Al-Qur’an, Big Data dan Revolusi 4.0
Al-Qur’an, big data, dan revolusi 4.0 merupakan upaya untuk menjadi dalam bahasa Al-Qur’an ‘masuk Islam secara kaffah’. Artinya, gerakan yang mengacu kepada Al-Qur’an, big data dan revolusi 4.0 harus non-sektarian. Fokus pada keilmuan dan dampak kebajikannya, serta berorientasi kepada kebermanfaatan universal untuk kemanusiaan. Sebenarnya, sektarian boleh saja. Bahkan boleh meyakini kebenaran mazhabnya dengan seyakin-yakinnya. Tetapi, tidak boleh mengafirkan dan merasa paling benar sendiri. Fokus pada ilmu lebih kepada pemahaman makna hujjah, bukan sekadar teks dalilnya tanpa pemahaman penjelasannya.
Dalam pada itu, kondisi umum keberagamaan kita adalah (i) masalah fikih sampai saat ini tidak kelar-kelar dan tetap memecah-belah; (ii) sibuk menyempurnakan bentuk-bentuk (zahir)/fikih; (iii) pada saat yang sama abai/tidak paham dengan isi, sehingga abai dengan alam raya; dan (iv) tragisnya bahkan bangga jadi konsumen temuan tentang alam & cukup dengan idea keyakinan al-Qur’an benar. Padahal tidak mengerti.
Dengan kata lain, mayoritas kecenderungan keberagamaan kita adalah fanatisme dan penonjolan identitas. Ada dua kemungkinan: (i) awam dan ustaz sama-sama fanatik; dan/atau (ii) ada perjumpaan pasar ide antara awam dan ustaz mengenai tema yang disukai. Tentu hal ini tidak bisa digeneralisasi.
***
Keilmuan dan gerakan yang berkembang dalam mayoritas komunitas keberagamaan kita: (i) fadhoil a’mal dan khilafah. Ditambah lagi, metodologi yang dipakai dalam penyajian keilmuan majelis-majelis ilmu, ustaz dan akhirnya juga ke awam: positivisme. Yaitu, penggunaan dalil tekstual tanpa interpretasi, kemudian dijadikan acuan langsung bersikap dan bertindak.
Ada juga sekelompok kecil yang kecenderungan keberagamaannya dan metodologi keilmuannya liberal tetapi tidak kontekstual; atau salafi yang tidak kontekstual. Tidak kontekstual maksudnya adalah menggunakan tradisi yang tidak sesuai dan justru juga tidak melahirkan kemajuan keberagamaan dan keilmuan.
Organisasi yang cenderung bergerak dalam kancah dukung-mendukung politik, hijrah jilbab dan jenggot, celana cingkrang dan gamis, hafalan al-Qur’an dan lomba tahfiz menggunakan media konvensional (pengajian di masjid, majelis taklim, dll) yang kemudian dikembangkan dengan media non-konvensional (youtube, IG, facebook, dll). Pengumuman kegiatan mereka secara getok-tular juga menggunakan media social (medsos). Begitupula mazhab keagamaan salafi, wahabi, sufi salafi, tekstualis, kontekstualis, liberalis dan yo wes ben dan tuman, mereka juga menggunakan dua media di atas.
Dalam situasi seperti ini, mungkin kompetisinya ada di konten. Terkait konten ini, perlu didiskusikan secara cepat dan tepat tentang al-Qur’an sebagai basis big data dan revolusi pemikiran masyarakat muslim dalam ruang industri 4.0. Bagaimana caranya menjadikan al-Qur’an sebagai konten big data? Apa dan bagaimana program yang harus dilakukan?
***
Di sinilah relevansi Islam kaffah tadi. Yaitu, Islam itu metode keilmuan, bukan sekadar sebagai agama dan keyakinan. Pendekatan mempelajarinya harus kaffah, yaitu: pendekatan empiris, rasionall, dan intuitif. Terapan dalam memahami Al-Qur’an sebagai big data bisa dengan tiga model, yaitu: (i) wahyu – teoritisasi – realitas – aktualisasi nilai; (ii) realitas – teoritisasi – wahyu – aktualisasi nilai; (iii) integrasi wahyu dan realitas. Dengan bahasa lebih singkat: Wahyu – Kemanusiaan – Nilai Semesta; atau Kemanusiaan – Wahyu – Nilai Semesta.
Dalam melakukan proses pemahaman itu, agar pemahaman dan makna koheren, maka qira’ah (menelaah secara deduktif) dan istiqra’ (menelaah secara induktif) harus dengan hati yang hidup, bukan dengan hati yang mati. Yakni, qira’ah dan istiqra’ harus melahirkan visi produktif dan produk pemikiran yang bernilai bagi kemanusiaan.
Dalam pada itu, yang perlu dipikirkan dan digerakkan adalah bagaimana mengisi konten-konten medsos di internet dengan kampanye pentingnya metodologi keilmuan integratif; kaffah, tidak bela dan cela mazhab, cinta kebenaran ilmiah seperti disebutkan di atas. Jadi, kontennya bukan untuk membela mazhab dan berpendapat untuk menguntungkan mazhabnya. Toh madzhab itu, kata Al-Imam Al-Ghazali, bukanlah panitia untuk masuk surga.
Seperti disebutkan sejak awal tulisan ini, big data Al-Qur’an secara makna sangat luas dan kaya kandungannya. Tantangannya adalah bagaimana menyajikannya dengan cermat, mudah, dan wow. Yaitu, penyajian dengan kata-kata mudah, pendek dan mengena. Menyajikan fakta, kebenaran dan wow keren. Di sini, melalui big data Al-Qur’an, kaum milenial perlu bersiap bertempur dengan konten-konten milenial yang aneh, unik, tapi disukai. Tujuannya adalah menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber konten big data yang menginspirasi, menggerakkan dan mengisi big data dunia dalam bingkai revolusi 4.0. Wallahu a’lam.