Perspektif

Di Era Milenial, Mahasiswa S1 Bisa Kalahkan Dosen S3

2 Mins read

Percaya atau tidak, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan atau Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) saat ini sangat pragmatis dalam penyampaikan materi sejarah, khususnya dalam kasus perkuliahan Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Desain kurikulum PAI memang cenderung mengarahkan mereka sebagai penyerap atau pengguna konten. Bukan sebagai orang menguasai metode bagaimana suatu narasi historis dibangun. Biasanya mereka akan berseloroh, “kita kan calon guru PAI, bukan guru sejarah!”

Guru PAI Bisa Kaget

Pernyataan bernada canda tersebut di satu sisi memang ada benarnya. Mereka memang bukan calon guru sejarah. Mereka itu calon guru PAI. Dalam anggapan mereka, tidak pentinglah memahami dan harus susah payah menerapkan bagaimana metode sejarah. Toh, buku-buku referensi tentang sejarah atau historiografi Pendidikan Islam di Indonesia sudah sangat banyak. Tinggal pilih, selesai!

Sayangnya, anggapan mereka tidak semudah kenyataan. Ketika nanti mereka telah menjadi guru PAI dan menyampaikan materi sejarah, tiba-tiba ditemukan banyak hal yang dinilai kontroversial. Ada yang aneh dalam penyajian konten.

Misalnya, ada materi (konten) tentang “perang” (al-qital) yang dihilangkan dalam salah satu buku ajar yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama. Atau ada materi (konten) tentang “jihad” yang sengaja dihapus dalam buku ajar tersebut. Tiba-tiba guru PAI tersebut kaget, “ini kok beda dengan buku ajar yang lain?”

Guru PAI tiba-tiba jadi kagetan. Heran dengan konten sejarah yang kontroversial dalam sebuah karya historiografi yang sekalipun dikeluarkan secara resmi oleh negara. Guru yang kaget itu hanya bisa bertanya-tanya tanpa memahami apa sebenarnya yang terjadi.

Nah, itulah akibat dari pola pikir pragmatis mereka selama kuliah di PAI ketika menganggap bahwa metode sejarah bukan keahlian mereka. Yang punya kompetensi soal metode sejarah hanya para mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah atau jurusan Pendidikan Sejarah. Bagi mereka, tidak penting mempelajari bagaimana metode sejarah, kan bidang keilmuan mereka Ilmu Pendidikan. 

Baca Juga  Berita Hoax dalam Pandangan Islam

Kepentingan dan Historiografi

Itulah kenyataan saat ini bahwa mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan atau Program Studi Agama Islam banyak yang tidak menguasai metode sejarah. Lemahnya literasi sejarah menjadikan mereka hanya sekedar konsumen buku-buku ajar. Akibatnya, mereka tidak bisa membedakan mana yang konten dan mana yang termasuk dalam wilayah metodologi. 

Konten dan metodologi ibarat makanan dan resepnya. Bagaimana rasa makanan itu tergantung dari komposisi apa saja bumbu yang diracik. Tidak hanya tergantung pada bumbunya, siapa dan bagaimana cara meneliti atau menulis tentang suatu naskah historiografi berkaitan dengan kepentingan dari peneliti atau penulisnya. Maka penting bagi mahasiswa calon guru PAI untuk mengetahui latar belakang dan tujuan dari proses penulisan suatu naskah historiografi.

Sebab, di balik struktur teks dalam naskah historiografi terdapat kepentingan untuk tujuan tertentu. Nah, hal-hal semacam ini termasuk dalam wilayah metodologi penulisan naskah sejarah. Maka jangan anggap hal semacam ini tidak penting lagi.

Lebih jauh dari itu, pentingnya mengenalkan metode penelitian bagi para mahasiswa calon guru, terutama ketika memasuki semester akhir masa kuliah bertujuan untuk membangun budaya dan keahlian riset yang mumpuni bagi mereka. Sebab, fakta yang hampir tidak terbantahkan, kualitas skripsi mahasiswa S1 memang masih jauh di bawah standar hasil penelitian ilmiah.

Mahasiswa S1 Bisa Unggul

Konon, berdasarkan standar akademik yang mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), bagi mahasiswa S1, asalkan sudah mampu mendeskripsikan data secara baik maka sudah layak lulus. Lulusan S1 sangat jarang yang menghasilkan skripsi dengan kualitas analisis data yang bagus karena itu memang standar akademik kualifikasi S2.

Boro-boro lulusan S1 melahirkan teori atau temuan baru yang berguna bagi perkembangan keilmuan mutakhir. Kan kualifikasi menemukan teori baru sesuai dengan standar akademik yang mengacu KKNI dibebankan kepada lulusan S3. 

Baca Juga  Baramulo (2): Adat, Syariat, dan Partai Islam di Sumatera Tengah

Menurut hemat penulis, sudah bukan saatnya lagi stratifikasi kualifikasi akademik yang mengacu KKNI diikuti. Para lulusan S1 pun sebenarnya bisa menghasilkan karya skripsi yang tidak hanya bagus dalam hal penyajian data, tetapi mampu memberikan analisis yang bagus. Atau, para lulusan S1 pun bisa melahirkan karya skripsi yang menghasilkan teori baru sebagaimana karya-karya disertasi dari para lulusan S3.

Saat ini, kemudahan akses data hampir tanpa batas. Kemampuan bahasa asing para mahasiswa S1 bisa melebihi para mahasiswa S2 atau S3. Sekarang kan era milenial, bro!  

157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds