Memasuki alaf 21, dunia memasuki zaman yang memberikan kemudahan dan kebebasan pada setiap manusia dengan tingkat yang berbeza dari zaman sebelumnya. Namun, kita juga sama-sama menghadapi cabaran terutama dari aspek-aspek nilai yang selama ini melekat pada kemanusiaan. Utamanya tradisi intelektual dan moralitas .
Setakat ini, kita bisa rasakan makin hilangnya budaya musyawarah, keadilan ( al-adalah), persaudaran ( al- ukhuwah), solidaritas sosial ( al-tadlamun al- itjimaiy) , dan yang terpenting literasi pengetahuan atau Iqra juga kini perlahan terhapuskan.
Matinya Kepakaran
Maka, benarlah hujjah daripada Tom Nichols tentang matinya kepakaran yang selaras dengan judul bukunya The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters .
Era matinya kepakaran ini di tandai oleh dialog publik yang tidak memiliki ketelitian intelektual. Para ilmuwan yang tidak lagi menikmati rasa hormat atas posisi otoritatif mereka dalam bidang tertentu, dan banyaknya orang awam yang mengabaikan fakta namun berani berhujah dengan hal yang bertentangan serupa orang hebat.
Kenyataan ini amatlah benar jika kita tengok diskusi tentang masalah substansial saat ini yang sangat melelahkan, terutama di media sosial. Banyak sekali macam polaritas, perselisihan, dan manipulasi atas “kebenaran” yang berlimpah.
Hal ini tentunya sangat paradox sebagaimana zyguman bauman berhujjah dalam kata pengantar bukunya bertajuk “In search of politics” jika kita setakat ini dengan bangga menegaskan diri kita semua sebagai orang yang demokratis dan bebas. Namun pada saat yang sama, kita sebenarnya tak percaya jika kita memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan politik apalagi perubahan lainnya.
Fenomena ini jika kita tengok dari sudut ilmu, bukanlah fenomena semula jadi. Ada proses perekayasaan sosial yang membuat manusia yang pada akhirnya menjebak manusia dalam banalitas yaitu sebuah kondisi yang menjadikan manusia selalu berbuat jahat tanpa niat jahat.
Sebagaimana seorang perwira Jerman bernama Eichamn yang dalam persidangannya selepas perang dunia 2 , yang tidak sama sekali menyesal membantai orang Yahudi dan berhujah di persidangan jika apa yang dilakukan adalah sebuah kebenaran.
Perilaku Eicham yang di tuliskan oleh Hannah arendt dalam bukunya “Eichman in Jerussalem” Memang sangat menarik. Karena perilaku melakukan kejahatan tanpa niat jahat ini sudah menjadi bagian dari budaya kita sekarang ini. Apa yang dituliskan oleh Hannah arendt ini, sangat terkoneksi dengan perkataan Karl Marx “Sie wissen das nicht, aber sie tun es” (mereka mengetahui itu, tapi mereka terus melakukannya).
Sinisme dan Kesadaran Palsu
Hujjah daripada Karl Marx ini kemudian diinterprestasikan oleh Slavoj Zizek sebagai kesadaran sinis yang melampaui kesadaran palsu. Dalam konteks saat ini, kesadaran sinis selalu muncul dari pemujaan terhadap ideologi tertentu terutama ideologi modern yang kita anggap sebagai puncak daripada ketamadunan/ peradaban
Jauh sebelum zizek merumuskan kesadaran sinis, dalam buku berjudul Critique of Cynical Reason, yang merupakan buku terlaris besar di Jerman yang ditulis oleh Peter Sloterdijk, sudah dikemukakan tesis bahwa cara berfungsinya ideologi yang dominan adalah sinis, yang menjadikan mustahil untuk dilakukanya kritisme
Subjek sinis cukup sadar akan jarak antara topeng ideologis dan realitas social. Tetapi dia tetap bersikeras pada topeng. Peter Sloterdijk berhujah dari segi subjek sebenarnya. Mereka ini tahu betul apa yang mereka lakukan, tetapi masih mereka melakukannya. Alasan sinis tidak lagi naif sebagaimana rumusan Karl marx, itu merupakan akibat dari kesadaran palsu.
Kesadaran palsu ini membuat setiap orang merasa dirinya tahu dan menolak ketidatahuan mereka Psendiri. Padahal sejatinya, ketidaktahuan adalah kondisi asali manusia. Artinya, manusia sejatinya adalah makhluk yang tidak tahu. Karena ketika kita lahir di dunia saja, kita sama-sama tidak mengetahui
Dan melalui proses ketika akhirnya mencoba untuk mencari tahu tentang segalanya namun itupun masih sangat terbatas karena sejatinya pengetahuan yang kita ketahui saat ini masih terdapat batasan yang dimana batasan itu sendiri adalah hikmah untuk kita terus belajar dari banyak ruang- ruang kehidupan.
Jika kita sejenak saja mencoba untuk hidup dengan pikiran tidak tahu semacam ini , sejatinya kita akan kembali kepada hakekat kemanusiaan kita sebagai makhluk yang penuh dengan ketidaktahuan dan ketika kita mengambil pikiran semacam itu kita akan menjadi tebruka pada segala kenyataan yang ada dan segala kemungkinan yang ada sehinga sedikit demi sedikit kita tidak terjebak pada kepastian- kepastian palsu.
Dalam konteks realitas sosial, ketika kita hidup dengan pikiran tidak tahu di tengah terpaan dehumanisasi, kita akan menghadapi setiap keadaan apa adanya. Sehingga kita terhindar dari 2 permasalahan kehidupan. Pertama, beban masa lalu yang kerap kali memberikan kita pengetahuan palsu. Kedua, kita juga tidak dibebani oleh harapan akan masa depan yang kerap kali hanya berupa impian semu.
***
Dalam konteks problem solving, pikiran tidak tahu memecahkan masalah dengan berpijak pada masalah itu sendiri, bukan dengan ketakutan ataupun harapan palsu. Karena pikiran tidak tahu bergerak dari saat ke saat yang bersifat spontan dan alamiah dan melampaui bahasan dan rumusan.
Namun, ketidaktahuan bukanlah keadaan mutlak. Melainkan selalu berubah dan berproses seperti kata Derida, “kebenaran dalah ketidakmungkinan”.
Penting untuk memiliki pemikiran tidak tahu di tengah zaman dehumanisasi yang membuat kita berpikir secara dangkal dan bertindak secara reaksioner.
Pikiran tidak tahu menciptakan peluang untuk terus berefleksi ke dalam diri sendiri dan berdialog dengan ruang-ruang kehidupan sehingga kita mampu menangkap setiap pengetahuan secara mendalam.
Pikiran tidak tahu akan menciptakan kesadaran berpengetahuan yang tidak asal menyimpan, namun sampai pada upaya penyatuan antara jiwa kita dan makna pengetahuan yang kita pelajari sebagaimana hujjah Syed Muhammad Naquib al-Attas “pengetahuan adalah tibanya makna ke atas jiwa dan jiwa ke atas makna “.