Fikih

Mencegah Kehamilan Saat Pandemi Menurut Hukum Islam

3 Mins read

Covid-19 merupakan penyakit menular yang mulai mewabah pertama kali kota Wuhan, Tiongkok, pada Desember 2019. Covid-19 ini sekarang menjadi sebuah pandemi yang terjadi hampir di seluruh dunia. Oleh sebab itu, banyak yang menghimbau untuk mencegah kehamilan tatkala pandemi.

Pandemi ini menyebabkan berbagai persoalan menjadi rumit. Ekonomi dunia hancur karena beberapa negara menerapkan karantina wilayah atau lockdown, pada sektor pendidikan pembelajaran daring dianggap tidak efektif. Sektor bisnis juga mengalami kesulitan sebab mengharuskan kerja dirumah (WFH). Dunia industri banyak terjadi PHK besar-besaran lantaran tidak stabilnya ekonomi dunia. Dan tak luput pula, terkait masalah kehamilan.

Mencegah Kehamilan Saat Pandemi

Terkait masalah kesehatan, khususnya kehamilan, ketika dunia tengah menghadapi pandemi, di Indonesia dikabarkan menghadapi ledakan kehamilan. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ada lebih dari 400.000 kehamilan tak terencanakan. Hal ini disebabkan, selama PSBB, sebagian besar klinik kesehatan dan kandungan di tutup. Sehingga hal tersebut membuat nmasyarakat sulit mengakses alat kontrasepsi.

Berbagai kebijakan pun dikeluarkan oleh pemerintah dalam menangani persoalan ini. Mulai dari sosialisasi untuk mencegah kehamilan, bahaya dan resiko kehamilan saat pandemi, penggunaan alat kontrasepsi hingga penyaluran alat kontrasepsi dan sebagainya ke rumah-rumah.

Kebijakan tersebut selain sebagai upaya untuk menekan ledakan jumlah penduduk, juga sebagai upaya untuk mengurangi resiko kematian bayi dan ibu melahirkan. Mengingat bahwa di Indonesia sendiri masih dibilang sangat tinggi kasus kematian bayi dan ibu melahirkan. Selain alasan yang tersebutkan di atas, ibu hamil juga rentan terinfeksi Covid-19. Hal demikian disebabkan, adanya perubahan pada tubuh dan sistem imunitas ibu hamil. Sehingga mereka dapat mengalami dampak yang cukup parah.

Baca Juga  Hukum Pernikahan Anak di Bawah Umur

Di beberapa waktu yang lalu, sempat beredar sebuah rekaman yang berdurasi kurang lebih 50 detik menjadi viral di akun media sosial. Dalam tayangan tersebut seorang petugas kesehatan dari Pukesmas Purwoyoso, Semarang menyampaikan himbauan melalui mikrofon dari dalam mobil puskesmas keliling soal kehamilan di tengah pandemi Covid-19.

Himbauan yang sama juga dilakukan oleh oleh Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Puskesmas Kecamatan Bakam, Bangka Belitung. Dalam rekaman tersebut petugas kesehatan menghimbau untuk mencegah kehamilan terlebih dahulu, mengingat risikonya yang sangat rentan terjangkit virus.

Dari himbauan ini kemudian muncul berbagai respon dari masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap himbauan ini hanya sebatas himbauan kosong belaka. Sebagian yang lain menganggap himbauan ini seolah-olah pemerintah membatasi hak-hak warga negaranya untuk hidup dan berkembang biak. Sehingga muncul semacam kegaduhan dalam masyarakat terkait himbauan ini.

Tinjauan Hukum Islam

Hukum Islam sebagai sebuah nilai atau instrumen dituntut untuk menjawab persoalan ini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Masalah ini memerlukan suatu kepastian hukum dalam perspektif syariah. Dalam hal ini, salah satu metode yang dipakai dalam meninjau kasus ini ialah Sadd Dzari’ah dalam menarik hukumnya.

Secara bahasa, Dzarai’ merupakan jama’ dari Dzari’ah yang artinya “jalan menuju sesuatu”. Sedangkan menurut istilah Dzari’ah dikhususkan dengan “sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan”. Akan tetapi, pendapat ini ditentang oleh Ibnu Qayyim yang menyatakan bahwa, Dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan.

Dengan demikian, dzari’ah dapat dibagi menjadi dua, yakni Sadd dzari’ah (yang dilarang), dan Fathadzari’ah (yang dianjurkan). Sementara itu, Syatibi mengatakan bahwa hakikat dari kaidah dzari’ah adalah dia yang menghubungkan sesuatu yang maslahat kepada mafsadat. Maksudnya, seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan.

Baca Juga  Maraknya Pinjol dan Otokritik Berderma Muslim

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Sadd dzari’ah adalah mencegah segala sesuatu yang menjadi jalan menuju kerusakan. Oleh karena itu, apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah agar tidak terjadi kerusakan.

Pada umumnya semua ulama menerima metode Sadd dzari’ah, Hanya saja penerapannya yang berbeda. Perbedaannya ialah tentang ukuran kualifikasi dzari’ah yang akan menimbulkan kerusakan dan yang dilarang. Dzari’ah yang dimaksudkan sebagai dalil syarak adalah dzari’ah yang tidak disinggung oleh nash tetapi mengarah kepada hukum yang dimaksud.

Misalnya, tindakan-tindakan yang dapat merangsang bangkitnya syahwat, merupakan dzari’ah terhadap perbuatan zina. Tetapi dalam hal ini tidak ada nash yang melarangnya. Meskipun demikian, karena mengarah kepada hukum yang dilarang, maka larangan yang berlaku pada yang dituju (zina) dapat diterapkan di sini didasarkan pada dalil Sadd dzarî`ah.

Kebijakan Pencegahan

Penggunaan dzari’ah sangat efektif untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif dari perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Termasuki juga masalah himbauan larangan kehamilan di tengan pandemi ini. Sebab, metode ini tidak hanya berfokus pada legal formal suatu tindakan, tetapi juga pada akibat suatu tindakan.

Bila kita melihat kebijakan pemerintahan, dalam hal ini BKKBN, merupakan tindakan preventif atau pencegahan agar tidak terjadi sesuatu mafsadah yang lebih besar. Hal ini tentunya sejalan dengan prinsip prinsip Sadd dzari’ah.

Imam Syatibi juga berpendapat terkait perbuatan yang berkemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Seperti menjual senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan untuk membunuh, menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman keras, menjual pisau kepada penjahat yang akan digunakan untuk membunuh orang. Hal demikian juga merupakan bagian dari dzari’ah.

Jika melihat kriteria mafasadat atau kerusakan diatas, maka himbauan mencegah kehamilan di tengah pandemi ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Syatibi tersebut . Hamil pada asalnya merupakan hal yang diperbolehkan namun, kehamilan di tengah pandemi ini kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Seperti terinfeksi misalnya, bahkan hingga meninggal dunia. Dan tentunya hal ini mesti dihindari. Sebab, menjaga jiwa merupakan salah satu tujuan dari syariah.

Baca Juga  Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

Dus, himbauan mencegah kehamilan ditengah pandemi merupakan tindakan preventif atau pencegahan (sadd dzari’ah). Hal ini dmaksudkan agar tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Tindakan ini tentunya sejalan dengan prinsip dan tujuan hukum Islam, yaitu untuk menghindari mafasadat dan menjaga jiwa dari segala sesuatu yang merusak.

Editor: Nirwansyah/Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Hukum Keluarga IAIN Surakarta
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *