Oleh: Ust. Shamsi Ali
Kemenangan akan selalu berpihak kepada kebenaran. Bahwa pada akhirnya seperti janji Al-Quran: “maka Kami (Allah) memberikan penguatan kepada orang-orang beriman dan mereka akan berjaya” (As-Shaff). Karenanya, dengan mata iman dan pandangan spiritualitas, harapan, dan optimisme harus terus terbangun. “It is a matter of time.” Ada masanya umat yang saat ini berada di posisi titik nadir terendah akan menemukan kemuliaan dan kejayaannya.
Barangkali yang perlu kita ketahui saat ini apa dan bagaimana saja bentuk “awan” yang menghalangi terbitnya sang mentari itu? Apa bentuk dan di mana saja tantangan berat yang saat ini sedang dihadapi oleh Umat ini?
Dengan segala ragam masalah dan tantangan yang dihadapi oleh umat ini, saya akan simpulkan dalam dua poin penting. Tentu kerapuhan iman, jauhnya dari tuntunan Al-Quran dan Sunnah, semua itu membawa kepada permasalahan-permasalahan nyata di lapangan.
Penyakit Wahan
Pertama adalah penyakit “wahan” yang kronis. Jika saat ini di Wuhan, China, terjadi wabah yang mematikan dan menyebar cepat ke berbagai belahan dunia, umat Islam sendiri sedang terjangkiti penyakit kronis yang juga tidak kalah mematikan. Penyakit ini memang tidak mematikan secara fisik. Tapi mematikan secara ruhiyah. Mematikan fondasi hidup manusia. Mematikan hati dan jiwanya. Penyakit itu dikenal dengan nama “wahan.”
Penyakit ini digambarkan dalam sebuah hadits Abu Daud: “Hampir tiba masanya di mana kamu akan diperebutkan bagaimana makanan yang diperebutkan oleh para pemangsanya. Para sahabat bertanya: apakah karena kami sedikit ketika itu ya Rasul? Beliau menjawab: bahkan kalian banyak. Tapi kalian bagaikan buih yang terapung. Dan Allah mencabut rasa takut itu dari hati musuh-musuhmu. Dan juga Allah menanamkan dalam hati kalian “al-wahan.” Seorang sahabat bertanya: apa itu wahan ya Rasul? Beliau menjawab: cinta dunia dan takut/benci mati.”
Perlu dipahami bahwa jawaban Rasulullah SAW dalam hadits itu sesungguhnya tidak menyebutkan arti maupun defenisi dari kata “wahan.” Melainkan tanda-tanda dan akibat dari penyakit itu. Kata “wahan” sebenarnya berasal dari kata “wahana-yahinu-hinatun.” Yaitu sebuah fenomena kejiwaan yang rapuh, merasa rendah, minder dan terhina.
Kata “hina” atau kehinaan dalam bahasa Indonesia sesungguhnya berasal dari kata yang sama. Dengan kata lain, penyakit al-wahan ini adalah penyakit “minder” atau rendah diri. Penyakit yang menjadikan rasa izzah (mulia) dan percaya diri (self confidence) anjlok ke titik nadir terendah. Dan semua itu sebagai akibat dari kecintaan yang berlebihan kepada dunia yang fana ini.
Inilah salah satu tantangan terbesar umat Islam saat ini. Melawan rasa minder, rasa rendah diri. Dan mulai membangun rasa percaya diri dan izzah dzatiyah (merasa mulia dengan iman dan Islam ini). “Sesungguhnya kemuliaan itu milik Allah, milik RasulNya, dan milik orang-orang yang beriman”. (Ayat). “Jangan rendah diri dan jangan sedih. Karena sesungguhnya kamu berada di posisi tinggi jika kamu sadar” (ayat).
Hilangnya rasa percaya diri dan rasa mulia dengan Islam menjadikan Umat begitu mudah terombang-ambing oleh kepentingan sesaat. Bahkan lebih runyam lagi, terkadang bukan kepentingan mereka. Tapi dipolesi jika kepentingan itu untuk mereka. Karena jiwa dan hatinya tertutupi oleh rasa minder, bahkan rasa takut. Umat mudah dibeli, diarahkan, bahkan begitu mudah dikelabui oleh bangsa-bangsa lain. Khususnya bangsa-bangsa besar yang memang punya kepentingan besar. Dalam prosesnya Umat menjadi korban demi kepentingan orang lain.
Penyakit Furqah
Penyakit kedua adalah perpecahan atau al-furqah yang menghancurkan. Salah satu akibat langsung dan nyata dari “al-wahan” tadi adalah begitu mudah Umat ini dipecah-belah. Praktek ‘devide et empire’ menjadi kenyataan terbesar dalam dunia Islam saat ini. Di mana-mana umat cenderung terpecah karena satu dan lain sebab. Ada yang karena isu ekonomi. Ada juga karena isu territorial (betas negara). Tapi ada juga karena masalah penafsiran agama yang telah dijadikan sebagai ideologi bangsa.
Saat ini ada 67 negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Kesemua negara ini masuk dalam sebuah aliansi yang dikenal dengan OIC (Organization of Islamic Cooperation) atau organisasi kerjasama Islam. Organisasi ini sebenarnya adalah organisasi dengan anggota terbesar setelah GNB (Gerakan Non Blok) di badan dunia (PBB). GNB dikenal sebagai persatuan negara-negara Asia Afrika yang lahir salah satunya atas inisiasi Indonesia melalui Konferensi Asia Afrika di Bandung. Sayangnya, suara OKI (organisasi kerjasama Islam) ini hampir tidak pernah didengar. Hal itu karena selain perpecahan yang ada di antara anggota-anggotanya, juga karena hampir semua anggotanya dikendalikan oleh kekuatan lain yang punya kepentingan.
Di sinilah sering kita lihat suara-suara nyaring hanya terdengar sesaat lalu hilang. Bahkan terkadang sekedar dianggap suara-suara sumbang yang tidak punya makna. Suara Malaysia, Turki, atau Pakistan di Sidang Majelis Umum PBB dianggap suara yang tidak punya makna apa-apa. Karenanya, isu-isu keumatan yang menyedihkan, dari isu Kashmir, Rohingyah, Uighur, hingga Palestina yang hampir masuk dalam gedung musium sejarah kelam dunia itu hilang seolah tak menjadi kepedulian lagi.
Dunia Islam masing-masing hanya mencari selamat. Selamat dari ancaman kekuatan luar. Juga selamat dari kemungkinan ancaman dalam. Ancaman rakyat sendiri, yang mulai muak dengan perilaku penguasa yang sibuk mencari penyelamatan kekuasaan. Maka hilangnya kesatuan umat (ummah wahidah) menjadi awan gelap gulita yang menghalangi tampaknya mentari di atas sana. Hingga masanya Umat bersatu kembali sinar itu akan selalu terbayang-bayang dan tidak menampakkan diri.
Kedua penyakit kronis di atas, al-wahan dan al-furqah (perpecahan) itulah yang membawa kepada keadaan umat yang sangat menyedihkan. Kemiskinan dan pemiskinan terus berlangsung. Perampokan hak-hak dasar umat terus menggeluti dunia Islam. Keterbelakangan Umat hampir dalam segala aspek kehidupan manusia menjadi tontonan yang menggelikan.
Tapi, itulah realita yang dihadapi. Pertanyaannya kemudian adalah, “so what we can do from here?” Apa yang harusnya mulai kita lakukan? Akankah kita tinggal diam dan mengurut dada? Atau haruskah kita marah dan mengutuk orang lain?
Dalam dunia keterbukaan saat ini, saya yakin umat hanya punya satu pilihan jalan. Jalan panjang melalui keberanian mengritik diri sendiri (self criticism), lalu melakukan perbaikan (self correction) dan membangun kekuatan diri sendiri (self empowerment). Semua itu tersimpulkan dalam satu kata: “perubahan.” Itu karena, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga kaum itu merubah diri mereka sendiri” (ayat). Dengan kata lain, masanya umat ini jangan lagi menunggu untuk dibelaskasihi dan disuapi oleh orang lain. Karena sesungguhnya segala potensi untuk bangkit dan kuat ada pada umat ini. Alaa inna nashrallah qariib…Amin!
* Presiden Nusantara Foundation/Pesantren Nur Inka Nusantara Madani
Editor: Arif