Geger ucapan nir adab salah satu penceramah memunculkan pertanyaan mendasar, kok bisa seorang yang dianggap mengerti agama kadang bisa bicara kasar, kotor bahkan porno, seolah bangga dengan branding yang disandangnya. Meskipun sudah ada klarifikasi, silaturahmi dan permintaan maaf, namun budaya kasar dan kotor, bulliying, dan persekusi seolah menjadi budaya beberapa da’i yang sedang membangun eksistensi diri.
Bukankah mulut adalah pintu keluar isi pikiran manusia, apa yang diucapkan pastilah apa yang ada di kepalanya. Apa yang kita batin akan kita pikirkan, apa yang kita pikirkan akan menjadi ucapan, apa yang sering kita ucapkan menjadi tindakan, apa yang sering kita lakukan akan menjadi karakter, dan karakter itulah yang mempengaruhi takdir hidup kita. Itulah sepenggal kalimat yang sering disampaikan ustadz Sholihin, salah satu ketua PWM Jatim.
Ketika dakwah hanya sebagai wasilah mencari maisah, maka banyak nilai yang bisa dilanggar. Kelucuan menjadi senjata andalan. Antara pencerahan dan sekedar hiburan atau lawakan semakin kabur batasnya. Jadi ingat kata-kata Zainuddin MZ, bahwa masa modern menempatkan tuntunan jadi tontonan, sedang tontonan jadi tuntunan. Agama menjadi lawakan, meskipun tertawa dan menertawakan hal yang berbeda. Rasulullah dan para ulama juga sering menyampaikan pesan-pesan agama dengan gaya humoris, namun tidak kasar dan kotor.
Lawakan di Indonesia kadang lebih menonjolkan aspek gojlokan (body shaming, merendahkan, membully). Sudah biasa parodi lawakan diisi dengan cemoohan, semakin sadis semakin lucu. Kesulitan dan ketidakberuntungan menjadi bahan tertawaan. Kadang seorang pelawak harus dikata-katain jelek untuk menarik tawa audiens, berpakaian jorok dan bertingkah bodoh supaya ditertawakan. Semakin konyol semakin lucu.
Ternyata fenomena tersebut merambah pada dunia da’i yang mestinya menjadi panutan dan mengusung misi mengangkat harkat dan martabat manusia. Susah membedakan gaya komunikasi da’i yang katanya berilmu dengan awam yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, padahal kadang yang tidak sekolah malah memiliki adab dan akhlak yang baik. Sehingga kadang lawakan da’i model gini susah dibedakan dengan lawakan preman pasar. Susah menilai yang sedang bicara itu sebenarnya orang alim apa orang awam. Atau sebenarnya awam tapi bergaya alim.
Banyak juga para da’i yang menyampaikan nilai-nilai luhur agama dengan santai, sesekali bercanda segar tanpa harus bertutur kasar. Mereka ini menyodorkan kedalaman ilmu dan wawasan bukan asal bunyi supaya viral dan hanya menyenangkan audiens.
Memang, gaya komunikasi para da’i (pendakwah) di Indonesia sangat beragam, dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pendidikan, dan audiens yang mereka hadapi. Ada yang bergaya persuasif dan inspiratif. Para da’i sering menggunakan pendekatan persuasif untuk menyampaikan pesan keagamaan. Mereka berbicara dengan nada yang meyakinkan, penuh motivasi, dan menyentuh hati audiens.
Ada juga yang bergaya humor dan santai. Banyak da’i yang menggunakan humor sebagai alat untuk mencairkan suasana. Gaya ini sangat efektif untuk menarik perhatian dan menjaga konsentrasi audiens. Bayangkan umat yang sudah seharian tegang di tempat kerja kemudian hadir di pengajian yang tegang dan formal, pasti tidur semua.
Namun demikian, jika audiennya kalangan terdidik beberapa da’i memilih pendekatan yang lebih formal akademis dengan menyampaikan ceramah secara sistematis dan penuh rujukan ilmiah. Ada juga yang menggunakan cerita-cerita penuh hikmah untuk menyampaikan nilai-nilai keislaman. Cerita ini sering kali melibatkan kisah Nabi, sahabat, atau tokoh inspiratif lainnya. Adapun corak da’i tasawuf lebih menekankan sisi emosional dan spiritual dalam ceramah mereka. Tujuannya adalah menyentuh hati audiens agar lebih dekat kepada Allah.
Beberapa da’i melibatkan audiens dalam ceramah dengan tanya jawab, diskusi, atau bahkan memanfaatkan media sosial untuk interaksi langsung. Da’i ini memanfaatkan kearifan lokal, seperti penggunaan bahasa daerah, seni tradisional (wayang, tembang), atau adat tertentu untuk menyampaikan pesan agama.
Pada dasarnya misi seorang da’i adalah dakwah pencerahan, menjelaskan agama supaya umat beragama semakin taat. Dalam pelaksanaannya da’i menyesuaikan gaya komunikasi dengan audiens, baik dari sisi usia, pendidikan, maupun latar belakang budaya. Da’i modern memanfaatkan YouTube, TikTok, dan Instagram untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Gaya ceramah juga dipengaruhi oleh karakter pribadi da’i itu sendiri. Dengan pendekatan yang bervariasi ini, para da’i di Indonesia mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat, dari pedesaan hingga perkotaan, dari generasi tua hingga muda.
Lalu kenapa ada da’i yang suka bicara kasar, jorok, porno dan kadang menghina? Fenomena munculnya da’i yang menggunakan bahasa kasar, jorok, bahkan mengarah ke konten porno atau menghina sering menjadi sorotan di masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:
Pertama, untuk menarik perhatian. Beberapa da’i menggunakan bahasa kasar atau jorok untuk memancing perhatian audiens, terutama di era digital yang penuh persaingan. Konten kontroversial sering kali lebih cepat viral, sehingga gaya ini dianggap efektif untuk mendongkrak popularitas.
Biasanya da’i macam ini memburu target honor semata. Meskipun berhasil menarik perhatian, gaya ini bisa merusak kesan dakwah dan menimbulkan persepsi negatif terhadap Islam. Seolah memang Islam itu kasar dan porno. Islam banyak dipahami oleh masyarakat melalui mulut para da’i.
Kedua, kurangnya pemahaman tentang etika dakwah dan minimnya ilmu agama. Tidak semua da’i memiliki ilmu yang mumpuni dan pembinaan formal yang kuat tentang adab dan etika dalam berdakwah. Mereka mungkin terfokus pada tujuan jangka pendek (menarik massa) tanpa memikirkan dampak jangka panjang. Hasilnya adalah pendekatan kasar atau tidak sopan sering kali muncul karena kurangnya kepekaan terhadap norma sosial dan agama.
Ketiga, kurang memahami dalam teks dan audiens. Surah An-Nahl: 125: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…”. Memang betul salah satu dakwah bil hikmah itu berbicara sesuai tingkat pemahaman umat, bukan berarti ketika mereka punya kebiasaan bicara kasar kemudian da’i menyesuaikan dengan bicara kotor dan kasar pula.
Mungkin da’i tersebut mengira bahwa gaya bicara ekstrem atau “blak-blakan” lebih relevan dengan audiens tertentu, seperti anak muda atau komunitas tertentu. Alih-alih membangun hubungan, gaya ini sering kali justru membuat audiens merasa tidak nyaman atau kehilangan kepercayaan pada isi dakwah.
Dakwah itu mencerahkan, mengarahkan umat sesuai kehendak agama, bukan mengikuti arus masyarakat yang masih awam. Gaya bicara kasar atau vulgar sebenarnya malah merusak esensi dakwah dan bisa mengurangi kepercayaan publik terhadap para pendakwah secara umum.
Keempat, bisa jadi memang sifat pribadi yang kasar. Gaya bicara kasar atau menghina kadang mencerminkan sifat asli da’i tersebut, bukan strategi dakwah. Sikap ini sering muncul dari kurangnya pengendalian emosi atau rasa superioritas. Sekali lagi, umat cenderung menilai agama berdasarkan perilaku da’i, sehingga citra Islam bisa tercoreng.
Kelima, namun demikian ada kalanya kekasaran tersebut karena ketidaksengajaan, kesalahpahaman atau terplesetnya lisan. Kadang-kadang, niat da’i tidak buruk, tetapi penyampaiannya dianggap kasar atau tidak sopan oleh audiens tertentu. Ini bisa terjadi karena perbedaan budaya, latar belakang, atau sensitivitas. Hal ini dapat dilihat dari rekam jejak sebelumnya, apakah memang hobby berbicara kasar, menghina, porno, dan ngawur.
Memang ironi jika da’i yang mestinya memberi nasehat namun malah lebih banyak butuh nasehat dari umat. Apa boleh buat, masyarakat harus lebih selektif dalam memilih da’i yang diikuti dan mendukung da’i yang mengutamakan akhlak mulia. Bukankah dalam kitab-kitab kuning pesantren juga mengajarkan bagaimana cara memilih guru.
Para da’i diharapkan senantiasa introspeksi agar dakwah mereka tidak sekadar “viral” tetapi juga membawa manfaat bagi umat. Da’i yang tidak memiliki ilmu agama yang mumpuni, hanya menjual sensasi dan kekasaran tidak perlu diundang ceramah, masih banyak da’i lain yang santun, humoris, dan otaknya berisi ilmu agama.
Islam mengajarkan bahwa dakwah harus dilakukan dengan lemah lembut, penuh hikmah, dan kasih sayang. Gaya kasar atau menghina, meskipun mungkin menarik perhatian sesaat, hanya akan menjauhkan hati manusia dari pesan utama dakwah. Humoris memang penting namun tidak perlu kasar.
Ketika kuliah dulu saya menghadiri seminar tafsir dari ulama Ali As-Shabuni, penulis kitab Rawaihul Bayan. Hanya memandang wajah santun dan sejuknya saja suasana hati ikut bahagia serasa adem. Tanpa lawakan, candaan, bulliyah, apa lagi kata-kata kotor, kapasitas keilmuan dan akhlaknya sudah mampu menyejukkan hati.
Da’i yang faqih biasanya juga beradab. Adapun da’i yang kosong biasanya cuma berisik, tong kosong nyaring bunyinya. Ketika da’i menjadi profesi mencari nafkah, maka etika diabaikan. Bahkan ada yang sampai membuat meme, lebih terhormat menjual es teh dibanding menjual agama.
Editor: Soleh