Membersihkan diri baik itu dengan mandi, atau pun dengan mencuci tangan dengan sabun merupakan suatu anjuran yang baik. Apalagi di tengah maraknya wabah virus seperti sekarang ini. Menjaga kebersihan diri dan juga lingkungan merupakan suatu hal yang bisa kita lakukan demi menjaga diri dari pandemi COVID-19.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memberikan beberapa langkah dalam mencuci tangan, guna mencegah penyebaran virus korona COVID-19. Membersihkan atau mencuci tangan secara teratur dan menyeluruh dengan menggunakan sabun dan air, atau cairan berbasis alkohol, merupakan salah satu langkah yang tepat.
Dalam ajaran Islam, menjaga kebersihan merupakan anjuran bagi setiap muslim. Selain mencuci tangan, menutup mulut dengan menggunakan masker dinilai efektif mencegah penyebaran berbagai virus, termasuk korona. WHO dan juga Presiden Ir. H. Joko Widodo pun mengimbau bahkan mewajibkan memakai masker ketika harus keluar rumah, sebagaimana berita yang dimuat Kompas.com (6/4/2020) lalu.
Namun, terlepas dari uraian di atas yang berhubungan dengan wabah COVID-19, cuci tangan dan menutup mulut merupakan suatu hal yang tidak seharusnya kita lakukan.
Cuci Tangan itu Dosa
Cuci tangan yang menjadi dosa yang dimaksud adalah, ketika kita ‘cuci tangan‘ atau lepas serta mengabaikan tanggungjawab dari suatu kewajiban kita. Di mana kita sebagai penentu suatu kebijakan ataupun acuh terhadap tugas dan amanah yang kita emban.
Ketika orang lalai akan tugas dan fungsinya, lalu ketika ada masalah di mana masalah itu harus segera diatasi atas wewenangnya sebagai pemangku amanah, namun ia malah melemparkan masalah dan kesalahan kepada orang lain. Juga ketika seorang pimpinan ataupun pemimpin suatu kelompok, organisasi, atau perkumpulan lainnya, namun ia abai dalam melaksanakan tanggungjawabnya.
Korupsi, penyelengan dana, pencucian uang, dan marak beberapa kasus yang masih sering kita dengar baik langsung ataupun diberbagai media. Jika tidak ada yang turun tangan untuk mengatasi, bahkan sampai ‘cuci tangan‘ atas berserakannya ‘piring kotor‘ tersebut. Maka, kejahatan dengan memanfaatkan jabatan dan wewenang akan menjadi wabah.
Meminjam kata-kata dari Soe Hok Gie, “Mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.”, maka ketika kita melihat suatu kejahatan, sebaiknya kita ikut mencegahnya. Sebagaimana hadits Rasululllah yang berbunyi;
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia mencegah dengan tangannya, sekiranya dia tidak mampu, maka dengan lisannya, dan sekiranya dia tidak mampu (juga), maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemah keimanan.” (Riwayat Imam Muslim dalam Sahihnya dari hadis Abu Said r.a).
Juga sesuai firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 104;
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ
“Dan hendaklah ada di antara kamu yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemunkaran,”
Cuci tangan menggunakan air dan sabun demi menjaga kebersihan memang sangat dianjurkan, untuk mencegah penyakit ataupun virus yang menempel pada tangan kita. Namun, ‘cuci tangan‘ terhadap suatu kewajiban dan tanggungjawab atas amanah yang kita emban, merupakan sebuah dosa.
Karena setiap manusia bertanggungjawab atas apa yang ia perbuat (QS. Al-Mudatstsir: 38), dan setiap kita akan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita emban, bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak. Dan seharusnya itu yang di cuci adalah tangan, bukan tanggungjawab.
Dosa Menutup Mulut
Saat pandemi korona ini, kita harus dan diwajibkan untuk menutup mulut dengan masker, agar dapat mencegah penulara virus. Namun, terlepas dari itu, menutup mulut yang di maksudkan adalah diam saat melihat suatu kemungkaran. Sebagaimana ayat-ayat di atas pada masalah ‘cuci tangan‘, ‘tutup mulut‘ ketika ada suatu kezaliman adalah perbuatan yang tidak baik.
Di mana kita harusnya turut serta mengeluarkan pendapat untuk mencegah kejahatan, dan juga membela mereka yang terdzalimi. Jangan sampai kita diam ketika kejahatan itu ada, karena pelakunya secara personal mempunyai keakraban dengan kita, atau karena kita sudah diberi uang atau barang agar kita diam (suap).
Mengutip quote dari Aldous Huxley, seorang penulis dan filsuf dari Inggris (1894-1963) yang dimuat jagokata.com, “Kita membohongi diri kita sendiri agar kita masih memiliki alasan ketidaktahuan, alibi kebodohan dan ketidakpahaman, dengan memiliki yang kita dapat melanjutkan dengan hati nurani yang baik untuk melakukan dan mentolerir kejahatan paling mengerikan.”
Jangan sampai kita buta dan diam (tutup mulut) ketika ada suatu kejahatan terjadi di sekeliling kita, hanya karena kita segan dan merasa tidak enak dengan pelaku kejahatan. Namun, tentunya kita dalam mencegahnya juga dengan cara yang baik dan beradab, tidak dengan kekerasan bahkan main hakim sendiri. Sebagaimana firman Allah yang artinya;
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Amar Ma’ruf, Nahi Munkar
Sebagai orang yang sehat akal pikiran dan beriman, sudah menjadi kewajiban kita dalam mencegah suatu kemungkaran yang terjadi di sekeliling kita sesuai kemampuan dan kapasitas kita. Tentunya dengan adab dan sopan serta dengan cara yang baik, juga dengan kesabaran dalam diri. Sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman ayat 17 yang berbunyi;
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).“
Kejahatan akan menang bila orang yang benar tidak melakukan apa-apa, begitulah kata Panglima Besar Jenderal Soedirman. Maka, sudah seharusnyalah kita mencegah suatu kejahatan apapun bentuknya, jangan sampai kita ‘cuci tangan‘, ataupun ‘tutup mulut’ (mendiamkannya).
Begitupula ketika kita diberikan amanah, sudah sepatutnyalah kita bertanggungjawab dalam memegang amanah tersebut. Jangan sampai kita cuci tangan terhadap masalah-masalah yang timbul dan butuh peran kita dalam mengatasinya, sebagaimana peran, tugas, dan fungsi kita, baik di masyarakat, organisasi, atau apapun itu.
Tanggungjawab, amanah, dan kejujuran adalah kunci kualitas diri kita ketika dilihat oleh Sang Maha Melihat dan juga manusia. Karena kelak, kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita emban dan lakukan, di hadapan manusia juga dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.