Perspektif

Dakwah Salafi: Infiltrasi, Agitasi, Propaganda

3 Mins read

Trilogi harakah Islam moderat: Muhammadiyah, NU dan MUI. Saya menyebutnya tiga pemain lama. Banyak jasa, tapi bisa saja akan dilupakan. Banyak amal usaha, tapi bisa saja akan menjadi semacam proyek tanpa ruh. Banyak jamaah, tapi bisa saja hanya akan tinggal jumlah hitungan.

Kebutuhan umat terus berubah, dinamis dan cepat. Lantas kapan bisa merawat agar lestari. Kyai Dahlan dan Kyai Hasyim cukup fenomenal, kenapa ? Karena keduanya tahu kebutuhan jamaah di mana keduanya hidup dan tinggal. Pangkal soalnya adalah tak semua orang Muhammadiyah dan NU paham dengan pikiran keduanya. Ada yang menangkap sebagian, tapi ada yang tidak sama sekali.

Kyai Dahlan dan Kyai Hasyim, bukan hanya tahu masalah, tapi juga memberi jawaban dan solusi atas kebutuhan umat. Dr. Harry Kraemer, seorang misionaris dari Belanda, cukup jeli ketika menjelaskan kegeniusan Kyai Dahlan menjawab banyak masalah keumatan.

Tidak banyak berdebat tapi jitu menjawab. Gagasan Kyai Dahlan tentang tajdid banyak dipuji meski pada awalnya dilawan karena banyak melawan tabu. Sebut saja tentang sistem sekolah yang memadukan antara ilmu agama dan ilmu umum dalam satu atap yang kemudian menjadi model sekolah nasional, siapa yang tidak tahu ?

Harry J Benda juga memberi apresiasi positif, bagaimana Kyai Hasyim berhasil mengelaborasi pikiran Islam klasik dalam sebuah harmoni yang menyehatkan. Bagi Kyai Hasyim, NU adalah jalan tengah. Semacam kompromi dari berbagai cara dakwah.

NU adalah kontinuitas dakwah Wali Songo’. Di mana, budaya dan adat dijadikan media dan alat bukan tujuan. Inilah kecerdasan sekaligus kearifan para ulama NU untuk melakukan percepatan islamisasi orang-orang Jawa yang dikenal sinkretis. Dengan demikian, Islam cepat dikenal dan tidak elitis.

Baca Juga  Enam Tips Manajemen Waktu ala Rasulullah

Muhammadiyah dan NU adalah pemain lama, mungkin juga sepasang klasik dan fenomenal. Mungkin itu sebutan yang membuat keduanya banyak lupa dan terjebak pada rutinitas. Tidak ada lagi hal baru, karena semua yang dilakukan adalah pengulangan yang dilakukan oleh Kyai Dahlan dan Kyai Hasyim 100 tahun yang lalu.

MUI adalah Buya HAMKA. Membangun eksistensi di masa orde baru berkuasa, agar Islam tidak direduksi oleh pikiran global dan modernitas. Membentengi umat Islam dari paham sekuler dan Kristenisasi yang mulai nakal.

Tapi fatwa saja tak cukup. MUI sering ‘terlambat bangun’ dan gagap menghadapi banyak isu dan kepentingan internalitas. Sibuk dengan urusan kompromi karena selisih antar golongan yang terus. Ini problem klasik dan MUI sering tak hadir di saat dibutuhkan.

Fatwa MUI banyak yang sudah di makan zaman. Nico JG Kaptain, The Voice of Ulama menyebut bahwa fatwa MUI kerap tidak membumi, alias elitis. Butuh ‘refreshing’ agar kembali segar seperti pada masa Buya HAMKA. Jauh dari kepentingan politik, tidak tunduk pada kepentingan orang banyak tapi tegak di tengah tanpa kompromi. Survive karena ber-intergritas tulis Buya Syafi’i Maarif, di-iya-kan Gus Mus.

Akan halnya Salafi. Salafi adalah ‘jalan pikir’. Jadi bukan gerakan amal. Tapi efektif. Liar dan lincah. Mulanya, Muhammadiyah adalah state of mind atau gerakan pemikiran sebelum dilembagakan. Kyai Dahlan bahkan sejak awal sudah mencemaskan ketika kita bakal hanya sibuk ngurus organisasi daripada gerakkan pemikiran atau state of mind.

Salafi: Sang Penawar Jalan Pikir

Sebagai ‘jalan pikir’ atau gerakan pemikiran, Salafi tidak harus persis Muhammadiyah. Dakwah Salafi tak butuh membangun Masjid, Univeritas, atau rumah sakit dengan biaya bermilyar-milyar, tapi cukup ‘men-Salafi-kan’ orang-orang yang ada di dalamnya.

Baca Juga  Konsep Ashgar Ali: Siapa yang Kafir Saat Covid-19 di Indonesia?

Pun tak harus meniru NU yang susah-susah urunan bikin pesantren, madrasah, atau masjid dan sibuk ngumpulin ribuan jamaah tahlil dan zikir, tapi cukup mengubah jalan pikir orang Nahdhiyin menjadi Salafi . Kuasai jalan pikirnya, maka akan menguasai amal usahanya. Demikian kira-kira.

Pada mulanya, Muhammadiyah dan NU juga menawarkan ‘jalan pikir’. Sebelum keduanya membesar dan melamban karena kebanyakan amal usaha. Keduanya sibuk ngurus amal usaha hingga lupa ‘jalan pikir’.

Ini perbedaan mendasar antara trilogi gerakan Islam moderat (Muhammadiyah, NU, MUI) dengan pemain baru: Salafi. Cara yang ditempuh Salafi ini sangat efektif mengisi ruang kosong yang ditinggalkan Muhammadiyah dan NU. 

Salafi menawarkan jalan pikir. Ini model lama yang dihidupkan kembali. Bisa saja dia berbaju Muhammadiyah, punya NBM bersimbol matahari, berkalung syahadat, atau bersarung, dan punya karta-NU bersimbol tali jagat.

Tapi, pola pikirnya ‘Salafi’. Ini yang banyak luput dari perhatian para pemain lama yang besar dan bangga dengan jumlah jamaah dan amal usahanya.

Jadi, Salafi adalah gerakan pemikiran. Maka, model dakwahnya adalah infiltrasi, agitasi, dan propaganda. teringat Muhammadiyah di tahun 30-an juga punya departemen agitasi dan propaganda yang bertugas membangun image dan brainstorming. Dan saya pikir, cukup sukses. Saat itu, Muhammadiyah menguasai media, sudah punya majalah, buletin, dan suhuf-suhuf yang disebar luas.

Pola dan strategi dakwah Salafi cukup ampuh karena diuntungkan dengan teknologi sebagai media dakwah ampuh, dan Salafi cukup pintar memanfaatkan. kaget saja tiba-tiba dimana-mana paham Salafi sudah menyebar seperti virus hinggap di setiap pikiran.

Dan ini yang lambat di sadari para pemain lama, yang sibuk dengan urusan ‘birokrasi dan adminstrasi’. Ternyata modal ‘besar’ saja tak cukup.

Baca Juga  Ketika Hari Santri Dipersoalkan

Salafi tidak menawarkan sekolah, rumah sakit, apalagi universitas, tapi ‘jalan pikiran’. Bahwa kemudian ada pesantren atau sekolah yang dibangun itu hanya produk atau washilah dari sebuah proses ‘jalan pikiran’ , bukan tujuan.

Tapi saya tetap yakin, Muhammadiyah, NU, dan MUI, adalah pemain lama dengan gaya klasik. Ibarat musik ketiganya adalah Beethoven atau Mozart. Punya penggemar fanatik yang tak gampang pindah. Sebab, Salafi hanya euphoria sesaat, seperti dangdut koplo, membosankan, dan cepat ditinggalkan karena berisik.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…
Perspektif

Mau Sampai Kapan IMM Tak Peduli dengan Komisariat?

2 Mins read
Barangkali unit terkecil IMM yang paling terengah-engah membopong organisasi adalah komisariat. Mereka tumbuh serupa pendaki yang memanjat gunung tanpa persiapan dan dukungan….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds