Perspektif

Djazman: Kolektivitas adalah Kunci Kemajuan Organisasi

3 Mins read

Mohamad Djazman Al-Kindi merupakan salah satu tokoh Muhammadiyah yang lahir di Yogyakarta pada 6 September 1938. Ia lahir di lingkungan keluarga besar Muhammadiyah. Ayahnya yang bernama KRT. Wardan Diponingrat merupakan Penghulu Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Ketua Majelis Tarjih terlama (1963-1985). Begitupun kakeknya, Muhammad Sangidu yang merupakan murid K.H. Ahmad Dahlan dan menjadi pionir persyarikatan Muhammadiyah.

Ideologi Muhammadiyah yang mengalir di darahnya menjadikan Djazman sebagai aktivis yang ulet dan melahirkan berbagai inovasi bagi kemajuan Muhammadiyah. Djazman adalah salah satu tokoh kunci berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada 14 Maret 1964 sekaligus menjadi ketua DPP IMM pertama. Ia juga memprakarsai berdirinya Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (MPTPP).

Hakekat Organisasi

Pada hakekatnya, organisasi dibentuk untuk mengatasi permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara perseorangan. Sebab setiap orang memiliki keterbatasannya masing-masing. Dengan demikian sejumlah orang bergabung menjadi satu untuk mengubah realitas menjadi keadaan yang dikehendaki secara bersama (tujuan organisasi). Berangkat dari hakekat organisasi inilah, Djazman selalu menekankan bahwa inti dari organisasi adalah kolektivitas atau kebersamaan.

Begitupun agar organisasi dapat berjalan secara efektif dan efisien, maka perlu ada manajerial di dalam organisasi. Salah satunya adalah memilih pemimpin guna mengorganisir para anggotanya. Sebab seorang pemimpin harus berusaha agar anggotanya tetap konsisten dengan tujuan organisasi yang telah disepakati bersama. Kolektivitas dalam organisasi hanya mungkin berjalan jika konsistensi tersebut dipertahankan. Sehingga yang tumbuh di benak masing-masing anggotanya adalah loyalitas kepada tujuan organisasi, bukan loyalitas kepada orang-orang yang kebetulan sedang memimpin.

Setiap pemimpin memiliki karakter dan kepribadiannya masing-masing. Dengan segala kemajemukan karakter tersebut, tidak ada jaminan dapat menghasilkan kepemimpinan yang baik dalam suatu organisasi. Sebab kepemimpinan seseorang terletak pada kesediaan dan kemampuan memimpin, serta kesediaan untuk dipimpin. Djazman memandang bahwa kepemimpinan hanya dapat dilihat sebagai gejala interaksi sosial, bukan sebagai karakter pemimpin semata-mata.

Baca Juga  Muhammadiyah dalam Pusaran Isu Wahabi Global

Selain itu, usaha dalam menggapai tujuan organisasi hanya bisa berjalan apabila setiap anggotanya memiliki kesadaran akan pentingnya kerja sama dan berorganisasi. Maka program pembinaan awal senantiasa diarahkan pada tumbuhnya kesadaran para anggota untuk mempertahankan dan mengembangkan organisasinya. Ini karena organisasi memang dibentuk sebagai usaha bersama untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh perseorangan.

Bagi Djazman, keberhasilan suatu organisasi ditentukan oleh empat hal, yakni konsentrasi dan konsistensi pada tujuan, efisiensi, efektivitas dan kesadaran para anggotanya. Meski begitu, keempat hal tersebut tetaplah dijalankan sesuai dengan landasan organisasi yang berlaku. Sebab seringkali keluar dalih demi tercapainya tujuan, efisiensi, efektifitas dan kebaikan anggotanya, aspek etik dan landasan organisasi ditabrak begitu saja.

Kemunduran Organisasi

Sebagaimana kehidupan yang tidak bisa dilepaskan dari masalah, organisasi pun mengalami hal yang serupa. Permasalahan yang menghampiri organisasi apabila tidak dikelola dan diselesaikan dengan baik, pasti akan berdampak buruk terhadap eksistensi suatu organisasi. Dalam hal ini, Djazman mendeteksi beberapa gejala yang dapat memperlemah kesadaran berorganisasi anggota dan pada akhirnya membinasakan organisasi tersebut. Gejala tersebut berupa:

Pertama, sikap rapuh. Yakni suatu kondisi ketika pendapat dan keinginan individu tidak dapat diterima, ia menjadi patah arang dan meninggalkan organisasinya.

Kedua, sikap mendua. Yakni suatu kondisi ketika pendapat dan keinginan individu tidak dapat diterima, ia berusaha menjadi anggota organisasi lain untuk menyalurkan kepentingannya tersebut.

Ketiga, sikap eksklusif. Yakni suatu kondisi ketika pendapat dan keinginan individu tidak dapat diterima, ia tetap bertahan di organisasi namun cenderung menciptakan konflik yang destruktif. Bahkan di tahapan yang lebih buruk sampai terbentuk faksi-faksi di internal organisasi.

Keempat, sikap egois. Yakni suatu kondisi ketika pendapat dan keinginan individu tidak dapat diterima, ia mendirikan organisasi baru yang identik dengan organisasi sebelumnya demi menyalurkan keinginannya.

Baca Juga  Ruhaini Dzuhayatin: Revolusi Gender 'Aisyiyah

Dengan memperhatikan gejala-gejala di atas, Djazman berkesimpulan bahwa berorganisasi tidaklah sekedar menghimpun sejumlah orang, melainkan juga memerlukan kematangan pribadi, kemantapan psikis, kedewasaan berpikir, dan bersikap arif dalam mengambil setiap keputusan. Sehingga organisasi benar-benar menjadi tempat bagi orang-orang yang ingin berproses, berjuang dan beramal, bukan menjadi tempat bagi orang-orang yang melihat organisasi sebagai sandal jepit yang sewaktu- waktu dapat ditinggal di jalan karena murahnya

Organisasi sebagai institusi sosial tidak mungkin menghindarkan diri dari pengaruh yang datang dari luar. Seringkali yang menjadi permasalahan adalah bagaimana cara agar pengaruh itu tidak merusak bangunan dasar suatu organisasi berupa ideologi. Dalam hal ini, Djazman menawarkan jawaban yakni keberadaan kader organisasi. Seorang kader mempunyai tugas pokok untuk menjadi regenerasi, mengembangkan organisasi sekaligus menghindarkan ideologi organisasi dari kemungkinan distorsi.

Oleh sebab itu seorang kader harus terus-menerus mempelajari rumusan ideologi organisasinya, memahami tugasnya di organisasi dengan baik, serta memperluas khazanah keilmuannya. Sebab menurut Djazman, perkembangan organisasi sering kali tidak diimbangi dengan perkembangan kader, baik kualitas maupun kuantitasnya. Perkembangan organisasi yang demikian, justru sering mengakibatkan distorsi tujuan dan menimbulkan ketidakstabilan. Distorsi tujuan terjadi karena organisasi berkembang sangat cepat sementara anggotanya disibukkan dengan dirinya sendiri dan melupakan tujuan organisasi.

Referensi:

Mohamad Djazman Al-Kindi, Organisasi sebagai Instrumen Gerakan Muhammadiyah, dalam Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan, 1990, Yogyakarta: Tiara Wacana

Mohamad Djazman Al-Kindi, Ilmu Amaliah Amal Ilmiah, 2019, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah

Avatar
11 posts

About author
Kader IMM Renaissance FISIP UMM
Articles
Related posts
Perspektif

Mencegah Fenomena Hipokrisi di Pondok Pesantren

3 Mins read
Pondok (pesantren) secara umum diartikan sebagai lingkungan bersama sistem pembelajaran Islam pada Indonesia dengan edukasi-edukasi keagamaan, bahasa Arab dan seni belajar hidup…
Perspektif

Kecilnya Keterwakilan Perempuan di Tingkat Eksekutif: Komitmen Afirmasi yang Tidak Terealisasi

3 Mins read
Dalam visi misi dan kampanye publik pemilihan presiden kemarin, kita tentu ingat bahwa isu gender masuk ke dalam suatu topik khusus yang…
Perspektif

Cerita di Balik Gencatan Senjata Israel-Hisbullah

3 Mins read
Dunia bisa sedikit legah. Minggu lalu telah terjadi kesepakatan genjatan senjata antara Israel dan Hisbullah. Tentu menjadi harapan semua pihak hendaknya peperangan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds