Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosuwirjo bukanlah “sang messiah.” Jika benar seorang messiah, mengapa ketika diadili dengan beberapa dakwaan dia gemetar, mengelak dengan nada terbata-bata, dan wajahnya tampak pucat pasi? Tapi sosok ini memang sudah kadung diyakini sebagai “pemimpin keramat” Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) oleh para pengikutnya. Padahal, dia hanyalah seorang yang kecewa dengan kebijakan rezim Orde Lama yang notabene dipimpin oleh kawan seperguruannya (Bung Karno). Dia telah memanfaatkan seorang dukun untuk mengkhabarkan kasyaf-nya yang kemudian ditulis dalam bentuk diagram yang oleh para pengikutnya diyakini sebagai “wahyu tjakraningrat.”
Dukun, Kasyaf, dan Jimat
“Gontjangnja kepertjajaan para pengikutnja terhadap keistimewaan pribadi S.M. Kartosoewirjo mulai sedjak dia pada tanggal 24 April 1962, jaitu ketika ia menderita luka karena peluru. Atjeng Kurnia, pengawal pribadi jang selama ini setia mengawalnja ketika melihat S.M Kartosoewirjo djuga tidak kebal kena peluru, mulailah gontjang kepertjajaannja,” tulis Pinardi dalam bukunya, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (1964: 48).
Aceng Kurnia, sang ajudan Kartosuwirjo, lantas ragu, apakah mungkin “pemimpin keramat” yang ternyata dapat luka kena peluru bisa menyelamatkan para mujahidin (Tentara Islam Indonesia/TII) di bawah bendera Darul Islam (DI)? Peristiwa inilah yang akhirnya menyudahi kepemimpinan Kartosuwirjo karena para pengikutnya lantas menyerah kepada TNI. Dia pun tertangkap.
Nah, semua rahasia yang menyelimuti kepemimpinan SM Kartosoewirjo terungkap setelah penangkapannya oleh TNI pada tahun 1962. Mengapa dia begitu dikeramatkan oleh para pengikutnya? Rupanya, lewat jasa seorang dukun bernama Achmad Sudjai, pemimpin DI/TII ini mendapat inspirasi untuk kibulin pengikutnya.
“Inspirasi dari dukun,” tulis Pinardi, yaitu ketika Achmad mengoperasi hidung Kartosuwirjo di dalam sebuah gubuk tua nan gelap. Dukun Achmad mengandaikan muncul sinar terang berupa tulisan Arab yang berbunyi dua kalimat syahadat. Oleh Kartosuwirjo, sang dukun disuruh membuatkan tulisan atau diagram hasil penglihatannya terhadap peristiwa tersebut. Lalu, terbentuklah tulisan yang kemudian diyakini sebagai wahyu lewat proses kasyaf. Wahyu tersebut dikenal sebagai “wahyu tjakraningrat.” Inilah jimatnya yang berhasil digunakan untuk meyakinkan para pengikutnya.
Akhir Tragis Kartosuwirjo
Dengan kepiawaian Kartosuwirjo mengorganisasi pasukan mujahidin, dibumbui dengan jimat “wahyu tjakraningrat,” dia berhasil mendeklarasikan berdirinya “Negara Islam Indonesia yang merdeka” (21 Desember 1948). Terbentuklah struktur pemerintahan di bawah pimpinan Kartosuwirjo lengkap dengan satuan pasukan militernya yang dikenal dengan Tentara Islam Indonesia.
Namun cerita magis tentang kepemimpinan Kartosuwirjo langsung lenyap seiring dengan penangkapannya pada tahun 1962. Dalam kondisi luka akibat kena peluru, “sang messiah” menjadi pesakitan. Namun yang paling miris, ketika di hadapan sidang pengadilan militer, ia mengelak, menolak tuduhan.
Tiga dakwaan kepada Kartosuwirjo: pertama, memimpin dan mengatur penyerangan dengan tujuan merobohkan pemerintahan yang sah. Kedua, memimpin dan mengatur pembrontakan. Ketiga, memerintahkan makar pembunuhan. Dakwaan pertama diakui oleh Kartosuwirjo, tetapi dua dakwaan lainnya ia tolak dengan nada terbata-bata. Wajahnya pun tampak pucat pasi, seperti orang yang tidak siap menghadapi kenyataan.
Di akhir hayatnya, SM Kartosuwirjo menjadi pesakitan di penjara selama menjalani sidang militer. Jalannya persidangan berhasil membuktikan tuduhan-tuduhan yang dilayangkan kepada Kartosuwirjo. Dia pun tidak dapat mengelak dari ancaman hukuman tembak mati. Hanya ada satu kesempatan lagi baginya untuk lepas dari hukuman, yaitu lewat pengajuan grasi kepada kepala negara, tetapi itu pun ditolak. Maka pada tanggal `12 September 1962, nyawanya ditebus dengan peluru oleh regu tembak.
Editor: Yahya FR