Tulisan saya kali ini merujuk pada suatu masterpiece berupa sebuah buku karya Asma Afsaruddin berjudul Tafsir Dekonstruksi Jihad & Syahid ( Mizan, 2018 ). Asma merupakan seorang guru besar di bidang Studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Notre Dame, Amerika Serikat. Fokus kajiannya di ranah pemikiran keagamaan dan politik Islam serta studi gender.
Terma Jihad yang dapat kita temui di dalam Al-Qur’an, sebagaimana mayoritas umat Islam pahami, sangat sarat dengan makna yang bernuansa kombatif (peperangan/ militeristik ). Hampir semua menyoroti dimensi legal dari konsep ini karena menekankan pengertian militernya.
Hal itu disebabkan karena banyaknya penggalian literatur hukum Islam pra-modern untuk mengafirmasi legalitas konsep jihad kombatif dari sudut pandang semantiknya. Namun, sangat disayangkan, tinjauan komprehensif mengenai ragam infleksi konsep Jihad yang lebih luas dalam genre dan korpus lain yang bernuansa non-kombatif, jauh lebih jarang dikaji dan ditemukan.
Ragam Infleksi Konsep Jihad
Di sini, akan saya coba paparkan gagasan Asma Afsaruddin secara singkat dan padat dalam mengkaji ragam infleksi konsep Jihad secara luas yang terdapat di dalam Al-Qur’an sehingga menghasilkan wacana dan khazanah baru mengenai makna Jihad yang selama ini hanya di mono-tafsirkan kombatif, namun kenyataannya juga mengandung makna non-kombatif yang tentunya berlandaskan hasil studi terhadap kitab-kitab tafsir terdahulu.
Dalam menjelasan dimensi makna Jihad , Asma menelaah penafsiran dari kalimat Jaahiduu fillah dan jaahiduu fiina ( QS. 22:78, QS. 29:69 ) dan kalimat jaahidhum bihi jihadan kabiiran ( QS. 25:52 ). Kitab-kitab tafsir yang dikaji dalam studi ini mencakup tafsir yang disusun pada masa Umayyah oleh Mujahid bin Jabr ( w. 104 H/ 722 M ), dan Muqatil bin Sulaiman ( w. 150 H/767 M ), Tanwir al-Miqbas yang memuat tafsir sahabat Nabi Ibn ‘Abbas ( w. 68/687 M) pada masa Abbasyiah yaitu tafsir Abdul-Razaq al-Shan’ani ( w. 211 H/827 M ), al-Thabari ( w. 310 H/923 M ) dan al-Wahidi ( w. 468 H/ 1076 M ), kemudian kitab mufassir ‘Ibadhi, Hud bin Muhakkam al-Huwwari ( w. 290 H/ 903 M ), lalu tafsir Syi’ah terdahulu karya al-Qummi ( w. Setelah 307 H/ 919 M ), al-Ayyasyi ( w. 320 H/ 932 M ). Pada masa pra-Buwaihiyah yaitu Furat bin Ibrahim, lalu pada masa Seljuk terdapat tafsir al-Zamakhsyari ( w. 538 H/ 1144 M ) dan Fakhruddin al-Razi ( w. 606 H/ 1210 M ). Pada periode Andalusia terdapat tafsir al-Qurthubi ( w. 671 H/ 1273 M ) bersamaan dengan memudarnya kekuasaaan Muslim di Spanyol dan Kerajaan Mamluk dibagian Timur wilayah Islam.
Jihaadan Kabiiran
Pembahasan pertama yaitu seputar QS. 25:52 ( fa laa tuthi’ al-kafiriin wa jaahidhum bihi jihaadan kabiiran ) yang artinya “ Janganlah mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan ini sekuat-kuatnya “. Konon, ayat ini diperkirakan turun pada pertengahan periode Makkah ( 617-619 M ) memuat perintah penting dari akar kata j-h-d yang mengandung arti suatu jenis perjuangan melawan orang-orang yang tidak beriman. Konsen pembahasan kali ini terfokus pada kata ganti enklitik bihi (dengan ini) apakah bermakna kombatif atau non-kombatif.
Muqatil bin Sulaiman, Hud bin Muhakkam, al-Qurthubi, dan al-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata ganti enklitik bihi mengacu pada Al-Qur’an. Jihad jenis ini mengacu pada jihad lisan pada periode Makkah sebelum peperangan dibolehkan.
Tanwir al-Miqbas memandang bahwa al-Qur’an dan pedang sama-sama diacu oleh ayat ini. al-Thabari berpendapat bahwa ayat ini ditujukan untuk memperingatkan Nabi agar tidak mengikuti seruan kafir untuk menyembah Tuhan-Tuhan mereka begitu juga al-Wahidi yang memandang bahwa ayat ini berisi perintah terhadap nabi untuk menolaknya dengan al-Qur’an secara kukuh.
Ringkasnya mayoritas mufassir memahami kata ganti enklitik bihi mengacu pada Al-Qur’an. Pandangan segelintir kalangan bahwa ia mengacu kepada “pedang“ atau perang. Namun Al-Razi dan al-Qurthubi menolak penafsiran ini karena dianggap ahistoris karena ayat ini digolongkan sebagai ayat Makkiyah dan perintah perang tidak diberikan sampai periode Madinah.
Jaahidu Fillah
Pembahasan kedua yaitu QS. 22:78 ( wa jaahidu fillah haqqa jihaadihi ) yang artinya : berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya “ ayat ini merupakan ayat “transisi” dari pengujung periode Makkah – permulaan periode Madinah.
Muqatil bin Sulaiman dan tanwir al-Miqbas menafsirkan bahwa wa jaahidu fillah bermakna “ Dia memerintahkan mereka untuk beramal “ haqqa Jihadih “ Berbuat baiklah demi Allah dengan sebaik-baiknya “. Hud bin Muhakkam mengatakan ayat ini dinasakhkan oleh ayat QS. 64:16 ( “Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu ).
Al-Qummi hanya mengatakan bahwa yang diacu dalam hal ini adalah imam Syi’ah. al-Wahidi mengedepankan makna jaahidu fillah yaitu berjihad dalam semua amal dalam rangka ketaatan. al-Zamakhsyari menafsirkan wa jaahidu sebagai perintah untuk “ memerangi “ hawa nafsu sebagai “jihad yang besar”.
Di sini al-Razi menyatakan bahwa yang dimaksud secara khusus di sini adalah memerangi orang-orang kafir ( anna al-murad qital al-kuffaar khash-shah), namun meski begitu, tokoh-tokoh terdahulu lainnya yang dikutip al-Razi justru menautkan makna yang non-kombatif terhadap kata Jihad dalam ayat ini.
Dalam kasus ini al-Thabari memliki pandangan yang berbeda dari pandangan-pandangan sebelumnya. Dalam memaknai frasa jaahidu fillah al-Thabari menyandarkan pendapat mufasir yang tidak disebut namanya ( fa qaala ba’duhum ) dengan “ Perjuangan melawan kaum musyrik. Namun al-Thabari mengakui bahwa banyak perbedaan pendapat di kalangan mufasir mengenai makna ayat ini.
Jihad Non-Kombantif
Dari pemaparan singkat di atas, kita mengetahui betapa banyak ragam penafsiran makna Jihad oleh beberapa mufassir terdahulu yang menyeru kepada anjuran untuk beramal sholeh, selain berperang (non-kombatif ), meskipun tidak kita pungkiri, bahwasanya juga terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang secara eksplisit mengizinkan untuk berjihad secara kombatif (berperang ) seperti QS. 22:39-40.
Namun di balik itu, harus terdapat 2 alasan utama dibolehkannya perang dalam tahap ini, yaitu: (1) karena Muslim dianiaya secara fisik oleh kaum penyembah berhala Makkah dan terusir dari tempat tinggalnya; dan (2) karena persekusi tersebut menimpa umat Islam semata-mata karena keimanan mereka dan bukan karena kesalahan mereka.
Intisari yang dapat kita petik dari pembahasan ini ialah, makna Jihad yang terdapat di dalam Al-Qur’an, tidak boleh secara serampangan kita maknai sebagai makna jihad kombatif yang melegitimasi peperangan, namun ternyata juga terdapat makna Jihad yang bersifat non-kombatif (amal sholeh ) yang justru lebih relevan kita terapkan pada zaman sekarang. Zaman dimana kita dapat beriman tanpa ada ancaman persekusi dan serangan secara fisik.