Fikih

Dekonstruksi Hukum untuk Keadilan Gender

4 Mins read

Konsep Hak asasi manusia menekankan tentang masalah keadilan gender. Piagam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diimplementasikan pada tahun 1948, dua tahun setelah Perang Dunia Kedua, juga menekankan masalah kesetaraan jenis kelamin.

Menurut Ashgar Ali Engineer, masyarakat tradisional adalah patriarkis, dan masyarakat modern juga telah mewarisi nilai-nilai patriarkis ini. Patriarki adalah salah satu rintangan terbesar untuk mendapatkan keadilan gender. Hukum-hukum tentang gender yang merefleksikan nilai-nilai patriarkis dibentuk dan dilegitimasi dengan menggunakan kitab-kitab keagamaan dan kemudian dinyatakan bahwa hukum-hukum agama itu bersifat ilahiah dan suci atau tidak dapat diubah.

Islam mempunyai aspek-aspek keagamaan tertentu yang berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Islam memberi keadilan (justice) dan persamaan (equality) bagi kaum perempuan. Secara keseluruhan, Al-Qur’an membuktikan bahwa ia memberikan pandangan yang seimbang menyangkut kaitan gender (laki-laki dan perempuan).

***

Pertama, menyangkut pengampunan (forgiveness) dan ganjaran (reward), hal yang sama diberlakukan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Merujuk pada surat al-Ahzab 33:35, kedua dalam surah 9:71, penekanan terletak pada persamaan laki-laki dan perempuan, saling melindungi satu sama lain, menganjurkan yang makruf,  melarang yang mungkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ketiga masalah pencurian, Surah Al-Maidah : 38, “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri; potonglah tangan keduanya”. Keempat masalah perzinaan Surah An-Nur (24;2) : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah setiap orang dari mereka seratus kali deraan”.dan Perilaku terhadap orangtua, 17 ; 23-24).

Rujukan tertuju pada laki-laki dan perempuan, tidak hanya tertuju pada laki-laki dengan anggapan memiliki karakteristik kualitas tertentu dan terpisah bagi perempuan. Hal ini tidak ditujukan bagi jenis kelamin laki-laki karena dianggap diberkahi sifat-sifat yang superior dan bagi perempuan karena diberikan sifat-sifat inferior.

Sifat atau kedudukan mereka sesungguhnya sama. Keduanya memiliki tugas-tugas dan kewajiban tertentu. Agama tidak menetapkan perbedaan antara keduanya. Al-Jabiri dengan tegas mengatakan orientasi umum dalam syariat Islam adalah persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban. Berdasarkan pada Surah Al-Hujurat: 13, Ali Imran: 195, Asy-Syura: 48 dan at-taubah : 71. (hal : 132).

Baca Juga  Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

Pendekatan untuk Penyelarasan Gender

Pendekatan yang dipakai dalam membaca keselarasan Gender dan syariah guna adalah dengan bergeser jauh dari teks-teks Al-Qur’an periode Madinah yang mendukung tujuan transisional dan menerapkan teks-teks periode Makkah yang sebelumnya tidak digunakan untuk penerapan praktis. Sesuai dengan logika prinsip evolusi yang diajukan oleh Mahmoud Mohamed Taha, teks-teks umat Islam yang mendukung solidaritas eksklusif umat Islam diwahyukan selama periode Madinah untuk memberikan dukungan psikologis bagi komunitas umat Islam yang sedang tumbuh untuk menghadapi kekerasan non-Muslim.

Berbeda dengan ayat-ayat itu, pesan dasar dan abadi Islam, sebagaimana diwahyukan dalam Al-Qur’an periode Makkah tentang solidaritas universal, daripada solidaritas eksklusif umat Islam berlandaskan pada pesan transisional periode Madinah.

Penerapan prinsip penafsiran evolusioner ini dapat mendorong dan menopang pandangan positif terhadap perempuan dari diskriminasi-diskriminasi berlandaskan doktrin agama.

Mengutip dari al-Jabiri, tidak ada satupun perintah yang mewajibkan untuk mengikuti kaidah/hukum yang dibuat oleh fuqaha’ , khususnya kaidah yang mengatakan bahwa “hukum-hukum tergantung pada illat-nya, bukan pada hikmahnya” sebab kaidah ini tidak lain adalah satu kesimpulan ijtihad juga.

Illat-illat hukum tidak diberitahukan oleh teks-teks, tetapi disimpulkan oleh nalar seorang faqih dengan pengakuan bahwa kesimpulan itu ditariknya bukan berdasarkan keyakinan dan kepastian, tapi berdasarkan perkiraan (zhanny) dan tarjih. Yang mendekati kebenaran menurut al-Jabiri adalah mengembalikan hukum-hukum partikular syariat, ketika segi kemaslahatannya berubah, pada universalisme syariat.

Universalisme dalam hukum syariat, sejajar kedudukannya dengan “hal-hal yang jelas” (muhkamat) dalam bidang aqidah. Karena merupakan satu keharusan mengembalikan yang samar (mutasyabih) pada yang jelas, maka mengapa kita tidak menganggap bahwa adanya pertentangan antara hukum yang lahir dalam partikularitas dan kemaslahatan yang diinginkan sebagai satu jenis yang “samar” yang harus dikembalikan pada yang jelas, yakni pada prinsip-prinsip dan universalisme. Syariat Islam adalah untuk kemashlahatan manusia, sedangkan Tuhan, tidak membutuhkan semesta alam ini.

Baca Juga  Kadar Zakat Fitrah Beras 2,5 Kg, Masihkah Bisa Dipedomani?

***

Islam hadir di tengah masyarakat Arab yang sarat dengan budaya patriarki. Misi kenabian menjadi sangat logis dan relevan kaitannya dengan posisi kaum perempuan. Ada banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan pandangan egaliter dan equal. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Hujurat: 13, An-Nisa: 1, al-A’raf: 189, az-Zumar: 6, Fatir: 11, al-Mukmin: 67.

Dengan demikian, tidaklah benar untuk mempertahankan suatu pendapat bahwa semua formulasi hukum Islam seluruhnya didasarkan pada perintah Kitab Suci, dan oleh karenanya tidak dapat diubah misalnya. Sebab, banyak formulasi hukum Islam didasarkan pada hadis yang kontroversial dan pendapat para juris muslim.

Jika ini diterima, akan lebih memudahkan untuk menerima perubahan tertentu yang diperlukan untuk memenuhi tantangan dunia modern yang berkaitan dengan hukum keluarga. Hal demikian sangat membantu kaum perempuan yang saat ini menemukan banyak hukum keluarga sangatlah tidak adil.

Menurut Asghar Ali E, ada fakta yang dikenal bahwa revolusi Islam telah memberdayakan perempuan dan memberikan kepada mereka status yang setara dengan laki-laki. Tetapi ketika sejumlah besar orang dari berbagai tempat, seperti Syria, Mesir, Persia, dan wilayah lain dari Asia Tengah masuk Islam, mereka membawa prasangka, konvensi, kebiasaan, dan tradisi mereka sendiri. Mereka ini memberikan dampak terhadap perubahan yang telah diantarkan Islam berkaitan dengan status perempuan.

***

Nilai-nilai feodal akhirnya telah mensubordinasi nilai-nilai Islam yang asli, dan perspektif laki-laki diimplementasikan untuk memahami perintah Al-Qur’an berkaitan dengan masalah perempuan. Akhirnya sejumlah besar hadis palsu juga beredar

Bahkan, hadis yang mengatakan bahwa mayoritas penghuni neraka adalah kaum perempuan karena mereka penggoda, secara luas mulai diterima. Tidak ada orang yang menilai hadis tersebut dari sudut pandang spririt Al-Qur’an yang telah memberikan status mulia kepada perempuan.

Baca Juga  Hukum Menghafal Al-Quran: Sunnah, Wajib atau Mubah?

Dalam Shahih Bukhari misalnya, kita bahkan menemuakan sebuah hadis yang menurutnya perempuan itu dilahirkan dari tulang rusuk Adam dan ini menunjukkan status perempuan sebagai ciptaan kedua. Al-Qur’an samasekali tidak mengemukakan konsep seperti itu.

Menurut Al-Qur’an, laki-laki dan perempuan diciptakan dari suatu entitas (nafsin wahidatin). Konsep tentang “Hawa” yang diciptakan dari tulang rusuk Adam yang umumnya ada di kalangan umat Kristen, menemukan jalannya di kalangan umat Islam lewat sebuah hadis

Perbedaan Laki-laki dan Perempuan dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan anatomis antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an juga mengakui bahwa anggota setiap jenis kelamin berfungsi dengan cara yang mencerminkan perbedaan yang dibatasi dengan baik oleh kebudayaan tempat Al-Qur’an berada. Perbedaan ini merupakan bagian penting dari bagaimana kebudayaan berfungsi. Dengan alasan ini, tidak bijaksana jika Al-Qur’an gagal mengakui dan mendukung perbedaan fungsional yang ditentukan secara kultural.

Karena jenis kelamin terbagi dua, hubungan antara keduanya terjalin dengan cara yang berbeda dalam setiap kebudayaan dan waktu. Mereka dapat menciptakan wilayah kekuasaan yang terpisah dan kadang-kadang saling jalin menjalin, atau mereka dapat diikat dalam satu garis seperti dalam buku Kells.

Tidak akan ada keranjang yang bisa dijalin atau api yang bisa dinyalakan, tanpa kerjasama antara kedua tangan. Setiap kebudayaan membedakan jenis kelamin dengan keunikan masing-masing.

Al-Qur’an tidak berusaha menghapus perbedaan antara laki-laki dan perempuan atau menghilangkan pentingnya perbedaan jenis kelamin yang akan membantu masyarakat memenuhi kebutuhannya supaya berjalan mulus. Kenyataannya, keharmonisan satu sama lain yang mendukung hubungan antara pria dan wanita dapat dilihat sebagai bagian dari tujuan Al-Qur’an dengan penghormatan pada masyarakat.

Akan tetapi Al-Qur’an tidak mengusulkan atau mendukung peran atau definisi tunggal mengenai seperangkat peran bagi setiap jenis kelamin dalam setiap kebudayaan.

Editor: Yahya FR

Avatar
2 posts

About author
Penulis adalah Staff/Pengajar Praktikum di Lab. Syariah prodi HKI UMM
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds