Feature

Cerita dari Sebuah Diskusi Ekologi di Malang

3 Mins read
Oleh: Aprizal Sulthon Rosyid*

Penampilan mereka biasa saja. Ada yang rapi, ada yang urakan. Yang berbeda dari kebanyakan orang adalah sorot mata mereka. Tenang, tapi siap beradu hingga menang. Empat orang di antara mereka beranjak duduk menghadap para hadirin, bersila di depan kopi masing-masing. Malam itu, mereka akan berbicara sebagai anak-anak muda Muhammadiyah peduli lingkungan dalam diskusi ekologi.

Itulah sepenggal pengalaman saya saya menghadiri diskusi ekologi di Gazebo Literasi (15/12/2019). Di GL memang acap digelar diskusi, namun malam itu agak berbeda. Digelar oleh tiga komunitas muda Muhammadiyah, yakni KHM (Kader Hijau Muhammadiyah), Matapena (IPM) dan Pucukmera (IMM), diskusi mereka sekaligus menggalang dukungan untuk korban penggusuran di Tamansari, Bandung.

Saya dengar, sampai malam itu, belum ada bantuan apapun dari Muhammadiyah, secara kelembagaan, yang disalurkan bagi korban penggusuran di Tamansari. Untuk bencana eko-kemanusiaan di mana warga dirampas secara semena-mena hak-hak dasarnya, Muhammadiyah tidak cukup tanggap. Padahal bencana itu telah berlalu tiga hari. Baru pada tanggal 16 Desember, MDMC bergerak.

***

Diskusi berlangsung hangat. Saya menemukan lompatan-lompatan pikiran yang cukup menggembirakan di kalangan muda Muhammadiyah mengenai isu lingkungan hidup. Melengkapi tauhid sosial Muhammadiyah, mereka menggulirkan tauhid ekologi. Kesadaran ekosentris telah terbangun dengan baik.

Pembicara dan peserta diskusi mumpuni dalam mengurai kritik atas antroposentrisme. Mereka bisa mengawinkan sejumlah disiplin ilmu untuk meneropong isu lingkungan. Mereka memahami kontradiksi antara ‘misi kemajuan’ dan ‘konservasi lingkungan’, bila kemajuan diterjemahkan sebagai nafsu akan pertumbuhan kapital.

Lompatan lain yang juga patut diapresiasi adalah percakapan mereka yang tidak berhenti di tema ‘zero-waste lifestyle’ (mengubah mode konsumsi), melainkan berlanjut ke diskursus perampasan ruang hidup (menentang mode produksi). Dengan lompatan itu mereka mengkritik tumblrism, yakni upaya tambal-sulam menyeimbangkan hasrat konsumsi industrial dan kepentingan anti-pencemaran, dengan menciptakan produk-produk eco-friendly.

Sayangnya, kritik mereka banyak yang gagal memahami. Padahal mereka mampu melihat bolong besar: ketika eksploitasi lingkungan dan perampasan ruang hidup (atas nama pertumbuhan) hanya bersifat sepihak, atau hanya menguntungkan elit, apakah cukup peduli lingkungan dengan kampanye zero-waste saja? Bila rumah kita terancam digusur, bisakah kita hanya bicara tentang pentingnya mendaur ulang?

Baca Juga  Budaya Melayu (1): Legenda Adu Kerbau dan Asal-Usul Orang Minang

***

Anak-anak muda itu memutuskan melawan sebagai ‘cara memihak lingkungan hidup’. Mereka terlibat dalam pengorganisiran massa. Mereka hidup bersama warga-korban dan intens mendampingi proses advokasi. Mereka berkeliling ke daerah-daerah yang hutan dan gunung warganya terancam dieksploitasi. Mereka bersolidaritas sekaligus bekerjasama. Mereka juga turun ke jalan, unjuk aspirasi, dan tahu bagaimana rasanya dipukuli aparat.

Beberapa kawan di Muhammadiyah yang pernah saya ajak ngobrol tentang bagaimana seharusnya kepedulian lingkungan diamalkan, rata-rata menginginkan perjuangan yang soft, yang berlelah-lelah namun beresiko kecil: menanam pohon, kampanye daur ulang, dll. Tentu perjuangan soft penting sekali untuk mengubah gaya hidup. Tapi ketika ditanya tentang cara-cara memihak lingkungan seperti anak-anak muda di atas, mereka menentang.

“Itu bukan cara Muhammadiyah,” bunyi pendapat kebanyakan. Bahkan ada yang berkata dengan wajah tidak suka, “itu cara-cara komunis.” Ingatan saya langsung tertuju pada KH. Fachrodin, salah satu murid pertama KH. Achmad Dahlan, yang keterlibatannya dalam pergerakan nasional bersama kaum kiri direstui pendiri Muhammadiyah. Padahal salah satu agenda penting kaum kiri adalah mengorganisir pemogokan buruh.

Tapi saya diam saja. Kadang, sikap moderat bagi mereka yang pemberani dan bagi mereka yang penakut bisa menjadi sangat samar bedanya, sulit dipastikan. Kadang karena perbedaan kacamata dan warna kajian memang sulit didamaikan. Satu pihak bisa tidak menganggap mendesak apa yang pihak lain menganggapnya sebagai ancaman.

***

Stigma lebih sering merupakan produk ketidakmengertian yang ahistoris. Tapi anak-anak muda yang berkumpul di Gazebo Literasi semalam tetap merupakan kekuatan potensial Muhammadiyah di arus bawah. Muhammadiyah harus mengayomi, sebab merekalah salah satu kelompok yang tidak lelah ‘menghadirkan Muhammadiyah’ di dunia advokasi kultural.

Baca Juga  Pemuda Menjaga Budaya Lokal di Kampung Lali Gadget

Mereka tidak dibayar siapapun. Mereka adalah anak zaman yang lahir dari keresahan-keresahan, yang secara praktik belum menjadi prioritas utama Muhammadiyah. Mereka tidak akan berkurang Kemuhammadiyannya sekalipun jalan perjuangan mereka mungkin telah membuat mereka menjadi terasing, tapi alangkah sayang bila aset besar harus disia-siakan.

Salah satu perbincangan kecil selepas acara diskusi ekologi kemarin adalah gagasan untuk mengumpulkan orang-orang Muhammadiyah, baik tua dan muda, yang selama ini telah menunjukkan dedikasi dalam membela lingkungan hidup. Harus ada semacam ‘kado kecil’ untuk meramaikan Muktamar, yang berisi pesan bahwa Muhammadiyah tidak pernah kekurangan kekuatan.

*) Kader Muhammadiyah. Direktur Eksekutif the Reading Group for Social Transformation (RGST)

Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds