Di tengah pandemi Corona, amaliyah yang sangat penting di antara amaliyah lainnya adalah zakat. Saat ini, zakat dihimpun dan disalurkan oleh banyak lembaga amil mulai dari panitia masjid, Baznas, hingga berbagai badan Amil Zakat bentukan masyarakat lainnya. Semua itu merupakan langkah yang sangat positif. Dengan catatan, para subjek yang terlibat bersifat amanah, efisien, dan efektif dalam mengelola dan mendistribusikan zakat. Proses pendistribusian ini harus dilakukan pada waktu yang tepat, tempat yang tepat, dan sasaran (mustahiq) yang tepat.
Permasalahan yang selama ini dirasakan adalah rendahnya minat masyarakat dalam menyalurkan zakat melalui lembaga zakat. Mereka lebih senang menggunakan cara pribadi sebagai ‘pilihan pertama’. Sementara membayar zakat melalui lembaga amil dianggap sebagai alternatif pilihan.
Permasalahan pada sisi mustahiq, yaitu lemahnya para mustahiq di bidang kewirausahaan, sehingga berapa pun besar zakat yang mereka terima, hanya habis untuk konsumsi, dan hanya sedikit sekali yang dibelikan ‘kail’ untuk berusaha.
Digitalisasi Zakat
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyaluran, perlu adanya pendampingan dan pengawasan sehingga mustahiq merasakan manfaat yang lebih dari yang diharapkan. Untuk itu, seluruh Badan amil zakat perlu mengembangkan teknologi layanan zakat berbasis artificial intelligence (AI) dan digitalisasi zakat lainnya, misalnya financial technology, block chain, dan Internet of Things (IoT).
Digitalisasi zakat akan sangat memberikan manfaat bagi badan amil maupun bagi calon mustahiq. Karena proses pengumpulan menjadi lebih mudah, cepat, dan efisien. Pengelolaan zakat juga lebih efisien, transparan dan massif. Tidak banyak yang digunakan untuk administrasi, konsumsi, dan biaya marjinal lainnya.
Dengan digitalisasi, pengumpulan zakat akan dapat menjangkau kaum milenial dalam jumlah sangat besar. Selain itu, mobilisasi pembayaran zakat juga dapat diintegrasikan secara profesional. Kepercayaan dan minat masyarakat pembayar zakat (muzaki) juga akan meningkat.
Dengan demikian, banyaknya jumlah zakat yang berhasil dikumpulkan melalui aplikasi digital diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan mustahiq.
Zakat Sebagai Instrumen Keadilan
Pendistribusian zakat sudah dijelaskan dalam Al-Quran Surat At-Taubah ayat 60. Terdapat delapan golongan atau ashnaf penerima zakat. Akan tetapi, Ibnu Taimiyah (1980) berpendapat bahwa, “mendistribusikan zakat tidak harus dibagikan kepada delapan golongan mustahiq, melainkan dapat diprioritaskan bagi mustahiq yang benar-benar membutuhkan zakat.”
Pendistribusian dalam bentuk konsumtif atau produktif tidak perlu diperdebatkan, yang terpenting adalah sejauh mana zakat tersebut memberikan kebermaknaan bagi mustahiq, apalagi pada saat resesi ekonomi akibat wabah Virus Corona. Semua orang yang masuk dalam delapan ashnaf membutuhkan bantuan, sehingga pada saat inilah momentum yang sangat tepat untuk melakukan pembagian dengan adil.
Agar konsep keadilan dalam pendistribusian zakat dapat tercapai perlu memperhatikan dua konsep dasar dalam pelaksanaannya, yaitu konsep kepemilikan dalam Islam dan konsep larangan menimbun harta kekayaan.
Islam mengakui kepemilikan pribadi terhadap harta dengan cara yang halal dan tidak melupakan kewajiban terhadap hak orang miskin (QS. Al-Hadid [57]: 7). Dalam kondisi tersebut, implementasi penyaluran zakat selain mampu menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas, juga dapat menerapkan prinsip-prinsip syariah dengan baik.
Islam juga melarang menimbun harta sampai batas-batas yang merusak pondasi ekonomi dan sosial masyarakat muslim. Jadi, apabila umat Islam enggan membayar zakat, maka dapat mengambil harta tersebut secara paksa (QS. At-Taubah [9]: 101).
Zakat juga merupakan salah satu alat yang mampu mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan. Zakat juga dapat menciptakan jaminan sosial untuk seluruh masyarakat yang kurang beruntung. Dengan kata lain, zakat merupakan instrument untuk menolong masyarakat dalam upaya pengentasan kemiskinan. Lebih-lebih di era wabah virus Corona yang memaksa masyarakat mengunci diri di dalam rumah untuk memutus mata rantai penyebaran virus.
Dengan kata lain, dengan pendistribusian zakat yang baik, akan mampu menciptakan masyarakat yang sejahtera, berkedilan atau disebut juga Maqasid Asy-Syariah. Selain itu juga dapat membangun mental individu untuk menghindari sifat meminta-minta, berlaku boros (isyraf), dan memupuk sikap kesederhanaan.
Maqasid Asy-Syariah Digitalisasi Zakat
Seluruh proses pengumpulan dan penyaluran zakat bukanlah sebatas kesadaran tanpa pengaturan, tetapi harus memiliki sandaran dan dasar hukum yang kuat yaitu UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Sedangkan jaminan hukum dari pemerintah untuk mendorong peningkatan pengeloalan zakat, inovasi pembayaran, dan penumbuhan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat dapat mengacu pada UU No. 11 tahun 2008 yang telah diperbarui dengan UU No 19 tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam kaitannya dengan Maqasid Asy-Syariah, zakat mempunyai tiga dimensi dalam kehidupan manusia, yaitu pertama, dimensi sosial sebagai kewajiban sosial yang bersifat ibadah dalam rangka menyejahterakan masyarakat. Kedua, dimensi moral berguna dalam menghindarkan manusia dari sifat serakah, bakhil, dan tamak. Ketiga, dimensi ekonomi untuk mencegah seseorang melakukan penimbunan harta tanpa memperhatikan hak orang miskin.
Digitalisasi zakat telah dimulai melalui sistem pembayaran zakat via payroll system (ZPS), yaitu melalui pemotongan langsung dari gaji karyawan dengan mengisi standing instruction zakat.
Selanjutnya berkembang melalui financial technology zakat payment, yaitu melakukan kerja sama dengan penyelenggara fintech untuk mengumpulkan zakat yang hasilnya diserahkan kepada lembaga amil yang melakukan kerjasama untuk didistribusikan kepada yang berhak.
Metode lainnya itu crowd funding platform yang digunakan untuk memudahkan dalam berdonasi pada lembaga zakat. Cara ini mirip sekali dengan cara financial technology zakat payment, hanya saja pihak yang diajak kerjasama untuk melakukan pengumpulan zakat adalah crowd funding.
Kecerdasan buatan (artificial intelegence) juga memungkinan system computer untuk mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan melalui visualisasi komputer (Baznas, 2019). Dengan demikian, pemanfaatan digitalisasi sebagaimana disebutkan di atas dapat mewujudkan percepatan pembangunan pengelolaan zakat mulai dari pengumpulan, pengadministrasian, penyaluran, dan pertanggungjawaban dana zakat.
Aspek terpenting yang perlu diperhatikan dalam digitalisasi zakat adalah cyber security, agar tidak ada penipuan yang terkait dengan integritas kelembagaan, sistem pengembangan teknologi, standarisasi, sertifikasi, dan etika pengelolaan zakat itu sendiri.
Editor: Arif