IBTimes.ID – Indonesia berkemajuan bisa disebut dengan Muhammadiyah self claim. Ini adalah pikiran yang dimunculkan menjelang Pemilu dan Pilpres 2014. Dari pikiran ini melahirkan buku kecil berjudul Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna. Buku ini menjadi semacam proposal Muhammadiyah atas negara apa yang sebaiknya ditampilkan oleh Indonesia di tengah banyak proposal lain.
Hal ini disampaikan oleh Din Syamsuddin dalam Seminar Munas Tarjih yang digelar pada Sabtu (5/12) secara daring.
Menurut Din, Muhammadiyah menemukan karakteristik yang relevan dengan Indonesia, yaitu negara berkemajuan, sekaligus menjadi perwujudan dari Islam berkemajuan. Negara berkemajuan dapat ditemukan korelasinya dengan dokumen negara seperti UUD 1945.
“Paling tidak ada dua frasa. Yaitu frasa “memajukan kesejahteraan umum” dan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Menurut sejarawan, wacana tentang kemajuan sudah menjadi wacana umum sejak kemerdekaan Indonesia,” ujarnya.
Din juga menyebut bahwa Soekarno menulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi tahun 1924 menyebut bahwa Islam yang akan dikembangkan setelah merdeka adalah Islam yang berkemajuan. Din memastikan bahwa Soekarno terpengaruh oleh Kiai Dahlan.
Maka, menurutnya perlu diberi penjelasan atau desan operasional dari Islam berkemajuan. Islam berkemajuan harus bertumpu pada sistematika Islam, bertumpu pada tauhid. Tauhid ini membawa kepada islah (perbaikan, membangun kemaslahatan). Ini adalah misi khalifah di muka bumi.
Islah yang selama ini dilaksanakan oleh Muhammadiyah berupa pembangunan amal usaha harus bercirikan dua hal. Pertama, ‘ashriyah (berkemajuan, selalu menampilkan yang terbaik pada setiap dinamika zaman). Kedua, wasathiyah (tengahan).
“Negara berkemajuan, seperti halnya Islam berkemajuan tidak bisa dipahami sebagai hal yang biasa saja. Perlu ada kesepakatan, dan Muhammadiyah belum menyepakati apa yang dimaksud dengan Islam yang berkemajuan,” imbuhnya.
Din mengaku kurang sepakat dengan istilah moderasi, lebih-lebih dikaitkan dalam konteks keberagamaan. Pasca peristiwa 9/11, istilah radikal adalah proposal dari Amerika. Pada saat itu, orang-orang Amerika membujuk Muhammadiyah untuk mengikuti program deradikalisasi. Indonesia mendapatkan dana yang besar dari proposal tersebut.
Dalam konteks ini, istilah moderasi, lebih-lebih dalam konteks Barat, karena ada konotasi merekonsiliasi antara pikiran-pikiran yang berbeda dan juga membatasi diri. Maka, hal ini akan membuat umati Islam jatuh pada fleksibilitas. Padahal, Islam memiliki konsep wasathiyah. Menurutnya, moderasi hanya salah satu aspek dalam wasathiyah Islam. Washatiyyatul Islam memiliki tujuh kriteria. Yaitu adil, tawazun, tasamuh, syuro, al-islah, al-qudwah, dan al-muwathonah.
“Di dalam konsep ummatan wasatha, ada makna moderasi yang positif dan dinamis. Bukan moderasi yang pasif. Wasathiyyatul Islam adalah sebuah sintesis. Islam tampil di tengah. Nasrani sangat menekankan kasih. Islam muncul sebagai agama rahmat, keadilan, peradaban, dan syahadah,” imbuhnya.
Reporter: Yusuf