Perspektif

Manusia: Sang Penjaga yang Hobi Merusak

4 Mins read

Manusia selamanya tidak bisa lepas dari alam yang buat Tuhan. Manusia bertempat tinggal di alam, beraktivitas di alam setiap harinya. Hal ini karena manusia membutuhkan alam dan alam menyediakan. Alam dan manusia memang tidak menyatu tetapi dalam berkehidupan manusia selalu membutuhkan alam dalam keberlangsungannya.

Misalnya saja, bahan makanan yang dimakan manusia berbahan dasar dari alam berupa macam-macam hewan dan tumbuhan yang kemudian diolah untuk dimakan setiap hari oleh manusia.

Tetapi alam juga tidak tinggal diam, bisa memberi timbal baliknya yang akan mendesak manusia bahkan menjadikan bencana. Berarti manusia dan alam memiliki hubungan saling mempengaruhi namun yang lebih determinan manusia, bisa dikatakan faktor penentu alam memberi pengaruh adalah manusia. Karena manusia lebih aktif daripada alam yang cenderung diam dan memberikan pengaruh balik kepada manusia setelah manusia berbuat berlebih kepada alam.

Lantas bagaimana memosisikan diri manusia dengan lingkungan ? Ada banyak pendekatan mengenai hal tersebut. Dengan pendekatan ekosentris berarti memusatkan ekosistem sebagai pusat alam semesta. Menurut Arne Naess “Abiotik juga mempunyai peran masing-masing sehingga tidak boleh punah di alam semesta”.

Sedangkan menurut Sujiwo Tejo, “Semua entitas di alam semesta diciptakan dan bekerja sebagai mesin. Suatu entitas mengandung mesin-mesin yang menjalankan fungsi tertentu dalam dirinya. Pada saat yang sama, suatu entitas menjadi bagian integral dari mesin-mesin lain.

Pada akhirnya, alam semesta merupakan mesin raksasa yang terdiri atas berbagai elemen dan komponen, yang juga merupakan mesin. Menjalankan fungsi sesuai yang dirancang penciptanya”. Manusia bukanlah pencipta namun hanya mengelolah yang ada atas desakan dari alam.

Sudah menjadi keharusan manusia untuk menjaga alam untuk keseimbangan hidupnya. Sebagaimana perintah dalam Q.S Al-A’raf ayat 56 yang berarti, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan”.

***

Larangan berbuat kerusakan di muka bumi dari Allah mencakup semua bidang, seperti merusak lingkungan, merusak pergaulan, jasmani, sumber kehidupan, dan lain sebagainya. Yang akan kita bahas lebih mengarah kepada lingkungan. Benarkah manusia telah menjaga lingkungan sebagaimana perintah yang diberikan? Mari kita lihat dari pendekatan antroposentris.

Baca Juga  Tentang Waktu, Masa Lalu yang Tak Mungkin Terulang Kembali

Antroposentris yang berarti berpusat pada manusia atau mengatakan pusat alam semesta adalah manusia. Manusia dianggap sebagai faktor penentu utama dari kejadian–kejadian yang ada di alam. Di sini, manusia dianggap lebih tinggi dari alam dan manusia berbuat apapun di alam yg cenderung diam. Adanya antroposentrisme menghadirkan konsekuensi bahwa manusia menggunakan alam untuk dimanfaatkan.

Munculah berbagai fase peradaban manusia. Pertama, fase komunal primitif. Fase di mana manusia masih hidup berkelompok. Manusia hanya belajar dari pengalaman yang didapati di alam dari aktivitas keseharian.

Dalam fase komunal primitif, manusia masih hidup dalam keharmonisan. Kedua, memasuki fase perbudakan. Berawal dari semakin habisnya sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan di sekitaran tempat tinggal salah satu kelompok manusia, nah dari sini berarti sudah ada kerusakan yang dibuat manusia dengan tidak melastarikan lingkungan.

Akhirnya memutuskan mencari tempat tinggal lain. Ketika perpindahan tempat tinggal inilah satu kelompok manusia bertemu dengan kelompok lain. Tanpa disengaja, kedua kelompok saling menganggap sebagai ancaman. Kemudian terjadilah peperangan antar kelompok dan kelompok yang kalah akan diperbudak.

Peperangan dan perbudakan juga merupakan kerusakan yang dibuat manusia di muka bumi berupa kerusakan moral dengan memperbudak sesamanya. Ini masuk dalam fase perbudakan.

Pengetahuan manusia semakin berkembang dari yang hanya hidup berkelompok, kini mulai mengenal sistem pemerintahan. Dan yang sebelumnya hanya mengandalkan perburuan untuk makan kini mulai mengenal bercocok tanam dan dilakukan pembebasan lahan.

Di fase feodal ini, siapa yang punya banyak tanah, dia akan disegani dan para petani waktu itu mendapat imbalan yang kurang setimpal. Yah, fase ini ada pula kerusakan berupa pembebasan lahan-lahan yang digunakan untuk pertanian.

Baca Juga  Gus Mus, Doraemon, dan Haul Gus Dur
***

Hingga ditemukanlah mesin uap yang menandai dimulainya fase baru prekonomian manusia yang mulai menggeser perekonomian model feodal. Dinamai fase kapital dan memunculkan paham kapitalisme. Sistem perekonomian pada kekuatan kapital atau kekuatan modal dan apa yang diproduksi ada segala hal yang bisa menghasilkan keuntungan.

Di sini semua produk apapun disasar, seperti pakaian perabotan makanan dan lain sebagainya yang biasa digunakan oleh manusia. Dan para pemodal berusaha mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri yang diutamakan.

Fase kapital masih berlaku dan digunakan hingga sekarang  dengan berbagai macam bentuk kapitalisasi dilakukan. Mereka menghalalkan segala cara seakan tidak memperdulikan lingkungan dan dampak yang akan dihadapi oleh manusia atau akan berdampak pada kelompok lain.

Misalnya reklamasi proyek garuda yang ada di utara Jakarta. Pihak pengembang seolah tidak memperdulikan masyarakat sekitar pesisir dan tidak memperdulikan habitat ikan. Mereka mengubur habitat ikan menyulitkan para nelayan mencari nafkah.

Di daerah pegunungan, kini banyak dibangun hotel-hotel bertingkat yang ada di pegunungan. Mereka membuat sumur bor untuk mendapat air hal ini akan berdampak kekeringan di daerah dataran rendah karena sumur bor akan mengambil air yang ada di dataran rendah. Lagi – lagi manusia membuat kerusakan lingkungan.

Kalau tadi, di atas dijelaskan ada larangan merusak di muka bumi, namun sebenarnya manusia diberi kodrat untuk merusak. Seperti apa yang difirmakan pada surat Al- Baqarah ayat 30 yang memuat percakapan Allah dan malaikat tentang penciptaan manusia.

Ayat tersebut memiliki arti, “Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Baca Juga  Jenis-jenis Cinta: dari Yunani Kuno Hingga Immanuel Kant
***

Begitu indahnya bagaimana skenario yang telah dibuat tuhan di atas. Kita diberi fungsi menjaga dan mengelola bumi sebagaimana disebutkan sebagai khalifah. Ada pula di awal larangan untuk tidak berbuat kerusakan. Tetapi di atas juga dijelaskan, kita akan berbuat kerusakan dan itu berarti kodrat yang diberikan manusia.

Manusia punya kodrat merusak, namun diberi perintah larangan berbuat kerusakan. Telah jelas ditiap fase peradaban manusia ada saja kerusakan yang dibuat. Berarti manusia telah menjalani acting sebagai penjaga dan pelestari lingkungan dengan kurang baik, tapi kalau langsung merusaknya manusia juga akan musnah.

Bagaimanapun juga, manusia juga ahsanu taqwim sebaik-baik makhluk ciptaan Tuhan yang telah dibekali akal dan hati. Keduanya harus saling seimbang mengatur kemauan masing-masing untuk menjalani peran yang diberikan kepada manusia.

Editor: Yahya FR
Avatar
1 posts

About author
Nama: Maulana Isro’ Abdullah Faqih Tempat, tanggal lahir: Jombang, 29 September 2000 Jenis Kelamin: Laki-laki Agama: Islam Alamat: Dsn. Gambang, Ds. Plumbon Gambang, Kec Gudo, Kab. Jombang, Jawa Timur Pekerjaan: Mahasiswa
Articles
Related posts
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…
Perspektif

Begini Kira-Kira Jika Buya Hamka Berbicara tentang Bola

3 Mins read
Kita harus menang! Tetapi di manakah letak kemenangan itu? Yaitu di balik perjuangan dan kepayahan. Di balik keringat, darah, dan air mata….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *