘Menjaga kedekatan yang sama dengan semua kekuatan politik’. Filosofi politik Muhammadiyah ini kemudian menelurkan pola komunikasi politik kritik dan apresiasi melalui jalan audiensi atau pertemuan antara Muhammadiyah dan penguasa atau bagian dari kekuasaan.
Trauma Politik Muhammadiyah
Muhammadiyah pernah masuk jebakan dilema selama masa orde lama. Terutama, pasca pembubaran Masyumi yang menjadi alat politik Muhammadiyah. Pemerintahan Soekarno juga membubarkan parlemen hasil pemilu 1955 dan Masyumi sudah hilang bersamaan dengan kepentingan politik Muhammadiyah saat itu. Kedua peristiwa di atas memberikan dampak pahit kepada Muhammadiyah karena kehilangan alat dan saluran politik.
Alhasil, internal Muhammadiyah mengalami ketegangan dinamika politik akibat dari perbedaan pandangan dan artikulasi dalam mencari kebijakan terbaik saat itu. Dalam kekhawatiran lain, para elit Muhammadiyah takut organisasi dakwah besutan K.H. Ahmad Dahlan ini akan terseret dalam konflik politik Masyumi. Pemerintah melihat terjadinya peminggiran secara sistematis terhadap kekuatan politik Islam di masa NASAKOM.
Hal inilah yang kemudian menjadi bayang-bayang pahit Muhammadiyah terhadap politik. Sehingga kemudian, persyarikatan ini membangun kembali posisi politik sebagai organisasi dakwah sosial yang tidak menjalankan peran politik praktis apapun. Muhammadiyah mengambil jalan disengagement politics yang dikenal sebagai Kepribadian Muhammadiyah.
Politik Sebagai Zero Sum Game Arena
Politik didefinisikan sebagai “siapa, mendapatkan apa, dan bagaimana cara mendapatkannya”. Kalimat barusan dipopulerkan oleh Harold Lasswel melalui buku dengan judul yang sama. Dalam perjalanan politiknya, Muhammadiyah tidak pernah menggunakan frasa di atas untuk mengejawantahkan kepentingan politiknya, melainkan dengan cara-cara santun dan halal.
Akan tetapi, arena politik praktis di Indonesia sebagai sarana mendapatkan kekuasaan menggunakan frasa di atas untuk merepresentasikan cara dan proses politik praktis bergulir.
Frasa di atas pun diikuti oleh Zero Sum Game Theory alias ungkapan untung-rugi dalam ekonomi yang artinya ‘jika salah satu dari dua pihak menang, maka pihak yang lain akan menerima kekalahan’.
Teori Zero Sum Game juga diaplikasikan dalam politik dan sangat terasa saat kontestasi politik dalam pesta demokrasi berlangsung. Hasil dari kontestasi politik itu akan memberikan kemenangan pada satu pihak dan memberikan kekalahan di pihak lain, terutama pada kontestasi anggota dewan perwakilan dan senator daerah.
Begitulah Muhammadiyah berusaha menjauh dari turbulensi politik praktis yang demikian dengan menerapkan jalan disengagement politics yang sebelumnya kita bahas. Dalam banyak dokumen tentang ideologi Muhammadiyah, dijelaskan bahwa pilihan jalur non politik ini dinilai lebih tepat dan sejalan dengan tujuan ideal Muhammadiyah dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Karena Muhammadiyah bukan organisasi politik dan tidak menerapkan sistem politik “sikat habis” dalam proses musyawarah tingkat tinggi maupun sampai pergantian pemimpin di akar rumputnya.
Diaspora Politik Adiluhung Muhammadiyah
Dengan kebesarannya dan dengan dukungan struktur dan amal usaha yang tersebar di semua penjuru Indonesia serta 24 cabang istimewa di luar negeri, Muhammadiyah saat ini sangatlah penting untuk memikirkan potensi sumber daya dan modal sosialnya agar bisa dikapitalisasi menjadi keuntungan politik tanpa harus ke luar dari posisi politiknya sekarang.
Melalui Khittah Ponorogo 1995, Muhammadiyah menempatkan politik sebagai suatu dilemma akibat trauma sejarah, sayangnya Muhammadiyah masih memendam rasa untuk bisa menggenggam kuasa dan tanggung jawab atas negara.
Pun pada Khittah Denpasar 2002, Muhammadiyah menegaskan posisi politiknya namun memberikan kebebasan pada warga dan simpatisan Muhammadiyah untuk berkontestasi di arena politik.
Mereka yang telah duduk dalam posisi strategis kekuasaan akan menjadi “diaspora politik Muhammadiyah” dan mendorong kepentingan Muhammadiyah juga sebagai alternatif saluran politik Muhammadiyah kepada penguasa.
Muhammadiyah memang dituntut untuk merevitalisasi peran politik berbangsanya, memperkuat kedudukan politik namun tetap berada di posisi disengagementdengan meningkatkan partisipasi dan peran politik kader. Hal ini penting untuk dipahami oleh elit Muhammadiyah selaku policy maker agar tidak salah menentukan kebijakan menjelang dan pasca Muktamar 48.
Muhammadiyah memerlukan kepekaan dalam mengartikulasi dan mempersiapkan strategi politik atas isu dan persoalan politik negara secara graduatif serta cakap memilih momentum untuk melakukan eksekusi kebijakan politik strategis itu. Dengan demikian, Muhammadiyah akan selamat dengan sedikit diasporanya karena kedudukan dan peran Muhammadiyah berada pada No Room for Lobby!
Editor: Yahya FR