Berbicara mengenai masalah penanganan penyebaran Covid-19, saya kali ini benar-benar berpuasa mengkritik pemerintah. Karena saya tahu, itu akan mubazir dan tidak menyelesaikan masalah.
Memang sebagian kelas menengah ke atas sedang gencar protes mengenai kebijakan yang terlalu santai. Menurut mereka, semestinya Indonesia bukan lagi “Darurat Bencana”, tapi “Darurat Nasional.”
Tapi kan mereka juga harus mengerti, untuk menaikkan kondisi menjadi Darurat Nasional harus punya sumberdaya yang cukup. Pemerintah khawatir, jika sumberdaya (keamanan, rumah sakit, tenaga dan peralatan medis, serta logistik) tidak mencukupi, maka bisa ditebak: kekacauan sosial. Masyarakat kita kan agak aneh. Sepintas, terlalu santai. Tapi mudah marah dan bergejolak.
Terlebih bahwa, jika tahapan tertinggi ketika menghadapi penyakit pandemik ini diterapkan, bisa jadi perekonomian kita terjun bebas. Bisa menjadi bagian dari krisis moneter pasca reformasi. Dan pemerintah saat ini, berpotensi digulingkan. Jokowi dan Ma’ruf Amin bisa jatuh secara mendadak dan inkonstitusional.
Lantas apa yang perlu diperhatikan? Kita sebenarnya, sebagai individu-individu bangsa, mengambil langkah individual. Mari mengamankan diri kita masing-masing, secara personal. Menyelamatkan diri sendiri, lebih penting dari apapun. Demi survival, istilahnya.
Ketika pemerintah bilang, mari menerapkan strategi “social distancing,” sebagian kalangan sudah mengikuti. Berbagai sekolah dan universitas, menjalankan perkuliahan secara daring. Masalahnya, baik guru, murid, dosen maupun mahasiswanya, sangat tidak bisa lepas dari kebiasaan berkumpul secara komunal.
***
Di saat sekolah diliburkan (2-3 Minggu), ternyata masih banyak yang memilih bepergian rekreasi. Jelas itu tempat umum, banyak orang berkumpul dan penyebaran virus sangat leluasa. Tidak berbeda dengan para mahasiswa. Ketika ada seruan “jangan pulang kampung,” mereka lebih memilih begadang di kafe-kafe setiap malam. Sepertinya malam Minggu yang berlangsung setiap hari tanpa henti. Alasannya, akses internetnya gratis.
Sebenarnya, langkah bersosialisasi jarak jauh ini baru dilakukan, setelah Menteri Budi Karya positif terjangkit Covid-19. Lantas beramai-ramai para pejabat yang berinteraksi dengannya memeriksakan diri. Istilahnya, menunggu ada korban jatuh, baru bertindak.
Sama persis dengan mereka yang tidak peduli masalah ini. Kalau memang terbiasa bekerja dengan kerumunan sosial (di pasar misalnya), mustahil memodifikasi pekerjaannya secara online. Tukang-tukang, ya tetap menjadi pekerja lapangan. Bertemu dengan para pekerja lainnya. Para driver ojek online misalnya, tetap bekerja seperti biasanya. Karena tanpa virus mematikan sekalipun, penghidupan mereka sudah terancam. Mereka bukan pegawai administratur yang duduk di kantor dan dibayar bulanan.
Sejujurnya, Covid-19 ini benar-benar berbahaya, sampai antivirusnya yang manjur ditemukan. Tapi tidak semua menganggapnya demikian. Malah tidak perlu berkampanye agar tidak panik, karena nyatanya masyarakat benar-benar menghiraukannya. Kecuali, nanti korban Covid-19 ini akan bertambah secara massif. Bahkan korban meninggal karena virus ini bisa melampaui angka yang dicapai Iran dan Italia. Nah, peristiwa itulah yang memungkinkan akan menggerakkan kesadaran masyarakat.
***
Oke. Masyarakat kita bisa dibilang memang kurang memiliki kesadaran. Tapi tolong jangan dibanding-bandingkan dengan mereka yang ada di Taiwan, Singapura, Korea dan Jepang yang sukses menangkal Covid-19. Kita berbeda dengan mereka. Kita memiliki imunitas sosial yang unik dan menarik.
Nanti, ketika korban-korban berjatuhan secara lebih konkret, maka masyarakat sendiri yang akan menerapkan self-isolation atau self-quarantine. Bahkan melakukan “lockdown” otomatis. Mereka akan menghabiskan waktunya di rumah dan keluar jika sangat diperlukan untuk membeli bahan makanan. Tentu intensitas penduduk yang keluar dan masuk di suatu kota akan otomatis menurun drastis.
Bagaimana dengan para pekerja lapangan? Mereka akan tetap bekerja dan hanya terbatas pada komunitas mereka sendiri. Kalau beruntung, mereka tidak terjangkit. Tapi jika sial, mereka bisa berobat di rumah sakit setempat. Jika tidak mampu membayar, bukankah kematian merupakan hal yang lumrah? (Mohon dipahami, kalimat ini adalah satir untuk siapa saja yang enggan berpikir betapa Covid-19 sangat berbahaya).
Dengan hal yang serba otomatis ini, nanti penyebaran virus akan reda sendiri. Masyarakat yang survive akan tetap bertahan. Sementara yang tumbang, berakhirlah menjadi bagian dari sejarah wabah pandemik. Dalam konteks ini, pemerintah bisa menghemat biaya. Karena pemerintah tidak perlu menghabiskan sumberdaya untuk rakyatnya. Bahkan, uang negara bisa dijadikan fasilitas survival bagi mereka dan keluarganya.
Jadi, kalaupun penanggulangan virus ini tidak diurus dengan baik, kita tidak perlu terlalu khawatir. Tidak juga perlu memprotes pemerintah. Karena percuma, mereka tidak akan pernah mendengarkan kita. Sama persis dengan kita, yang enggan mendengarkan nasehat pemerintah. Biarkan saja semuanya terjadi secara alamiah. Yang kuat, yang bertahan.
Hingga selesai tulisan ini dibuat, saya sengaja berkeliling menggunakan motor mengintari kota. Ternyata kafe-kafe penuh sesak, warung-warung masih ramai, mall dan toko-toko masih penuh pengunjung. Mengapa? Karena watak santai masyarakat ini adalah salah satu strategi bertahan hidup mereka. Karena itu, semakin banyak korban Covid-19, akan semakin kuat kesadaran survival mereka.