Di antara para sahabat Nabi yang paling tegas dalam pengawasan harta para pejabat adalah Umar ibn Khattab. Setiap kali Umar mengangkat wali (pejabat) di suatu wilayah, ia mewajibkan yang bersangkutan untuk menghitung kekayaannya sebelum serah terima jabatan. Lalu, menghitung ulang setelah selesai melaksanakan tugasnya.
Apabila kekayaannya bertambah (lebih dari pendapatan gajinya), Umar akan memerintahkannya untuk memasukkan ke dalam kas negara (khazanatal-daulah). Bahkan Umar melarang para pejabat berbisnis, karena dengan kedudukannya, seorang pejabat dapat menggunakan pengaruhnya untuk menguasai pasar atau bisnis, sehingga terjadi persaingan yang tidak sehat.
Hal ini dapat dilihat, misalnya saja, ketika Umar mengangkat Utbah ibn Abi Sufyan sebagai wali di suatu wilayah, maka ketika kembali ke Madinah dengan membawa kekayaan yang besar, Umar bertanya: min aina laka hadza ya Utbah? (Kau dapatkan dari mana hartamu ini hai Utbah?) Utbah menjawab: Aku keluar ke sana dengan uangku sambil berdagang. Umar berkata: Aku mengutusmu sebagai wali negeri, tidak mengutus kamu sebagai pedagang, karena sebenarnya, dagangan dan kekuasaan itu tidak sama. Oleh karena itu, masukkanlah hartamu ke bait al-mal kaum muslimin.
Dengan demikian perolehan yang pada prinsipnya diperbolehkan oleh Islam, seperti infak, sedekah, hibah, dan hadiah, dapat berubah status hukumnya menjadi haram jika yang menerima itu para pejabat pemerintah atau orang yang menerima hadiah karena pekerjaannya atau profesi dan tugasnya.
Hal ini diberlakukan selain dari sabda Rasulullah yang tegas dan jelas tersebut. Juga pertimbangan adanya kekhawatiran rusaknya mental pejabat dan pudarnya obyektivitas dalam melakukan atau menangani suatu perkara. Dalam terminologi ushul fikih dikenal dengan istilah sad adz-dzari’ah atau mencegah jalan keburukan dan kebinasaan.
Selengkapnya: Baca Buku Fikih Anti Korupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah