Perspektif

Bahaya Ketidakpastian Penyakit (Negara?)

4 Mins read

Jumat siang kemarin, saya beli nasi di warung sebelah kontrakan. Warung nasi itu sudah sepi hampir 3 minggu belakangan ini. Biasanya, ramai oleh para mahasiswa. Semenjak kampus menerapkan Belajar di Rumah, mereka sudah tak datang ke warung itu. Mungkin hanya saya saja yang masih makan di sana akhir-akhir ini.

Pemilik warung nasi yang sudah sepuh ini bilang ke saya, “Saya sebenarnya mau tutup, tapi kalau tidak jualan saya mau makan apa, nak”

Saat saya menunggu pesanan tiba, datang seorang ibu bersama putri dan putranya. Anak perempuannya sudah bekerja dan anak laki-lakinya sudah lulus SMA dan akan dikuliahkan oleh ibunya, namun putranya pingin kerja tidak mau kuliah.

Si ibu dengan wajah masam bercerita ke pemilik warung bahwa anaknya yang perempuan baru saja menikah tapi tanpa perayaan. Padahal, undangan resepsi sudah menyebar, dan peralatan untuk hajatan pernikahan hampir sudah dibeli. Tapi karena ada Corona, resepsinya disuruh tunda.

“Bingung aku, bu” kata si ibu ke pemilik warung.

“Sekarang katanya harus bekerja di rumah. Nah, aku mau bekerja apa, bu? Tahu sendiri kan aku kerja ikut orang. Yang mengharuskan di luar. Nah katanya mau ada bantuan dari pemerintah.

“Ini sampai kapan toh, bu”

***

Curhatan perih ibu di atas adalah salah satu dari seribu cerita yang memilukan dalam situasi saat ini akibat dampak Covid-19. Bukan hanya pada pekerja informal, pekerja formal pun mencemaskan keadaan ini. Beban kerja di rumah mungkin berdampak pada kondisi mental mereka. Mahasiswa akhir pun mencemaskan keberlanjutan skripsi/tesis mereka.

***

Melihat gambaran di atas, orang-orang yang mengeluhkan kecemasan dan keputusasaan karena ketidakpastian akibat yang akan menimpa mereka ke depan. Apakah saya akan kehilangan pekerjaan? Apakah saya akan molor kuliah? Apakah saya selamanya bekerja di rumah? Dan, apakah nanti akan kita semua akan terinfeksi?

Baca Juga  Rizal Sukma: Internasionalisasi Gerakan Muhammadiyah adalah Keniscayaan

Persepsi atas ketidakpastian ini sangat mempengaruhi kondisi mental seseorang. Banyak studi yang telah menyebutkan dampak negatif dari ketidakpastian pada kesehatan mental seperti depresi, distres psikologi, sampai putus asa.

Saya kok sepakat dengan beberapa teman yang bilang bahwa pemerintah, hari-hari ini, semakin menunjukkan respon ketidakpastiannya dalam penanganan Covid-19. Banyak yang belum pasti dari soal tindakan promotif dan preventif, tindakan kuratif, hingga kejelasan bantuan kepada para pekerja informal.

Berapa jumlah spesimen yang ditest setiap hari, ketersediaan APD untuk nakes, bantuan sosial untuk para pekerja informal, sampai kapan kita akan melakukan social dan physical distancing, dan belakangan ini ketidakjelasan pelarangan arus mudik.

Saya dari awal sudah menyiapkan mental menghadapi ketidakpastian ini. Meski, sebenarnya sudah timbul gangguan psikologis seperti kecemasan, dan keputusasaan

Apa itu Ketidakpastian?

Merle H. Mishel, seorang perawat psikiatri dalam teorinya “Ketidakpastian Penyakit”, mendefinisikan ketidakpastian sebagai ketidakmampuan seseorang untuk menentukan makna dari sebuah kejadian yang berhubungan dengan penyakit karena kurangnya informasi yang diberikan.

Ada dua faktor yang mendahuluan sehingga ketidakpastian muncul. Pertama, persepsi subjektif seseorang terhadap sebuah kejadian, penyakit, atau perlakuan. Kedua, ketersediaan sumber informasi yang mendukung seseorang untuk memahami kejadian atau penyakit yang menimpanya.

Sebagai ilustrasi, ada seorang pasien tidak memahami tentang penyakitnya. Lalu meminta keterangan kepada tenaga kesehatan. Namun, mereka ( dokter/perawat/tenaga kesehatan) tidak cukup jelas memberikan informasi kepada pasien yang di rawatnya.

Dalam konteks Covid-19, masyarakat tidak mampu memprediksi kapan kejadian (wabah) ini berakhir. Lalu, mereka mencari sumber yang menurut mereka kredibel yaitu pemerintah. Namun, pemerintah malah memberikan informasi yang tidak memadai dan menghasilkan prediksi atas wabah yang tidak akurat.

Ketidakjelasan dari pemerintah itu sangat banyak. Misalnya tindakan preventif. Berapa jumlah spesimen yang harus dilakukan test setiap hari. Bagaimana dengan kecukupan ketersediaan APD untuk nakes. Lalu, bagamainana kabar bantuan sosial untuk para pekerja informal. Sampai kapan kita akan melakukan social dan physical distancing. Dan, belakangan ini ribut soal ketidakjelasan pelarangan arus mudik.

Baca Juga  Situasi Darurat Pandemi, Masyarakat Harus Saling Tolong-Menolong

Saat BIN kemarin miliris pemodelan Covid-19, prediksi mereka akan ada 100.000 pasien Covid-19 di bulan Juli 2020. Namun, keterangan itu diragukan oleh beberapa ilmuan. Jumlahnya bisa melampui angka 100 ribu jika diihat berdasarkan buruknya managemen penanganan Covid-19 di Indonesia. Bahkan dalam pengakuan salah satu Gubernur, sebenarnya banyak kasus positif yang belum terungkap karena terlalu sedikit test yang dilakukan oleh pemerintah.

Bahaya Ketidakpastian Struktural

Ketidakpastian secara struktural ini, jika terus berlanjut, bukan tidak mungkin masyarakat akan mengalami kedaruratan psikologis. Bahayanya tentu lebih besar dari pada ketidakpastian bersifat personal. Misalnya, ketidakpastian atau ketidakjelasan informasi yang diberikan dokter/perawat kepada pasien atas kondisi penyakitnya. Efeknya, tentu ada pada taraf invidividu. Penangannanya pun lebih mudah dibandingkan gangguan yang diakibatkan oleh ketidakpastian secara struktural.

Beberapa perawat jiwa, psikolog, dan psikiater sudah memberikan konsultasi gratis kepada masyarakat yang sudah terdampak masalah mental seperti kecemasaan dan keputusaaan. Tentu ini bagus, dan membantu di saat kondisi ketidakpastian ini. Terapi koginitif mungkin masih bisa membantu mereka beradaptasi. Adaptasi diri pun bisa dilakukan secara mandiri misalnya melakukan relaksasi dengan nafas dalam, distraksi dengan bermain musik, membaca buku, bercinta, dan mendekatkan diri pada Tuhan sebagai sandaraan atas keputusaan.

Bagaimanapun, kapasitas koginitif dan kondisi sosial masyarakat kita sangat beragam, dan itu sangat berpengaruh pada strategi coping menghadapi ketidakpastian ini. Saya kok ndak yakin beberapa minggu ke depan masyarakat kita mampu beradapatasi dengan situasi ketidakjelasan seperti ini.

Melawan Ketidakpastian Struktural

Mengatasi ketidakpastian struktural seperti ini perlu diselesaikan secara struktural pula.
Saya mencoba meminjam teori ketidakpastian penyakitnya Mishel yang menyebut ada dua tahap mengatasi ketidakpastian. Pertama ketidakpastian sebagai bahaya. Dan kedua ketidakpastian sebagai kesempatan.

Baca Juga  Travel And Love - How They Are The Same

Ketidakpastian sebagai bahaya dapat diatasi dengan mengurasi ketidakpastin melalui management stres, mengurasi kecematan, dan problem psikologis lainnya. Baik dilakukan secara mandiri, maupun bantuan tenaga profesional.

Namun, dalam situasi yang penuh dengan ketidakjelasan dan ketidakpastian yang mungkin berlangsung lama ini, cara pertama tidak akan mampu mengatasinya.

Masyarakat perlu memandangan ini sebagai sebuah kesempatan untuk mendesak formasi baru tentang kehidupan yang memungkinkan untuk kita jalani ke depan.

Apakah kita harus mendesak pemerintah agar mereka belajar kepada negara-negara sosialis yang cukup sukses menangani Covid-19 ini. Atau mendesak pemerintah agar berganti haluan ideologis seperti negara-negara sosialis? Sedangkan negara-negara digdaya bercorak kapitalis tak berdaya menahan gempuran virus ini.

Jangan malu-malu mau bilang bahwa sistem kesehatan kita itu bercorak kapitalis. Dan, Oliver James, penulis buku Selfish Capitalist membuktikan adanya hubungan antara gangguan mental dengan kapitalisme. Ia mengamati penderitaan emosional meningkat di negera-negara kapitalis. Bahkan, WHO sendiri memprediksi depresi akan menjadi penyakit nomer dua di dunia setelah penyakit jantung di tahun 2020. Akankah prediksi ini bakal terjadi di tahun ini?

Kalau desakan di atas bukan sebuah pilihan yang tepat. Mari kita desak pemerintah saat ini untuk benar-benar kredibel, memberikan informasi yang jelas, melalukan prediksi yang tepat, dan melakukan penanganan yang serius pake banget. Mengeluarkan kebijakan berdasarkan kajian ilmiah. Bukan bekerja hanya mengoreksi perkataan penghuni istana.

Karena, ketidakpastian struktural ini jelas tidak bisa diselesaikan oleh adaptasi personal, dan mengandalkan bantuan perawat jiwa, psikolog, dan psikiater. Kita butuh pemerintah bukan butuh statement Lord LBP!!!!!!!

Editor: Yahya FR
Avatar
2 posts

About author
Perawat yang suka merawat hati yang terluka
Articles
Related posts
Perspektif

Bulan Puasa dan Gairah Kepedulian Sosial Kita

3 Mins read
Tidak terasa kita telah berada di bulan puasa, bulan yang menurut kepercayaan umat Islam adalah bulan penuh rahmat. Bulan yang memiliki banyak…
Perspektif

Hisab ma’a al-Jami’iyyin: Tanggung Jawab Akademisi Muslim Menurut Al-Faruqi

4 Mins read
Prof. Dr. Ismail Raji Al-Faruqi merupakan guru besar studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Beliau dikenal sebagai cendekiawan muslim dengan ide-idenya…
Perspektif

Rashdul Kiblat Global, Momentum Meluruskan Arah Kiblat

2 Mins read
Menghadap kiblat merupakan salah satu sarat sah salat. Tentu, hal ini berlaku dalam keadaan normal. Karena terdapat keadaan di mana menghadap kiblat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *