Wahyudi Akmaliah
Beberapa teman memberikan tautan informasi dari media online terkait dengan Ria Ricis yang berpamitan dari YouTube. Mendapatkan informasi tersebut, saya lalu mencari video tersebut dan menontonnya dengan seksama. Awalnya saya agak curiga dengan video tersebut karena ada kata-kata yang diulang untuk penonton untuk subscribe channel ini. Namun, dalam membangun narasi, Ricis terlihat sedih, menutup kecurigaan saya bahwasanya itu adalah sekedar prank, sebagaimana lazim dilakukan oleh Youtubers lainnya untuk menaikkan trafik orang yang menonton.
Melalui video yang diunggah pada 27 Juli 2019, Ricis mengemukakan alasan mengapa ia ingin menutup akunnya sekaligus menghapus semua video miliknya. Lazimnya dialami oleh orang yang mencapai puncak karir dan ketenaran, di mana semua impiannya yang dahulu sangat sulit diwujudkan kini sudah tercapai semua melalui hasil kerja kerasnya. Akibat dari kerja keras ini, tingkat kejenuhan tidak bisa terhindarkan. Lebih jauh, sebagaimana diungkapkan oleh Ricis, popularitas yang dimiliki justru ruang personalnya yang selama ini tidak dimiliki layaknya oleh orang-orang terkenal, ruang privasi.
Narasi semacam ini membuat penggemarnya, termasuk saya bersedih, sekaligus merelakan atas keputusannya yang dibuat. Sejak tahun 2017, saya sebenarnya sudah mengamati video-videonya, bahkan saya sudah mengkirimkan tulisan dari hasil amatan tersebut untuk sebuah Jurnal Nasional. Karena itu, bagi saya, penting menuliskan kembali untuk publik umum dengan versi lebih populer sebagai bentuk salam perpisahan.
Dibandingkan dengan mikro-selebriti yang lain, awal kemunculan Ria Ricis ini sebenarnya memiliki dakwah secara halus. Selain mengenakan jilbab dan mengucapkan salam diawal pembukaan video, sejumlah konten dari video-videonya juga menautkan anggota keluarganya untuk berbagi cerita, salah satu yang terkenal dan kini menjadi seorang Ustadzah adalah Oki Setiana Dewi. Perihal itu setidaknya yang menjadi daya tarik dirinya, yang membuat semua kalangan, termasuk anak-anak, termasuk kedua anak saya tentunya, menontonnya.
Saat kedua anak saya tidur, draft opini mengenai beliau sudah tuntas saya tulis. Iseng-iseng saya mengecek kembali akun Ria Ricis tersebut. Ternyata video pamit itu benar-benar prank. Ini karena, setelah itu ada video vlog selanjutnya. Memang, dalam video lanjutannya yang diunggah pada 29 Juli 2019 itu berisi minta maaf dari Ria Ricis, sebagaimana diterangkan.
“Maaf kalau kemarin Ricis sempat membuat kalian resah. Tapi apa yang kalian dengar dari ucapan ricis di video “SAYA PAMIT”, memang benar adanya. Tidak ada yang dilebihi dan yang dikurangi. Terimakasi semua #The Ricis sudah mensupport Ricis sampai saat ini hingga vlog ini tayang sebagaimana mestinya. Ricis Kembali untuk #TheRicis”
Melihat kemunculan video tersebut ada rasa marah dan kecewa bercampur dalam diri saya. Apalagi, dalam video tersebut tidak dibuka tautan untuk komentar. Untuk mendapatkan Google adsense, Ria Ricis bersama timnya bisa begitu teganya melakukan kebohongan.
Memang, buah dari sandiwara itu menghasilkan 5,4 juta orang yang menonton. Dengan jumlah sebanyak itu, kita bisa mengkalikan sendiri berapa keuntungan yang didapatkan. Tapi, bagaimana dampak dari video pamit tersebut yang sudah diberitakan oleh sejumlah media online? Sementara, ia sebenarnya tidak jadi pamit? Meskipun Ricis berkali-kali mengungkapkan itu bukan settingan dan drama, tetap saja orang tahu itu menjadi bagian dari upaya untuk menaikkan level trafik tontotan sebagai bagian dari daya tarik. Ini karena, Ria Ricis bukan kasus satu-satunya yang pamit lalu kembali lagi. Sebelumnya Awkarin juga melakukan hal yang sama.
Saya tahu, Ria Ricis tidak seorang sendiri. Para Youtubers ini bersaing satu sama lain. Atas nama mendapatkan keuntungan kapital, mereka berbondong-bondong mengejar google adsense dengan membuat video yang menarik perhatian. Ini dilakukan agar orang kemudian menonton sebagai implikasi dari perhitungan akumulasi kapital yang nanti akan didapatkan. Namun, alih-alih membuat konten yang bermutu dan menambah pengetahuan, yang terjadi mereka membuat video apapun, meskipun di luar etika publik masyarakat, agar bisa ditonton.
Sementara, pihak Google sendiri tampaknya tidak berdaya melihat situasi ini, karena mereka berpegang kepada prinsip pasar, siapa yang banyak ditonton, mereka yang mendapatkan pundi-pundi Google adsense melalui iklan yang dicantumkan dalam video tersebut. Harus diakui, sebagai bagian dari warganet, kita memang memiliki hak dan otoritas atas video apa yang kita tonton. Tapi, jika ternyata banyak dari video isinya sampah, ini sama saja dengan kita menonton acara-acara di televisi sebelumnya yang tidak memberikan alternatif tontonan yang mencerdaskan. Kondisi ini, mau tidak mau, membuat kita tidak memiliki pilihan lainnya. Apalagi, karena struktur viral mempertemukan kita dengan video-video semacam itu.
Melihat itu, saya membayangkan, betapa enaknya menjadi Youtubers yang bisa seenaknya membuat konten tanpa melihat jauh efek ikutan yang dibuat. Saya tahu, mereka membuat itu dengan kerja keras sekaligus menguras energi serta membutuhkan kreativitas. Tetapi bagaimana bagi kita sendiri sebagai bagian dari warganet? Sudah kuota pulsa habis, tidak mendapatkan faedah, tiba-tiba merasa dibohongi. Rasa sakitnya sampai ke hulu hati. Bayangkan kalau pamit ini terjadi kepada saya sebagai peneliti. Pintu rejeki langsung tertutup semua. Tidak pelan-pelan tapi seketika.
Ini karena, peneliti punya prinsip, “peneliti boleh salah, tapi enggak boleh bohong”. Prinsip dan etika ini yang terus dibangun, membuat orang kemudian mendapatkan kepercayaan. Sekali saja melakukan kebohongan, orang tidak akan percaya dan ditandai hitam. Akibatnya, karena menjaga prinsip ini membuat saya dan sebagian kolega begini terus, yaitu menjadi bagian dari rakyat missqueen.
*Peneliti LIPI