Memiliki otoritas keilmuan bagi seorang dosen, merupakan kewajiban mutlak yang harus terus diperjuangkan. Apapun dan bagaimanapun caranya, perjuangan harus terus dikibarkan hingga titik penghabisan. Sehingga, semakin lama seorang dosen mengabdikan diri di Perguruan Tinggi, akan semakin meningkat otoritas keilmuan yang dimilikinya. Dan bukan sebaliknya, yaitu menjadi beban bagi perguruan tinggi.
Apa yang dimaksud dengan otoritas keilmuan? Menurut hemat penulis, otoritas keilmuan ialah seseorang yang memiliki kapasitas dan kapabelitas di suatu bidang ilmu pengetahuan. Bagi dosen, tolok ukur kapasitas dan kapabelitas bahwa dirinya memiliki otoritas suatu bidang keilmuan, yaitu dibuktikan dengan produktivitas riset yang dihasilkan.
Semakin produktif seorang dosen menghasilkan riset—dengan outuput berupa artikel jurnal ilmiah, artikel prosiding, buku diktat, buku ajar, monograf, hingga tulisan ilmiah populer yang dipublikasikan di media online ataupun offline, akan semakin otoritatif keilmuan yang dimiliki dalam bidang keilmuan tersebut.
Otoritas Keilmuan dan Anomali
Rasa-rasanya, untuk meningkatkan otoritas keilmuan bagi seorang dosen—hingga dirinya benar-benar ahli di bidang yang sedang ditekuninya, sangat sulit untuk digapai. Apalagi, bila dikaitkan terhadap lingkungan akademik perguruan tinggi yang kurang kondusif dan kurang memberikan dukungan terhadap dunia riset.
Padahal, lingkungan akademik dan dukungan terhadap pengembangan riset menjadi hal yang sangat signifikan, dalam rangka meningkatkan otoritas keilmuan oleh seorang dosen. Tanpa adanya dua hal tersebut, sangat sulit seorang dosen untuk memiliki otoritas keilmuan di bidang yang sedang ditekuninya.
Di mana, lingkungan akademik yang kondusif, esensinya akan menjadi kawah candra dimuka bagi seorang dosen untuk meningkatkan skill keilmuan di bidangnya. Semakin baik dan kondusif lingkungan akademik, akan semakin banyak pemegang otoritas keilmuan lahir dari pangkuan rahim perguruan tinggi bersangkutan.
Perlu diketahui bersama, bahwa keberadaan lingkungan akademik di perguruan tinggi, harus diciptakan oleh civitas akademik itu sendiri. Karena, tidak akan mungkin lingkungan akademik muncul, tanpa adanya ikhtiar keras oleh seluruh civitas akademik untuk mewujudkannya.
Sementara itu, dukungan perguruan tinggi terhadap pengembangan riset, menjadi pelengkap dari adanya lingkungan akademik. Dukungan riset, dapat berbentuk penyediaan dana riset yang memadai, penyediaan infrastruktur riset, hingga pemberian insentif yang besar kepada para periset.
Bila coba ditelaah, lingkungan akademik dan dukungan perguruan tinggi terhadap pengembangan riset, memiliki peranan signifikan dalam rangka melahirkan dosen yang memiliki otoritas keilmuan. Hanya saja, dua hal tersebut, kadang menjadi anomali di perguruan tinggi—terkhusus perguruan tinggi swasta yang pendanaan hanya bersumber dari uang SPP mahasiswa.
Di mana, perguruan tinggi lebih fokus bagaimana caranya mendapatkan mahasiswa sebanyak-banyaknya. Kemudian, uang SPP yang dibayarkan oleh mahasiswa, hanya habis untuk membiayai rutinitas sehari-hari di perguruan tinggi. Tentu saja, rutinitas tersebut tak memiliki irisan dengan pengembangan riset di perguruan tinggi.
Tatkala anomali seperti itu terus dipertahankan, sampai kapanpun perguruan tinggi tidak akan mampu melahirkan dosen dengan otoritas keilmuan mumpuni di bidangnya masing-masing. Akan tetapi, perguruan tinggi hanya akan mampu melahirkan para dosen yang hanya bisa mengaji—mengajar dan menguji, dan defisit di bidang penelitian.
Dosen dengan Gaji Kecil, Kadang Jadi Pemicu
Terciptanya anomali di kalangan para dosen, salah satunya terkadang dipicu kecilnya gaji yang yang diterima dari perguruan tinggi tempat dirinya mengabdikan diri. Gaji kecil, membuat dirinya harus menambah jam kerja di luar kampus. Mereka, ada yang sembari berdagang, menjadi konsultan, dan bahkan nyambi sana-sini hingga melupakan tugas utama sebagai seorang dosen.
Tentu saja, tak ada salahnya seorang dosen nyambi sana-sini untuk menambah pendapatan yang tak cukup. Akan tetapi, bila ikhtiar nyambi sana-sini membuat dirinya lupa terhadap tugas utama sebagai seorang dosen, hal tersebut sangat tidak dibenarkan. Walaupun harus mengatasnamakan kecilnya gaji yang diterima setiap bulannya.
Fenomena tersebut, harus menjadi perhatian penting bagi perguruan tinggi yang ada di Indonesia, terlebih untuk perguruan tinggi swasta. Jangan sampai, kecilnya gaji yang diterima seorang dosen, menjadi pemicu utama mandulnya perguruan tinggi menghasilkan para dosen yang memiliki otoritas keilmuan sesuai bidang keilmuan yang ditekuninya.
Perguruan tinggi harus mulai memikirkan pemberian gaji layak untuk bisa hidup satu bulan. Selanjutnya, setiap dosen harus ditagih output kinerja yang dihasilkan, yaitu mulai kinerja pengajaran, pengabdian kepada masyarakat, dan penelitian atau kinerja riset.
Kalau bisa, kinerja riset menjadi tolok ukur utama bagi seorang dosen, ketika perguruan tinggi akan memberikan jabatan struktural kepada setiap dosen. Sehingga, dengan menjadikan kinerja riset sebagai tolok ukur utama, dosen akan berlomba-lomba meningkatkan kinerja riset dengan berbagai macam output yang dihasilkan.
Dengan demikian, secara tidak langsung perguruan tinggi berusaha menstimulus setiap dosen agar berikhtiar untuk menjadi dosen otoritatif di bidang kajiannya masing-masing. Semakin banyak output riset yang dihasilkan oleh peruguruan tinggi, akan semakin banyak dosen otoritatif yang dilahirkan oleh perguruan tinggi.
Dosen Harus Bisa Menyeimbangkan
Tuntutan untuk mendapatkan gaji layak, sebagai bentuk pragmatisme wajar yang harus terus dituntut oleh setiap dosen. Walaupun demikian, seorang dosen juga harus tau-diri, bahwa tuntutan untuk mendapatkan gaji layak, harus diikuti dengan adanya peningkatan kinerja dosen itu sendiri.
Jangan berharap, para dosen di suatu perguruan tinggi akan mendapatkan gaji layak, bila kinerja yang mereka berikan sangat tidak layak. Atau, mereka telah menunaikan kinerjanya sebagai dosen, tetapi kinerja yang diberikan asal-asalan.
Mengapa bisa demikian?
Karena, kinerja para dosen—mulai dari pengajaran, pengabdian kepada masyarakat, dan kinerja riset, menjadi penentu utama kemajuan dan berkembangnya perguruan tinggi tempat mereka mengabdian diri. Semakin maju dan berkembang suatu perguruan tinggi, secara otomatis akan memberikan dampak terhadap penyerapan mahasiswa baru di perguruan tinggi bersangkutan.
Artinya ialah, peningkatan kinerja dan kualitas setiap dosen di suatu perguruan tinggi, memberikan dampak signifikan terhadap penyerapan mahasiswa baru. Banyaknya mahasiswa baru yang terserap—khusus untuk perguruan tinggi swasta, akan menjadi satu tolok ukur bahwa perguruan tinggi akan memberikan gaji layak kepada setiap dosennya.
Dengan demikian, rasa-rasanya kurang elok bila seorang dosen selalu saja menyalahkan gaji kecil sebagai penyebab utama. Sementara, dirinya tidak pernah berikhtiar meningkatkan kualitas output kinerja yang diberikan untuk perguruan tinggi.
Bila seorang dosen ingin perguruan tinggi memberikan perhatian besar terhadap adanya peningkatan gaji, maka setiap dosen harus mulai berusaha untuk meningkatkan kinerja dirinya sebagai seorang dosen—mulai dari kinerja pengajaran, pengabdian kepada masyarakat, dan penelitian atau riset.
Menurut hemat penulis, seandainya setiap dosen memiliki pemikiran seperti itu, lambat laun setiap perguruan tinggi yang ada di Indonesia, akan mampu melahirkan para dosen yang otoritatif dengan gaji yang sangat layak.
Editor: Yahya FR