Saya percaya bahwa istilah dialog bukan sebuah hal yang tabu didengar pada saat ini. Bahkan sudah banyak dialog-dialog yang muncul dengan berbagai istilah lain seperti diskusi, seminar, talkshow, dan sebagainya sebagai representasi dari dialog. Seiring dengan perkembangan zaman, dialog ini pun muncul dengan berbagai versi seperti dialog interaktif, dialog antar umat beragama, dann dialog lintas ormas yang hakikatnya berusaha menyatukan pemikiran untuk menemukan solusi atas permasalahan.
Secara etimologi, kata dialog berasal dari bahasa Yunani Dia logue, artinya “berbicara bersama”. Dalam Kamus Bahasa Inggris, dialog bermakna exchange of views between groups over a period of time and on many occasions (pertukaran pandangan antara berbagai kelompok pada sebuah periode dan berbagai kesempatan) atau an exchange of ideas or opinions on a particular issue especially with a view to reaching on amicable agreement (sebuah pertukaran ide atau pendapat dalam sejumlah masalah, terutama sebuah pandangan untuk mendekati kesepakatan damai).
Sejarah Dialog antar Agama
Dialog bukanlah rutinitas yang baru viral, tetapi dialog sudah dimulai pada proses penciptaan manusia pertama yakni Nabi Adam a.s. yang dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 30-38 yang bermula pada dialog antara Allah swt dengan para malaikat tentang penciptaan Adam.
Kemudian iblis mengkritik tentang penciptaan seorang manusia yang akan membuat kerusakan di muka bumi. Bahkan iblis tidak mematuhi perintah-Nya untuk bersujud kepada Adam, hingga akhirnya Allah swt mengusir iblis dari surga. Para nabi dan rasul terdahulu juga telah menjadi tauladan pertama dalam dialog baik dialog dengan para sahabat, animisime, dinamisme, politeisme, bahkan para pengaku Tuhan.
Dalam Islam, dialog antar agama samawi muncul di awal kemunculan Islam. Hal ini terjadi ketika Nabi Muhammad saw bersama pamannya Abu Lalin berdagang ke Damaskus. Dalam perjalanannya, mereka singgah di Bushra dan berdialog dengan Bahirah (seorang pendeta kristen) yang terkemuka yang meramalkan kenabian Nabi Muhammad.
Pada saat umat Islam mengungsi ke Euthopia karena perlakuan keji oleh para penganut politheisme makkah alias penyembah berhala, mereka mengirim ‘Amar Ibn ‘Ash dan ‘Abdullah Ibn Rabi’ah untuk memprovokasi Raja Najazy agar umat Islam diusir dari Euthopia. Atas tuduhan umat Islam membawa agama baru yang bertentangan agama di Euthopia yakni Kristen.
Raja Najazy tidak langsung percaya hal tersebut bahkan ia meminta agar utusan umat Islam menghadap untuk menjelaskan tentang Islam. Ja’far Ibn Abi Lalib sebagai utusan umat Islam segera menghadap Raja Najazy. Penjelasan Ja’far tentang kesucian Maryam dan kedudukan Nabi Isa a.s dalam agama Islam berhasil menarik simpati Raja Najazy. Bahkan utusan para politheisme Makkah diusir pada saat itu juga atas tuduhannya.
Etika Berdialog dalam Islam
Dialog versi Rasulullah adalah dialog tanpa kekerasan dan penindasan, tetapi dengan kelembutan dan kasih sayang. Dengan kelembutannya, ia berhasil menaklukkan hati orang-orang yang membencinya seperti Umar bin Khattab dan orang-orang yang hidup pada masanya.
Menurut Imam Junawi, seseorang hendaknya tidak memandang rendah lawan bicara karena kesalahan dalam pandangan atau argumentasi, sebab boleh jadi ia benar dalam hal lain. Pertama, dalam dialog setiap orang tidak boleh fanatik alias bersikukuh dengan apa yang ia pahami saja tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain. Dalam dialog, harusnya mengedepankan tranparansi dan reality.
Fakhruddin Al-Razi mengatakan bahwa seseorang hendaknya tidak memandang rendah pihak lain, supaya orang itu tidak mengucapkan kata-kata hina pula. Sedangkan M. Rasyid Ridho berpesan hendaknya orang yang berdialog mampu bekerja sama mewujudkan hal-hal yang disepakati dan dapat mentolerir perbedaan yang ada. Kedua, menyadari adanya perbedaan.
Pada hakikatnya, manusia diciptakan memang berbeda yang dijelaskan dalam QS.Hud: 18 “Dan jika tuhanmu menghendaki, tentu dia akan jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. Sehingga dalam berdialog, setiap individu seyogiayanya menyatukan persamaan bukan mencari-cari perbedaan baik itu dialog intern agama dan ektsern agama.
Sejalan dengan firman Allah di atas, Imam Al-Ghazali juga menambahkan, bagaimana manusia bisa bersatu untuk mendengarkan, padahal telah ditetapkan bahwa mereka akan terus berbeda dan karena perbedaan tersebut Allah menciptakan mereka. Oleh karena itu, dalam dialog haruslah menghasilkan kesepakatan bersama, solusi atas permasalahan, dan visi yang harus dilakukan bersama-sama kedepannya, bukan berdialog dengan sentimen-sentimen hanya untuk mengalahkan lawan bicara.
Upaya Mengurangi Konflik
Konflik dan dialog adalah dua elemen yang memang tidak bisa dipisahkan, namun mengurangi konflik adalah yang sangat vital. Hal ini telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw saat menyatukan umat beragama di Madinah, sebuah kota yang multicultural dan multireligion.
Sebelum kedatangan Nabi Muhammad, sama sekali tidak tercipta persatuaan lintas budaya dan lintas agama di kota ini. Hingga akhirnya dibuatlah sebuah perjanjian perdamaian yang dikenal dengan “Piagama Madinah” bertujuan untuk mewujudkan persatuan tanpa melihat agama, semua bekerja sama membela kota Madinah.
Dari piagam ini, lahir pula kaidah masyarakatnya “lahum ma lana wa ‘alayhim ma ‘alayna” yang bermakna mereka (non muslim) memiliki hak yang sama dengan kita (muslim) dan mereka memiliki kewajiban sama seperti kita sebagai warga masyarakat. Untuk mengurangi konflik dalam berbagai dialog, Ismail Fahmi Arrauf memberikan 3 upaya untuk mengurangi konflik tersebut.
Pertama, setiap individu harus melepaskan klaim-klaim kebenaran (truth claim) yang membuat diri merasa paling benar. Kedua, melepaskan doktrin penyelamatan yang berlebihan seperti umat Yahudi dengan konsep “the choosen people” yang menganggap dirinya adalah orang-orang terpilih/pilihan. Ada juga doktrin katolik “extra ecclesiam nulla sallus” yang artinya di luar gereja tidak ada keselamatan. Doktrin kristen “outside Christianity, no salvation” bermakna di luar kekristenan, tidak ada keselamatan.
Sedangkan doktrin umat Islam adalah “innaddina ‘indallohil islam” sesungguhnya agama yang diridhoi Allah adalah agama Islam (QS. Ali-Imran : 19). Ketiga, berani mengoreksi diri. Apabila memang salah maka harus mau untuk memperbaiki kesalahan sembari menemukan berbagai literatur untuk penguatan, bukan stagnan memperjuangkan kesalahan.
Pada dasarnya dialog hanyalah sebuah alat, stimulus, dan konektor untuk menambah wawasan, keilmuan, serta pemahaman. Kebenaran dalam dialog adalah sebuah kedinamisan. Ia akan ditemukan dengan terus mencari tanpa henti hingga Tuhan memanggil untuk kembali.