Riset

Di Balik Dinginnya ‘Musim Maba’ di Malang

3 Mins read

Saat masih kecil dan tinggal di Lampung, saya kenal Malang sebatas kota yang dingin di Jawa Timur dan terkenal dengan baksonya. Saat kuliah di Jogja barulah saya berkesempatan mengunjungi Malang. Lalu, beberapa tahun belakangan baru mendengar istilah musim maba di Kota Malang (maba = mahasiswa baru). Dinginnya musim maba di Malang jadi bahasan menarik bagi saya yang merupakan mahasiswa Fakultas Geografi.

Musim Maba di Malang

Musim ini terjadi sekitar bulan Juni-Agustus setiap tahunnya. Disebut demikian karena di bulan-bulan ini sedang banyak-banyaknya maba di Malang. Wajar saja, 59 kampus tercatat ada di Kota Malang.

Indikator musim maba ini sebenarnya sederhana. Saat musim maba terjadi kepadatan di jalanan Kota Malang meningkat (tentu di luar masa pandemi COVID-19, ya). Terlebih lagi, Kota Malang notabene berada di intervolcano basin sempit antara Gunung Kawi dan Gunung Semeru. Keadaan ini membuat Kota Malang punya jalan-jalan dan gang yang relatif sempit.

Selain meningkatnya keramaian Kota Malang, ada satu hal yang identik dengan Kota Malang di musim maba: udara yang dingin. Sebenarnya, bagi saya yang lama tinggal di Jogja, kapanpun ke Malang pasti merasakan air maupun udara Kota Malang lebih dingin dibanding Jogja. Namun, berdasarkan testimoni teman-teman yang tinggal di Malang, udara Kota Malang terasa makin dingin di musim maba.

Karena fenomena ini, sebagian orang sampai beranggapan bahwa dinginnya Kota Malang terjadi karena musim maba. Karena Kota Malang dikenal sebagai kota yang dingin, maka saat maba-maba hadir di Malang dengan sendirinya kota ini menjadi dingin. Sesuai persepsi dan sugesti, begitu kira-kira.

Padahal, ada penjelasan di balik musim maba. Penjelasannya pun nggak jauh-jauh dari karakteristik iklim Indonesia yang punya dua musim; musim hujan dan musim kemarau.

Baca Juga  Perkembangan Ide Monoteisme Agama Ibrahim

Udara dari Australia

Pada saat musim maba terjadi, sebenarnya Pulau Jawa sedang berada di puncak musim kemarau. Sederhananya, musim ini terjadi berkat angin muson timur membawa udara dari Australia. Sebaliknya, di musim hujan, udara yang dibawa oleh angin muson barat adalah udara dari Asia dan Samudera Hindia bagian timur.

Angin dari Australia (selatan Indonesia) hadir karena matahari sedang berada di belahan bumi utara. Sebaliknya, ketika matahari sedang berada di belahan bumi selatan, angin bertiup muson bertiup dari arah utara. Tapi, untuk memahami hal ini lebih dalam, lebih baik mempelajari tentang gerak semu tahunan matahari sebagai bagian dari perjalanan benda langit di lintasannya seperti dalam Q.S. Yasin ayat 40.

Lanjut lagi, udara dari Australia yang menyebabkan musim kemarau sifatnya dingin namun kering. Beda dengan udara dari Asia penyebab musim hujan yang lebih hangat namun basah. Karakteristik udara di musim kemarau dengan udara kering menjadikan keberadaan awan nggak sebanyak saat musim hujan.

Minimnya awan membuat siang hari di musim kemarau cukup panas. Namun sebaliknya, setelah terbenam matahari, sudara malam hari di musim kemarau bisa terasa lebih dingin daripada di musim hujan. Tapi penjelasan ini berlaku dalam keadaan normal, tanpa mempertimbangkan pengaruh angin.

Sehari-hari, cuaca berangin di Kota Malang nggak bisa dilepaskan dari lokasi dan ketinggiannya. Seperti telah disebutkan di awal, Kota Malang berada di antara dua gunung dengan elevasi cukup tinggi, lebih dari 400 meter di atas permukaan laut.

Jika ada angin, siang hari di Kota Malang pun terasa jauh lebih dingin. Angin ini membawa udara dingin khas musim kemarau yang membuat rasa dingin menusuk tulang makin menjadi-jadi. Mirip dengan keadaan di puncak gunung, sinar matahari menyengat, namun tertutupi dengan dinginnya udara berangin.

Baca Juga  Psikolog Klinis Under Cover: Kecil Bayarannya, Tapi Cepat Masuk Surga

Jadi, fenomena udara musim maba yang dingin ini bukan terjadi karena persepsi, melainkan dinamika iklim di Kota Malang. Jika diperhatikan, fenomena ini sebenarnya nggak hanya terjadi di Kota Malang.

Dinginnya Puncak Musim Kemarau

Umumnya, daerah-daerah di Pulau Jawa, terutama Jawa bagian tengah dan selatan merasakan fenomena ini. Bulan Juni-Agustus adalah puncak musim kemarau. Hujan jarang terjadi namun suhu udaranya terasa lebih dingin dibanding bulan-bulan lain.

Jika kita mendaki gunung-gunung di Jawa, maka suhu udara yang paling dingin pun terjadi di kisaran bulan Juni-Agustus. Bahkan, di wilayah Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah di waktu-waktu ini udara dapat menjadi sangat dingin. Bisa mencapai kurang dari 0 derajat celcius. Waktu-waktu ini pun dikenal menghasilkan semacam salju yang disebut bun upas (embun racun; karena selain dingin dapat menyebabkan tanaman kentang gagal panen).

Begitu pula dengan beberapa tempat lain, misalnya di Kota Jogja dan sekitarnya hingga ke lereng Gunung Merapi. Hampir dapat dipastikan di bulan Juni-Agustus cuaca terasa lebih dingin. Hanya saja, Kota Jogja memiliki elevasi yang lebih rendah (sekitar 100 mdpl) dibanding Kota Malang sehingga dinginnya Kota Jogja di puncak musim kemarau nggak terasa se-greget Kota Malang.

Meskipun di banyak daerah puncak musim kemarau terjadi di bulan Juni-Agustus, namun yang harus diingat hal ini hanya berlaku untuk Pulau Jawa. Di bagian Indonesia lainnya waktu musim hujan dan musim kemarau sangat mungkin berbeda.

Di Pulau Sumatra misalnya, batas antara musim hujan dan musim kemarau kerap kali tidak terlalu jelas. Berbeda dengan Pulau Jawa yang memiliki batas antara musim hujan dan musim kemarau cukup jelas.

20 posts

About author
Mahasiswa UGM. CEO IBTimes.ID
Articles
Related posts
Riset

Di mana Terjadinya Pertempuran al-Qadisiyyah?

2 Mins read
Pada bulan November 2024, lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah di Irak telah diidentifikasi dengan menggunakan citra satelit mata-mata era Perang Dingin. Para arkeolog baru…
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…

This will close in 0 seconds