Dalam (QS. Ali-Imran: 31-32) Allah memerintahkan kepada Rasulullah, agar beliau memberi jawaban/komen terhadap orang-orang yang mengatakan dirinya cinta kepada Allah. Ada satu cara yang harus dilakukan jika mereka benar-benar cinta, yaitu ittiba’ (mengikuti) ajaran Rasulullah dalam bentuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling (mengingkari) hal itu, Allah tidak akan mencintaimu karena kamu kafir.
Tentang asbabun nuzul ayat ini, Ali Hasaan berkata, bahwa beberapa kaum pada masa Nabi berkata, “Demi Allah ya Muhammad, sesungguhnya kami benar-benar mencintai Tuhan kami.” Maka Allah menurunkan QS. Ali Imran ayat 31 ini. (HR. Ibnu Mundzir)
Cinta Kepada Allah
Rasa cinta (hubb) merupakan salah satu hal terpenting dalam hidup manusia. Tanpa cinta, kehidupan manusia akan menjadi hampa. Namun, cinta tertinggi atau puncak cinta ialah cinta kita kepada Allah SWT.
Cinta dalam ucapan saja tidaklah cukup. Cinta di hati ini butuh pengorbanan dan perawatan. Menyatakan cinta, padahal kehendak hati yang dicintai tidak diikuti, adalah cinta palsu. Allah tidak menyukai kepalsuan. Cinta itu ditandai dengan rasa rindu kepada yang dicintai. Objek cinta dapat berupa cinta dari orang tua kepada anak atau sebaliknya, cinta kepada kekasih, dan yang paling hakiki adalah cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Menurut Imam Al-Ghazali, cinta adalah kebaikan, dan bersumber dari curahan kasih Allah SWT kepada hamba-Nya. Cinta hanya dapat dilihat dari akibat yang dihasilkannya. Cinta adalah mendamaikan, memberikan kebaikan, dan melatih pribadinya untuk terus menjadi seorang hamba yang lebih baik lagi.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam kitabnya berjudul Raudhah Al-Muhibbin menjelaskan, cinta seseorang kepada Rasulullah juga sudah termasuk cintanya kepada Allah. Dari cintanya seseorang kepada Allah itu, maka semua yang dimaksudkan kepadanya adalah untuk Allah SWT.
Ada empat syarat sikap untuk memperoleh kecintaan Allah dan kelezatan iman yaitu:
لنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ، وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ ؛ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّار
“Ada tiga perkara yang jika ketiganya dimiliki seseorang maka dia (dapat) merasakan manisnya iman. (1) Yaitu orang yang hanya mencintai Allah dan RasulNya, (2) orang yang hanya mencinta atau tidak mencinta karena Allah, (3) dan orang yang enggan kembali dalam kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu sebagaimana dia enggan dilemparkan ke dalam neraka”.
Ibadah adalah Bukti Cinta Kepada Allah
Ustaz Muhammad Fikri Aziz, MA, dalam Kajian Ramadan Masjid Nursiah Daud Paloh, Jakarta Barat. Beliau mengatakan, bahwa pembuktian cinta tersebut harus ditunjukkan dengan beribadah hanya kepada Allah SWT. Ibadah, lanjutnya, merupakan puncak dari rasa cinta kepada Allah SWT. Ibadah tersebut tidak akan sempurna jika tidak didirikan di atas tiga fondasi utama; Pertama al mahabbah atau rasa cinta, kedua al khauf atau rasa takut, dan ketiga ar raja’ atau rasa harap.
Barang siapa beribadah kepada Allah hanya dengan bermodalkan al-mahabbah atau rasa cinta, ia merupakan seorang yang munafik. Barang siapa beribadah kepada Allah hanya bermodalkan ar-raja’ (rasa harap), ia akan menjadi seorang Murji’ah; dan barang siapa beribadah kepada Allah hanya bermodalkan al-khauf (rasa takut), ia merupakan orang gharuri.” Dan barang siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta, rasa takut, dan rasa harap, orang inilah yang disebut dengan orang yang beriman dan menauhidkan Allah SWT”, tuturnya.
Ada dua ibadah yang dilakukan yaitu ibadah wajib dan ibadah sunah. Ibadah wajib adalah ibadah minimal yang dilakukan. Ibadah ini wajib ittiba’ benar dan murni berdasarkan amalan Rasulullah. Sedangkan ibadah sunah adalah ibadah nafillah (tambahan) yang akan berfungsi untuk tambal sulam dari keutamaan ibadah wajib; misalnya shalat tahajud. (QS.Al-Isra’: 79).
Lebih Mencintai Allah dan Rasulnya
Salah satu tanda cinta adalah memberikan yang lebih dari yang lainnya. Demikian pula halnya seorang Muslim dalam mencintai Allah dan Rasul-Nya. “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”. (QS. Al-Baqarah: 165).
Doa Mohon Kecintaan Allah
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَالْعَمَلَ الَّذِي يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ اللَّهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي وَأَهْلِي وَمِنْ الْمَاءِ الْبَارِدِ
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kecintaan-Mu, dan kecintaan orang yang mencintai-Mu, serta amalan yang menyampaikanku kepada kecintaan-Mu. Ya Allah, jadikanlah kecintaan-Mu lebih aku cintai daripada diriku, keluargaku serta air dingin”. (HR. Tirmidzi)
Keteladanan Muhabib Abu Handzalah
Handzalah bin Abi Amir merupakan sosok pemuda Anshar yang tangguh dari Kabilah Aus. Ia menjadi salah satu sahabat Nabi yang sangat tunduk kepada perintahnya. Handzalah menikah di Madinah dengan Jamilah binti Abdullah. Handzalah meminta izin kepada Rasulullah untuk bermalam pertama bersama istrinya. Rasulullah pun mengizinkan. Handzalah dan Jamilah berbahagia dengan menyandang status baru sebagai pengantin baru.
Setelah terbitnya fajar, Handzalah pun melaksanakan salat Subuh. Namun ia segera kembali ke pelukan istrinya. Di saat bersamaan terdengar seruan “Hayya ‘alal jihad” (Mari Berjihad)” sebagai pertanda dari Rasulullah untuk memerintah perang.
Karena keteguhan hati, pendirian, serta kepatuhannya kepada Rasulullah dan agama, ia bergegas memenuhi panggilan perang tersebut. Istri Handzalah, Jamilah sangat mendukung suaminya untuk ikut dalam peperangan karena rasa cintanya kepada Allah. Jamilah hanya bisa memeluk dan menatap Handzalah untuk berangkat berjihad ke Perang Uhud. Sebuah pedang dibawa Handzalah dalam kondisi tidak sempat mandi junub.
Pada awalnya, prajurit Muslim menang. Namun kawanan Muslim kembali diserang dari belakang. Saat itu juga Handzalah dihantam pedang dan belati serta anak panah dan tombak oleh kaum kafir Quraisy. Tubuh Handzalah terbujur dan meninggal.
Setelah peperangan Rasul mencari prajurit Muslim yang gugur. Tidak berselang lama Rasul menemukan jasad Handzalah dalam keadaan bersih dari bercak darah. Bahkan rambutnya basah, padahal kondisi Bukit Uhud gersang tanpa air. Seorang sahabat Nabi memberitahu bahwa Handzalah baru saja menikah dan ia dalam keadaan junub. Nabi pun mengatakan, “Aku melihat dia telah dimandikan oleh para malaikat di antara langit dan bumi.” Sejak saat itu Handzalah dijuluki mujahid Ghasilul Malaikah, orang yang disucikan makhluk Allah yakni para malaikat.
Editor: Saleh