Fikih

Benarkah Tidak Ada Wasiat Bagi Ahli Waris?

3 Mins read

Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama bagi umat Islam. Melalui Al-Qur’an mereka dapat memperoleh tuntunan. Mengingat fungsi utama diturunkannya Al-Qur’an di bumi adalah menjadi petunjuk untuk seluruh umat manusia (Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 2002, 27).

Dalam Al-Qur’an dan sunah, secara umum telah diatur beberapa perkara tentang hubungan Allah dengan manusia, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan makhluk lain, dan hubungan manusia dengan alam.

Berbagai aspek kehidupan diatur di dalam Al-Qur’an dan sunah yang menjadi sumber utama ajaran Islam, termasuk di antaranya yaitu aspek wasiat.

Pengertian Wasiat

Kata wasiat bermakna “suatu ucapan atau pernyataan dimulainya suatu perbuatan”. Biasanya, perbuatan itu dimulai setelah orang yang mengucapkan atau menyatakan itu meninggal dunia (Ilmu Fiqih, 2008, 181).

Pengertian wasiat bisa menyangkut materi dan non materi. Wasiat juga merupakan salah satu cara yang digunakan manusia sebagai sarana untuk bertaqwa kepada Allah SWT (Terjamah Tafsir Fii Zhilalil Qur’an, 2000, 363).

Wasiat dalam istilah ilmu fiqih adalah pemberian harta berupa benda atau manfaatnya. Akadnya dilakukan selagi masih hidup, dan penerimaannya dilakukan setelah pemberi wasiat meninggal dunia.

Sedangkan, kata wasiat yang sering digunakan orang Indonesia pada umumnya, mempunyai makna yang lebih luas, tidak hanya berkaitan dengan harta benda, melainkan semua yang berkaitan dengan pesan seseorang sebelum meninggal.

Wasiat adalah menghibahkan harta dari seseorang kepada orang lain sesudah meninggalnya si pewasiat atau pembebasan hartanya, baik dijelaskan dengan kata-kata (lafadz) atau tidak. Wasiat bisa diartikan dengan suatu pesan tentang pembagian harta warisan kepada seseorang yang selain ahli waris (Kamus Islam, 1990, 16).

Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa benda, atau sekedar manfaat yang akan menjadi milik bagi orang yang akan diberikan wasiat tanpa mengharapkan imbalan (tabarru) yang pelaksanaannya berlaku setelah orang yang berwasiat telah meninggal dunia.

Baca Juga  Bolehkah Mendahulukan Sahur Sebelum Mandi Wajib?

Dalil Mengenai Wasiat

Q.S. al-Baqarah [2]: 180

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Diwajibkan kepadamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi (tanda-tanda) maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang banyak), berwasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang patut (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”.

إن الله أعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث

Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap orang haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.”

لا تجوز لوارث وصية إلا أن يجيزه الورثة

“Tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, kecuali jika disetujui oleh ahli waris yang lain”

Penjelasan Wasiat dalam Al-Qur’an dan Hadis

Menurut Imam Qurtubi, makna dari kata كُتِبَ adalah di tetapkan atau diwajibkan, dan maksud dari إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ adalah kedatangan sebab-sebab kematian atau juga kedatangan tanda-tanda kematian (al-Jamiʹ li Ahkâm Al-Qur’ân, 2010, 594).

Kata إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ  “Jika ia meninggalkan harta.” Kata إِنْ di sini adalah kata klausul, sedangkan untuk jawabannya Abu Hasan Al Akhfasy memiliki dua pendapat, yang pertama adalah: huruf faa’ sebagai tanda jawabannya dihapuskan pada الْوَصِيَّةُ, seharusnya adalah: فالْوَصِيَّةُ.  

Dan yang kedua adalah: jika setelah kata إِنْ adalah kata kerja masa lampau seperti pada ayat ini, maka jawabanya dibolehkan untuk diletakkan di depan ataupun di belakang kalimat tersebut.

Adapun untuk ayat ini, jawabannya di kedepankan, seharusnya adalah: “Berwasiatlah untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya, jika meninggalkan harta yang banyak” (al-Jamiʹ li Ahkâm Al-Qur’ân, 2010, 594).

Kata khair berarti semua yang baik bagi manusia, seperti kecerdasan, kesehatan, kebahagian, dan lain-lain yang menguntungkan manusia (Al-Qur’an dan Tafsirnya, 2010, 265). Allah berfirman, Q.S. al-An’am [6]: 17.

Baca Juga  Apakah Hukum Waris Islam Masih Kompatibel dengan Zaman?

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ

Jika Allah menimpakan suatu mudarat kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia dan jika Dia menghendaki kebaikan bagimu, tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya.

Khoir dapat berarti pula kekayaan (Terjamah Tafsir Fii Zhilalil Qur’an, 371) atau harta benda yang banyak (Al-Qur’an dan Tafsirnya, 2010, 266), sebagaimana firman Allah, Q.S. al-‘Adiyat [100]: 8

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

Sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.

Khair dapat pula berbentuk kata sifat yang berarti “lebih baik” Contohnya firman Allah mengenai orang yang dibolehkan tidak berpuasa karena tua, dengan membayar fidyah, Q.S. al-Baqarah [2]: 184.

***

وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Bahwa puasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”

Secara umum Surah al-Baqarah ayat 180 menunjukan kewajiban untuk berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat yang dekat, yaitu hanya kepada ahli waris (kedua orang tua dan karib kerabat) yang tidak mendapatkan harta waris baik karena dzawil arham dan mahjub yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris maupun karena mahram (Fikih Mawaris, 1997, 175-176).

Namun ketetapan itu menjadi sunnah sesudah turunnya ayat tentang pembagian waris, maka ayat tentang kewajiban berwasiat menjadi mansukh. Di samping ada ayat yang menasakh tentang wasiat juga ada hadis Nabi yang artinya “tidak ada wasiat bagi ahli waris” (Terjamah Tafsir Fii Zhilalil Qur’an, 371).

إن الله أعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث

Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap orang haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.”

Baca Juga  Hukum Menghafal Al-Quran: Sunnah, Wajib atau Mubah?

Hadis di atas menunjukkan bahwa hak masing-masing ahli waris dan yang bukan ahli waris sudah ditetapkan bagiannya. Ahli waris mendapatkan bagian dari jatah waris dan yang bukan ahli waris mendapatkan bagian dari jatah wasiat apabila almarhum pernah berwasiat. Maka dari itu, sebaiknya pewaris tidak mewasiatkan hartanya lagi kepada ahli waris karena ahli waris sudah mendapatkan hartanya lewat hukum waris yang telah ditentukan oleh Allah SWT.

Kesimpulan

Ketetapan dalam surah al-Baqarah ayat 180 menjadi sunah sesudah turunnya ayat tentang pembagian waris, maka ayat tentang kewajiban berwasiat menjadi mansukh. Di samping ada ayat yang menasakh tentang wasiat juga ada hadis Nabi yang artinya “tidak ada wasiat bagi ahli waris”.

Ayat waris dan hadis nabi telah menjadi mansukh bagi surah al-Baqarah ayat 180 dan apabila ada dua dalil yang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka dalil yang akhir menaskh dalil yang awal.

Editor: Yahya FR

Hazmi Ihkamuddin
4 posts

About author
Mahasiswa Magister IAT Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…
Fikih

Apa Hukumnya Membaca Basmalah Saat Melakukan Maksiat?

2 Mins read
Bagi umat muslim membaca basmalah merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan segala aktivitas. Mulai dari hal kecil hingga hal besar sangat…
Fikih

Bagaimana Hukum Mengqadha' Salat Wajib?

4 Mins read
Dalam menjalani hidup tak lepas dari lika liku kehidupan. Ekonomi surut, lapangan pekerjaan yang sulit, dan beberapa hal lainnya yang menyebabkan seseorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *