Inovasi Keuangan Digital (IKD) dapat digunakan sebagai perusahaan rintisan (start-up) oleh para pelaku bisnis di industri keuangan. Karena, bila dilihat secara seksama, IKD esensinya ialah rintisan untuk Perusahaan Fintech Peer To Peer Lending dan Fintech Equity Crowdfunding.
Karena bersifat rintisan, maka pada fase rintisan, IKD dituntut untuk melakukan penguatan di segala dimensi bisnisnya—mulai dari permodalan, Sumber Daya Manusia (SDM), teknologi, manajemen, dan lain sebagainya.
Adanya penguatan yang dilakukan oleh top manajemen IKD, diharapkan seiring berjalannya waktu, IKD segera bertransformasi menjadi Perusahaan Fintech Peer To Peer Lending atau Fintech Equity Crowdfunding, ataupun fintech lainnya yang lebih besar.
Sehingga, model bisnis IKD yang diakomodir ke dalam bentuk POJK No. 13 Tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, mampu merangsang Perusahaan IKD untuk segera bertransformasi ke dalam bisnis yang lebih besar.
Dengan demikian, pelaku usaha IKD harus mampu membaca maksud tersirat dan tersurat dari pihak Regulator, yaitu OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan BI (Bank Indonesia) terkait hal tersebut. Agar, keberadaan IKD bisa berkembang signifikan menjadi perusahaan besar di sektor keuangan. Pada akhirnya, keberadaan Perusahaan IKD bisa menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam hal melaksanakan program inklusi keuangan.
IKD dan Inklusi Keuangan
Menurut POJK No. 13 Tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, IKD adalah aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.
Adapun ruang lingkup IKD, dijelaskan dalam Pasal 3, yaitu: (a) penyelesaian transaksi; (b) penghimpunan modal; (c) pengelolaan investasi; (d) penghimpunan dan penyaluran dana; (e) perasuransian; (f) pendukung pasar; (g) pendukung keuangan digital lainnya; dan/atau (h) aktivitas jasa keuangan lainnya.
Sedangkan kriteria dari IKD itu sendiri, dijelaskan dalam Pasal 4, yaitu: (a) bersifat inovatif dan berorientasi ke depan; (b) menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana utama pemberian layanan kepada konsumen di sektor jasa keuangan; (c) mendukung inklusi dan literasi keuangan; (d) bermanfaat dan dapat dipergunakan secara luas; (e) dapat diintegrasikan pada layanan keuangan yang telah ada; (f) menggunakan pendekatan kolaboratif; dan (g) memperhatikan aspek perlindungan konsumen dan perlindungan data.
Hal yang sangat menarik dari POJK tersebut bahwa IKD harus mendukung inklusi keuangan. Dengan demikian, keberadaan IKD sebagai sebuah bisnis berbasis digital, tidak semata-mata mencari keuntungan. Akan tetapi, harus mampu menjalankan tugas untuk mendukung kegiatan inklusi keuangan bagi masyarakat. Sehingga dengan adanya inklusi keuangan, seluruh lapisan masyarakat bisa mendapatkan akses ke lembaga keuangan dengan baik.
Menurut POJK No. 76 Tahun 2016 tentang Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan Bagi Konsumen dan/atau Masyarakat, inklusi keuangan adalah ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
***
Adapun tujuan dari inklusi keuangan, dijelaskan dalam Pasal 12, yaitu: (a) meningkatnya akses masyarakat terhadap lembaga, produk dan layanan jasa keuangan PUJK; (b) meningkatnya penyediaan produk dan/atau layanan jasa keuangan oleh PUJK yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat; (c) meningkatnya penggunaan produk dan/atau layanan jasa keuangan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat; dan (d) meningkatnya kualitas penggunaan produk dan layanan jasa keuangan sesuai kebutuhan dan kemampuan masyarakat.
Menurut hemat penulis, tujuan keberadaan inklusi keuangan yang ada di dalam POJK tersebut, bila disederhanakan ialah memberikan akses yang lebih luas terhadap seluruh lapisan masyarakat agar bisa menikmati fasilitas keuangan. Terkhusus, untuk masyarakat unbankable dan masyarakat pedesaan yang jauh dari akses lembaga keuangan.
Dengan demikian, keberadaan IKD sebagai sebuah perusahaan di bidang keuangan berbasis digital, rasa-rasanya sangat tepat bila dikaitkan terhadap progam inklusi keuangan yang menjadi kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, semakin banyak IKD yang kemudian tumbuh menjadi perusahaan besar, diharapkan akan banyak masyarakat yang mendapatkan akses terhadap jasa keuangan.
IKD dan Fintech Syariah
Keberadaan IKD harusnya menjadi kesempatan dan peluang besar untuk industri Fintech Syariah. Terkhusus berkaitan dengan sektor permodalan dan kepatuhan terhadap aspek syariah (shariah compliance). Karena, menurut hemat penulis, sektor permodalan menjadi momok terbesar bagi IKD yang hendak bertransformasi ke perusahaan lanjutannya.
Dengan demikian, bagi IKD yang hendak bertransformasi menjadi Fintech Syariah, bisa melakukan beberapa hal untuk mendapatkan suntikan permodalan. Sehingga IKD dengan status “tercatat” bisa segera bertransformasi menjadi perusahaan Fintech Syariah dengan status “terdaftar” dan hingga “berizin”, sesuai aturan yang dikeluarkan oleh OJK dan BI sebagai regulator.
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menambah permodalan IKD yang hendak bertransformasi menjadi Fintech Syariah. Pertama, menggandeng pengusaha muslim untuk menjadi investor. Menurut hemat penulis, rasa-rasanya masih banyak pengusaha muslim yang mau menjadi investor di industri Fintech Syariah. Karena, keberadaan Fintech Syariah tidak hanya mengedepankan unsur keuntungan. Akan tetapi, terselip unsur dakwah untuk bermuamalah sesuai tuntunan agama di dalamnya.
Kedua, menggandeng ormas Islam untuk menjadi investor. Ajak ormas Islam, mulai dari ormas Islam besar seperti Muhammadiyah (MD) dengan Nahdlatul Ulama (NU), hingga ormas Islam yang kecil lainnya, untuk memiliki saham di dalamnya. Tentu, kepemilikan saham di dalamnya, berstatus atas nama ormas Islam itu sendiri, karena asal dananya memang dari kas ormas itu sendiri.
Ketiga, menggandeng lembaga pendidikan Islam untuk menjadi investor. Lembaga pendidikan Islam, mulai dari Perguruan Tinggi Islam—baik negeri ataupun swasta hingga sekolah Islam—baik negeri ataupun swasta, sangat banyak di Indonesia. Penulis yakin, mereka akan mau menempatkan dananya, bila diberi penawaran yang menarik.
***
Keempat, urunan dana dari masyarakat muslim. Dimana, IKD yang hendak bertransformasi menjadi Fintech Syariah bisa dengan cara mengajak masyarakat muslim menjadi investor di perusahaan tersebut. Bila penawaran kepemilikan saham menarik, penulis yakin akan banyak masyarakat muslim yang mau memiliki saham perusahaan tersebut.
Empat hal tersebut, paling tidak sebagai langkah awal yang bisa dijalankan oleh IKD ketika hendak bertransformasi menjadi Fintech Syariah—khususnya terkait permodalan. Selain permodalan, IKD yang hendak bertransformasi harus tetap mempersiapkan diri melakukan penguatan terkait kepatuhan syariah. Dimana, kepatuhan syariah menjadi jantung gerak bisnis yang ada di Fintech Syariah.
Dengan demikian, keberadaan kebijakan terkait IKD harus benar-benar dimanfaatkan untuk memperbanyak jumlah Fintech Syariah di Indonesia. Sehingga, adanya kebijakan terkait bisnis IKD, akan mampu mendorong lahirnya Fintech Syariah baru ke depannya. Dan pada akhirnya, kontribusi Fintech Syariah di Indonesia akan terlihat signifikan.
Editor: Yahya FR