Tafsir

Doa sebagai Terapi Kesehatan Jiwa

3 Mins read

Setiap orang pasti memiliki keinginan, harapan ataupun cita-cita. Disadari atau tidak, hal ini mendorong manusia untuk berdoa entah bagaimanapun caranya. Dengan berdoa ini sedikit banyaknya akan memberikan pengaruh bagi yang melakukannya, salah satu diantaranya pada kesehatan jiwa (psikis). Allah berfirman:

Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, Maka sesungguhnya aku dekat, Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah) Ku dan beriman kepadaKu, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 186).

Tafsir dan Penjelasan Surat Al-Baqarah Ayat 186

Maksud dari ayat tersebut bahwa Allah tidaklah mengecewakan orang yang berdoa. Ini menjadi penyemangat seseorang untuk berdoa dan bahwa Allah Ta’ala tidaklah mensia-siakannya (doa).

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata: Allah menyebutkan dalam ayat ini bahwa Dia dekat dengan hamba-hambaNya, meliputi ilmu-Nya terhadap segala sesuatu. Maka Dia mendengar perkataan mereka dan melihat perbuatan mereka. Maksudnya, ingatkanlah wahai Rasul, kepada hamba-hamba-Ku terhadap apa yang wajib mereka jaga dalam ibadah, ketaatan dan hanya menghadap kepada-Ku dengan berdoa. (Tafsir ath-Thabari, Jilid 3, h. 480)

Pada ayat di atas, disyaratkan dua hal yang menjadi komposisi sebuah doa, yaitu: istijabah (فَلْيَسْتَجِيبُوا) dan iman (وَلْيُؤْمِنُوا). Sebagaimana al-Qurthubi dalam tafsirnya, (فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي) “Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahKu).” Mujahid dan yang lainnya berkata, maknanya: Hendaknya mereka menjawab (memenuhi panggilan) Ku terhadap apa yang telah aku serukan pada mereka dari keimanan yakni: untuk taat dan beramal. (Tafsir al-Qurthubi, 2006, h.177).

Menurut al-Maraghi, Istijabah ialah menjawab dengan penuh perhatian dan persiapan. Maksudnya ketika Aku dekat dengan mereka, menjawab doa orang yang berdoa kepadaKu, maka hendaknya mereka menjawab seruanku dengan menegakkan amalan yang Aku perintahkan kepada mereka. (Tafsir al-Maraghi, h. 75).

Baca Juga  Majaz Mursal: Kiasan yang Memperindah Al-Qur’an

***

Beliau melanjutkan: “Orang yang mengetahui syariat dan sunnah-sunnah Allah pada makhluknya tidak akan bermaksud dengan doanya kecuali hidayahNya kepada sebab-sebab yang dapat menyampaikannya kepada terwujudnya apa yang dia sukai/ingini dan tercapainya maksud-maksudnya. Maka apabila dia meminta kepada Allah untuk menambahkan rezkinya, dia tidak bermaksud agar langit hujan emas dan perak. Dan apabila dia meminta kesembuhan dari sakitnya yang melelahkannya dalam pengobatannya, maka dia tidak bermaksud agar Allah menembus apa yang sudah menjadi sunnatullah, akan tetapi ia menginginkan taufiq-Nya kepada penyembuhan apa yang menjadi sebab kesembuhan. Dan barangsiapa yang meninggalkan tindakan dan usaha dan menuntut agar diberikan harta maka dia bukan orang yang berdoa melainkan dia adalah orang yang jahil (bodoh). Dan begitu pula orang yang sakit yang tidak menjaga pantangan dan tidak menggunakan obat, sementara dia meminta kesembuhan dan kesehatan. Karena sesungguhnya dua orang yang dimisalkan tersebut sedang menuntut batalnya sunnah-sunnah yang telah ditetapkan oleh Allah pada penciptaan.” (Tafsir al-Maraghi, h. 75).

Dari pendapat mufasir di atas dapat dipahami, istijabah dan iman sebagai unsur komposisi doa. Istijabah dapat dilakukan dengan melaksanakan perintah Allah salah satunya dengan cara berikhtiar. Manusia harus bersungguh-sungguh dalam berusaha, untuk membuktikan keseriusan permohonannya kepada Tuhannya. Komposisi yang lain, yaitu memiliki keyakinan (iman), yakni menyerahkan hasil dari usahanya kepada Yang Maha Berkehendak. Sekeras apapun usaha yang dilakukan manusia, tetaplah Allah yang menentukan hasilnya. Keberhasilan ataupun kegagalan, sebenarnya keduanya adalah jalan yang ditunjukkan agar manusia tetap berada dekat dengan-Nya dan ini merupakan nikmat ketenangan terbaik. Ketika kedua syarat di atas istijabah dan iman terpenuhi dengan baik, maka komposisi doa pun menjadi lengkap. Dengan itu, manusia berhak menikmati jaminan dari Tuhan, yaitu mereka akan selalu memperoleh petunjuk-Nya (لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُون).

Baca Juga  Makna Rambut Uban dalam Al-Qur'an dan Tiga Tafsir

Doa dalam Perspektif Psikologi

Hal tersebut sejalan dengan konsep berdoa dalam perspektif psikologi. Berdoa merupakan aktivitas yang melibatkan peran psikis pelakunya secara mendalam. Melakukan sebuah doa harus dibarengi dengan sikap pasrah, tidak bisa bagi kita untuk terus menuntut dan bersikukuh agar harapannya tercapai.

Karena itu, bukan hasil dari doa itu saja yang dicari melainkan ketenangan atau hilangnya ketegangan yang timbul dari keyakinan bahwa persoalan yang diungkapkan dalam doa tersebut telah diserahkan kepada Tuhan. Seperti yang dikatakan Ibnu Arabi, setiap doa pasti dijawab sedangkan pengabulan tergantung pada hikmah Rabbani, jawaban-Nya itulah yang menghindarkan seorang hamba dari keterasingan dan putus asa serta digantikannya dengan harapan dan ketenangan.

Moh Soleh menyatakan bahwa doa yang sungguh-sungguh merupakan auto-sugesti yang dapat mendorong seseorang berbuat sesuai dengan yang didoakan dan pengaruhnya sangat jelas bagi perubahan jiwa dan badan, ia juga mengutip Robert Thouless (1991) bahwa doa sebagai teknik penyembuhan gangguan mental, dapat dilakukan dalam berbagai kondisi yang terbukti membantu efektifitasnya dalam mengubah mental seseorang. (Agama sebagai Terapi Telaah menuju Ilmu Kedokteran Holistik, h. 243).

***

Sebagaimana menurut Kate Lowenthal dalam penelitiannya “Religion, Culture, and Mental Health”. Doa memiliki pengaruh besar dalam psikologi, diantaranya mampu menenangkan, menentramkan seseorang, dan meyakinkan diri terhadap pilihan yang dijalani, serta meningkatkan kecerdasan emosionalnya, sehingga dia akan cenderung memiliki daya untuk survive dalam memahami tujuan hidupnya. Selain itu doa memiliki sifat mengikat, yakni dari isi doa yang dipanjatkan, tanpa disadari menjadi self reminder bagi yang memanjatkan doa, ketika dia pada kondisi trans yaitu gelombang otak berada pada gelombang alpha (rileks, fokus, dan tenang) atau masuk pada gelombang theta (deep meditation, nurani di bawah sadar, dan hening),pada saat kondisi inilah yang memicu kata-kata yang diucapkan melalui doa terekam jelas di alam bawah sadarnya sehingga menyebabkan subjek selalu mengingat.  (Lowenthal, 2006, h. 67)

Baca Juga  Mengapa di Era Modern Kitab Suci Terlupakan?

Dengan demikian doa dapat mengingatkan seseorang menjadi hamba yang perlu banyak berbenah dan menumbuhkan rasa percaya dan yakin bahwa Allah akan mengabulkan apa yang dipinta dan menyebabkan subjek merasa dekat dengan sang pencipta dan memiliki perasaan lebih berserah. Wallahu a’lam.

Editor: Soleh

Avatar
12 posts

About author
Khidmah di Yayasan Taftazaniyah
Articles
Related posts
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…
Tafsir

Dekonstruksi Tafsir Jihad

3 Mins read
Hampir sebagian besar kesarjanaan modern menyoroti makna jihad sebatas pada dimensi legal-formal dari konsep ini dan karenanya menekankan pengertian militernya. Uraiannya mayoritas…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds