Perspektif

Dilema Guru Besar: Profesor Lobian VS Profesor Ilmu

3 Mins read

Idealnya, Profesor (Guru Besar) adalah seseorang yang memiliki kapasitas keilmuan mumpuni dan memberikan kontribusi sosial yang berdampak terhadap pencerahan dan kemajuan bagi dunia akademik maupun masyarakat secara luas. Sehingga, dari kapasitas dan peran tersebut, mereka diberikan pengakuan akademik tertinggi oleh Perguruan Tinggi dan masyarakat berupa gelar Profesor.

Mereka yang Pantas Menyandang Gelar Guru Besar

Pertanyaannya apakah yang terjadi di lapangan se-ideal seperti kreteria di atas? belum tentu!

Profesor (Guru Besar) adalah jabatan sangat prestisius dalam dunia akademik. Sehingga menjadi ukuran atau standard keilmuan dan status sosial tertinggi seseorang dalam dunia Perguruan Tinggi. Orang yang sudah menyandang gelar Profesor akan mendapat banyak fasilitas mulai dari peningkatan pendapatan materi (tunjangan Profesor) hingga status sosial yang tinggi di masyarakat.

Mereka akan sangat dihormati, baik di dalam kampus maupun ditengah masyarakat. Mereka dianggap memiliki kapasitas keilmuan mumpuni dan jaringan sosial di atas rata-rata masyarakat awam. Kalau menggunakan istilah tasawuf, Profesor itu sudah berada di level “Maqom Makrifat”.

Dari latar di atas, menjadikan para insan akademik bahkan insan non akademik (Pejabat, Politisi, Pengusaha, Tokoh masyarakat) berlomba-lomba untuk mencapai dan mendapatkan gelar Profesor dari dunia Perguruan Tinggi. Bagi insan non akademik, gelar Profesornya disebut dengan istilah “Profesor Kehormatan“. 

Fenomena pemberian gelar Profesor Kehormatan di kalangan insan non akademik (Politisi, Pengusaha, Pejabat) saat ini menjadi pro kontra ditengah masyarakat. Seperti kasus di UGM, dimana sekitar 354 dosen UGM menolak pemberian gelar Profesor Kehormatan. (CNNIndonesia.com, 15/2/2023)

Menurut saya, memang perlu ada kajian dan pertimbangan secara komperehensif dan mendalam bagi Perguruan Tinggi yang akan memberikan gelar Profesor Kehormatan. Sehingga, publik (masyarakat) tidak curiga pemberian gelar tersebut hanya untuk kepentingan politis-kekuasaan dan material belaka. Namun, seharusnya pemberian gelar Profesor dapat menjadi inspirasi dan kontribusi percepatan tradisi pengembangan keilmuan di Perguruan Tinggi yang berdampak bagi kemajuan masyarakat secara luas. 

Baca Juga  Menimbang Pendidikan Inklusi di Muhammadiyah

Saking prestisius gelar Profesor, maka praktek di lapangan sering dijumpai penggunaan segala cara untuk mendapatkan gelar Profesor. Mulai dari cara (prosedur) yang benar secara akademik dan peraturan konstitusi, hingga menggunakan pola cara (prosedur) yang mencederai keadaban moralitas akademik dengan cara curang dan kotor (suap, plagiasi, perjokian dan sebagainya). 

Pola kedua tersebut, mirip pola kerja di dunia Gangster (Mafia) (rapi, sistematis dan senyap) yang penting dapat gelar Profesor, selesai. Sehingga menurut saya, pola tersebut sangat tidak pantas dan mencederai kesucian dunia akademik. Maka tugas kita harus bersatu dalam melawan dan memberantas “Mafia Profesor” di dunia akademik Perguruan Tinggi kita tercinta.

Dua Model Profesor

Dari dua model untuk mendapatkan gelar Profesor tersebut, ternyata menghasilkan dua model Profesor yang berbeda di masyarakat. Saya menyebutnya model “Profesor Lobi dan Profesor Ilmu”. Terus bagaimana kriteria dua model Profesor tersebut?

Pertama, Profesor “Lobi”

Profesor lobi merupakan gelar Profesor yang didapatkan karena hasil lobi-lobi dengan para pemegang kebijakan yang mengurusi pemberian gelar Profesor. Bukan sama sekali karena kapasitas dan karya-karya keilmuan yang dihasilkannya. Sehingga, peran akademik tidak begitu berefek besar bagi perkembangan keilmuan di Perguruan Tinggi tersebut, atau pakai istilah Arab “Wujudihi ka ‘adami” “Keberadaannya sama dengan ketidak adaannya” dalam konteks keilmuan bukan dalam konteks jabatan.

Profesor lobi, biasanya untuk memenuhi kebutuhan kewajiban akademik (Publikasi ilmiah atau karya buku) sebagai syarat untuk mendapatkan tunjangan Profesor menggunakan tim perjokian dengan memberikan sejumlah imbalan material, bukan karya sendiri. Sehingga banyak ditemukan plagiasi karya para Profesor dengan mahasiswanya di dunia akademik. Seperti berita “Calon Guru Besar Terlibat Perjokian” di kompas.id (10/2/2023).

Profesor lobi biasanya secara sosial juga tidak begitu aktif atau peduli berkiprah dan memberikan kontribusi positif bagi pencerahan dan kemajuan masyarakat. Artinya, gelar Profesor sebagai identitas keilmuan tertinggi tidak memiliki pengaruh dengan problematika masyarakat yang membutuhkan solusi dari Profesor. Gelar Profesor hanya untuk kebanggaan diri dan keluarganya, tidak bermanfaat untuk masyarakat. 

Baca Juga  Kampanye hingga Praktik Toleransi di UIN Raden Mas Said Surakarta

Profesor lobi biasanya yang dibicarakan lebih pada urusan material dan strategi lobi untuk mendapatkan gelar Profesor daripada membahas dan mendorong pengembangan keilmuan untuk mendapatkan gelar Profesor. 

Sehingga, kita tidak begitu mengenal pemikiran keilmuan Profesor tersebut di dunia akademik, atau menjumpai kontribusi real pemikiran dan peran sosial Profesor tersebut ditengah masyarakat.

***

Kedua, Profesor “Ilmu”

Gelar Profesor yang didapatkan karena kapasitas dan karya-karya keilmuan mumpuni dan peran sosial yang besar ditengah masyarakat, sehingga mereka diakui dan layak diberikan gelar Profesor oleh Perguruan Tinggi. Karya-karya keilmuannya dihasilkan sendiri sebagai komitmen menjunjung kesucian akademik.

Profesor ilmu yang sering dibicarakan adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan selalu mendorong kepada insan akademik untuk terus meningkatkan kapasitas keilmuan. Sehingga keberadaannya sangat dibutuhkan dan memberikan kontribusi besar bagi perkembangan dan tradisi keilmuan dalam dunia Perguruan Tinggi. Dan jika kita bersama mereka, biasanya mereka sangat menginspirasi dan kita dapat banyak ilmu sehingga kita dapat pencerahan.

Profesor ilmu dalam peran sosialnya sangat berpengaruh di masyarakat. Sebab, mereka selain aktif di dunia akademik, mereka juga aktif di pergerakan sosial kemasyarakatan. Pikiran-pikiran mereka banyak memberikan solusi strategis bagi penyelesaian problematika masyarakat sehingga pikiran dan peran mereka sangat dekat dengan masyarakat. 

Bukan seorang “intelektual menara gading” meminjam istilah Ali Syariati, Profesor Ilmu adalah “Ulul Albab” atau pinjam istilah Gramsci disebut “intelektual organik”.

Demikian pembacaan ini berdasarkan dari amatan gejala sosiologis yang terjadi di masyarakat, sehingga boleh berbeda dan tidak harus sepakat.

Editor: Soleh

Sholikh Al Huda
14 posts

About author
Direktur Institut Studi Islam Indonesia (InSID), Anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah Jatim, Dosen Pascasarjana UMSurabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds