Pandemi COVID-19 membawa dampak yang besar bagi masyarakat di Indonesia. Wacana New Normal yang telah diberlakukan, secara garis besar tetap membatasi interaksi antar individu. Pelayanan publik yang selama ini dilakukan dengan beinteraksi secara langsung harus dibatasi bahkan harus beralih kepada pelayanan secara daring.
Wacana Dakwah Virtual
Dampak ini juga dirasakan oleh para aktivis dakwah. Jika sebelum pandemi COVID-19 aktivitas dakwah masih bebas dan “frontal” dilakukan secara tatap muka, sekarang mulai diganti secara virtual. Sebelumnya mimbar dan forum kajian, disuksi, serta silaturahmi masih dapat dilakukan.
Namun sekarang, itu semua telah dibatasi sejak pandemi COVID-19 datang. Ditambah dengan pemberlakuan New Normal. Sehingga muncullah wacana dakwah virtual untuk tetap menjaga ruh dan semangat dakwah di era New Normal ini. Sebab ummat semakin “dahaga” terhadap pencerahan keagamaan.
Konten-konten dakwah mulai dibuat dan disebarkan secara daring. Kreatifitas-Kreatifitas baru dimuculkan untuk tetap menjaga semangat dakwah. Tak hanya berbentuk teks, namun audio visual pun ramai dimunculkan. Mulai dari situs web, Instagram, Facebook, hingga YouTube.
Urgensi Dakwah
Dakwah sebagai tugas suci yang diperintahkan Allah kepada umat-Nya dilakukan melalui media yang beragam. Aktivitas dakwah merupakan upaya transformatif dalam menyebarkan risalah Islam. Secara fundamental, dakwah Islam diorientasikan kepada upaya-upaya perwujudan umat Islam (manusia) yang lebih baik.
Setiap muslim dengan kapasitas dan latar belakang profesinya diharuskan untuk melaksanakan dakwah. Dakwah diwajibkan kepada seluruh umat Islam sesuai dengan fungsinya. Seorang ulama berdakwah melalui jalan perjuangannya, seorang penguasa berdakwah dengan kekuasaanya, seorang dokter, dosen, dan guru berdakwah dengan ilmunya, seorang pedagang, petani dan nelayan berdakwah dengan profesinya.
Dakwah adalah kewajiban sepanjang hayat seorang muslim yang harus dilaksanakan dalam kerangka membangun peradaban manusia didasarkan nilai-nilai keislaman. Kewajiban tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Ali-Imran ayat 104.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُون
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali-Imran:104).
Ayat tersebut menjadi dasar bagi setiap muslim untuk menjalankan fungsinya sebagai da’i. Amar ma’ruf nahi munkar menjadi orientasi yang harus dijunjung tinggi oleh setiap muslim dalam menegakkan kalimat tauhid.
Metode dan Pola Dakwah
Metode dan media dakwah sama sekali tidak dibatasi, setiap muslim berhak berdakwah menggunakan media dan dengan cara yang beragam. Baik melalui media lisan (semacam mimbar), street dakwah yakni mendatangi tempat nongkrong anak muda dan memasukkan nilai Islam di dalamnya dengan bahasa mereka. Ataupun melalui media tulis (koran, buletin, buku) dan melalui media massa lainnya baik TV, Radio, maupun medsos (Facebook, Twitter, Instagram).
Namun, pola berdakwah melalui media sebagai wujud kemajuan teknologi menjadi tantangan tersendiri bagi seseorang da’i. Pengaruh media, memungkinkan seorang da’i memperoleh popularitas dimata pemirsanya layaknya seorang artis. Tidak menutup kemungkinan pula setiap kegiatan dakwahnya, sering dinilai dengan materi. Ditambah susahnya “istiqomah” dalam membuat konten dakwah yang pure di tengah godaan popularitas dan gaya hidup dunia maya.
Jadi dakwah virtual di satu sisi adalah tantangan dan satu sisi lain adalah peluang, tinggal bagaimana kita mampu memanfaatkan tantangan dan peluang itu. Sehingga dakwah tidak terhenti.
Dakwah Virtual
Kemunculan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet membuka peluang baru untuk pengembangan dan proses penyebaran pesan-pesan dakwah. Media sosial dipandang sebagai ruang virtual yang mampu menyebarkan pesan dakwah secara efektif, mudah diakses, cakupan wilayah yang luas dan waktu tidak terbatas.
Hal ini memunculkan wacana dakwah virtual, yakni sebuah aktifitas amar ma’ruf nahi munkar dengan menggunakan media internet. Penggunaan media internet sebagai media baru dalam dakwah Islam membuka peluang untuk menyebarluaskan pesan-pesan dakwah secara masif dan signifikan.
Nah, di sinilah panggung dakwah para milenial untuk menunjukkan perannya dan tetap eksis berdakwah tanpa takut ketinggalan zaman. Menurut penulis dunia maya adalah panggung yang cocok untuk para dai-dai muda. Sebab dalam dunia maya tidak mengenal keseragaman dan batasan kreatifitas, istilah millenialsnya “explore beyond limits” atau jelajahi (baca:bergerak) tanpa batas.
Dilihat dari modelnya, generasi milenial cenderung dinamis, optimis dan proaktif, serta akal dan semangat yang masih segar dan membara. Sehingga melekat pada diri milenial sebuah kreatifitas yang penuh edukasi, solutif dan inovatif. Ditambah generasi milenial terkenal dengan generasi yang melek akan teknologi.
Disinilah kita dapat melihat peluang dari berbagai tantangan di era new normal ini. Peran para milenial sangat dibutuhkan untuk tetap mengeksiskan dakwah di media. Menggunakan kreatifitas milenial dalam membuat berbagai konten dakwah dan membantu memfasilitasi para da’i senior dalam menyampaikan risalah islam ini. Milenial adalah manuver hebat yang akan mengawali transformasi dakwah menuju dakwah 4.0 di zaman modern ini.
Millenials Futurolog
Ada narasi dari salah satu dosen penulis di kampus bernama Ustadz Syahri Sauma atau yang dikenal dengan panggilan “Cak Sauma”. Beliau merupakan ketua selah satu pergerakan pemuda islam “Pemuda Hidayatullah” regional Jawa Timur.
Kurang lebih narasinya seperti ini “Pemuda islam itu futurolog, pemuda islam tidak boleh insecure, apalagi futur. Pemuda islam harus mampu membaca future, jadilah pemuda islam futurolog”.
Dari narasi itu kita dapat mengambil spirit tentang bagaimana para milenial atau pemuda islam dalam mengahadapi setiap tantangan yang ada. Milenial tidak boleh insecure atau merasa nggak nyaman, nggak PD dan takut dengan apa yang mereka kerjakan. Tidak boleh ada kata futur atau males-malesan. Sebab ditangan para pemudalah tonggak-tonggak peradaban dapat ditancapkan untuk kebaikan ummat manusia.
Menjadi pemuda harus mampu membaca future atau masa depan. Mampu membaca keadaan dan pandai melihat peluang, terutama di era new normal. Melenial muslim harus mampu melihat peluang dakwah dengan segala kelebihannya. Wacana dakwah virtual merupakan salah satu peluang untuk tetap memasifkan estafet perjalanan dakwah.
Di mana aktivis dakwah milenial harus sadar bahwa dunia nyata mulai perlahan-lahan ditinggalkan dalam hal memaknai “kehidupan”. Kemudian mulai beralih ke dunia maya, dunia baru yang tercipta oleh akibat perkembangan zaman.
So, jadilah pemuda atau millenials muslim yang futurolog. Mampu membaca keadaan dan jeli melihat peluang, menganalisis tantangan dan menghasilkan kesimpulan. Hingga dari kesimpulan itulah menjadi landasan pergerakan yang Insyaallah mampu membawa perubahan dan melahirkan peradaban.
Editor: Sri/Nabhan