Sejak saya menjadi mahasiswa tahun 2000 dan tinggal di dekat kediaman seorang tokoh Muhammadiyah, Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta, saya sudah mulai mengenal Buya Yunahar Ilyas karena rutin mengikuti Pengajian Malam Selasa (PMS) di Kauman, pengajian rintisan Kiai Ahmad Dahlan yang saat ini pengajian itu masih eksis dilaksanakan di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah.
Almarhum sering mengisi kajian tersebut Bersama tokoh-tokoh pimpinan yang lain. Menjadi narasumber forum pengajian ranting sampai pusat, halaqah dakwah sampai seminar internasional merupakan kegiatan yang sering beliau lakukan. Bahkan almarhum juga diminta menjadi penguji disertasi doktoral di kampus-kampus Malaysia. Sungguh beliau adalah sosok Da’i yang komplit (all round).
Saya merasa senang sekali bisa mengenal Ustadz yang makin moncer dan sedang naik daun dalam Kancah Persyarikatan Muhammadiyah, Nasional bahkan global. Ada rasa sungkan dan segan pada beliau saking takdzimnya dalam berinteraksi dengan beliau, apalagi saya masih mahasiswa baru. Ustadz Yun, bapak-bapak pengurus PMS biasa memanggil beliau atau akhir-akhir ini biasa dipanggil Buya Yunahar. Khas ustadz Muhammadiyah, kadang saya dapati beliau berpenampilan sangat formil, kadang berpeci berjas dan kadang tidak berpeci, meski tidak mengurangi keulamaan beliau.
Setelah saya mulai aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dari komisariat sampai DPD IMM, makin bersemangat saya karena saya ketahui dari beberapa tulisan, Almarhum Buya Yun juga alumni DPP IMM dan malang melintang di berbagai organisasi baik Nasional maupun Internasional (Rabithah alam Al Islamy). Makin muncul dalam hati saya rasa kagum dan mengidolakan sosok almarhum, maklum biasa anak muda kalo mengidolakan seseorang dimulai dari berkenalan, berjabat tangan, berswaphoto sampai mengenali pemikiran tokoh tersebut. Serangkaian hal tersebut juga saya alami.
Dalam forum-forum perkaderan Muhammadiyah dan diskusi Ilmiah, sesekali saya jadi moderator beliau dan akhir-akhir ini makin sering, kebetulan almarhum juga ketua Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) tempat saya mengabdi. Selaku Ketua BPH, beliau mengusulkan agar perkaderan Baitul Arqam (Pengkajian dan Pengamalan Kemuhammadiyahan-PPKM) bagi dosen baru UAD ditambah durasinya, dari tiga hari dua malam menjadi lima hari empat malam. Tanda bahwa almarhum sangat peduli dan perhatian pada proses kaderisasi, agar lebih berbekas bagi dosen baru, ungkap beliau. Sudah dua angkatan berlaku dengan lima hari empat malam, semoga dilanjutkan pada angkatan berikutnya.
Basuo bacarito, (berjumpa dan bercerita) langsung akrab meski baru bertemu. Pengalaman memoderatori beliau, karena keluasan ilmu beliau, ketawadhuan beliau, kaliber beliau, menjadikan saya harus berhati-hati dan berupaya agar tidak salah dan beliau tidak berkenan. Tidak luput kadang beliau juga mengoreksi saya langsung, jika kurang pas atau kurang tepat. Masukan dan kritik langsung disampaikan, ciri orang awak yang selalu gunakan pintu depan, meminjam bahasa Buya Syafii. Jelang sesi dan atau setelah sesi pelatihan saat di ruang transit, biasanya saya dan panitia mendampingi almarhum ramah tamah, jagongan. Kadang beliau masih berlama-lama di ruang transit batamu bacarito, selama beliau tidak memiliki padat jadwal dan terburu-buru.
Dalam sesi batamu bacarito inilah, beliau berbagi pengalaman, cerita dan dinamika Persyarikatan Muhammadiyah, masalah keummatan dan kebangsaan sampai yang sangat pribadi, secara leluasa. Yang sesekali membuat kami kaget, itulah keakraban dan keramahan almarhum, seakan meski baru berjumpa terasa sudah lama mengenalnya.
Integritas sebuah Keharusan
Dalam sebuah kesempatan beliau bercerita: “menurut beliau, almarhum sudah hampir delapan kali rapat tatap muka dengan orang nomor satu di negeri ini, meski catatan beliau kadang hasil tidak sesuai dengan harapan. Lalu almarhum dalam kesempatan lain pernah bertanya pada Pak HN, “sudah terlalu sering kita menghadap, tapi hasilnya banyak yang tidak sesuai harapan, buat apa lagi kita menghadap?, seakan almarhum protes. Jawab Pak HN, “ya untuk memberi masukan dan mengisi apa yang beliau belum pikirkan”. baiklah kata almarhum. Almarhum ingin memastikan apa yang beliau perankan sebagai pimpinan Persyarikatan dan tokoh, dapat dipertanggungjawabkan. Itulah integritas, yang hari ini makin mahal.
Saat Buya Yun muhibah dakwah ke luar negeri German kalau tidak salah, untuk menuju sebuah kota, beliau harus menempuh berjam-jam perjalanan menggunakan kereta api. Kebetulan buya duduk berhadapan dengan seorang nenek tua. Tipikal orang Indonesia dalam beramah tamah, meski almarhum mengakui punya keterbatasan Bahasa, tapi berupaya bertegur sapa sebisanya, sebagai bentuk penghormatan dan keramahan. Nenek itu sangat Bahagia sekali nampaknya, karena diuwongke. Di negeri dimana mungkin kejadian itu semakin langka akhir-akhir ini.
Itulah sosok Almarhum Buya Yunahar Ilyas, baik sebagai seorang dai yang handal, humanis, peduli kaderisasi dan menjunjung integritas.