Kebanyakan mahasiswa sekarang memandang ngopi hanya sebatas sarana nongkrong di kafe saja. Tidak sekalipun mereka pernah memperdulikan substansi ngopinya untuk apa, serta dalam rangka apa. Malah mayoritas mahasiswa masa kini asik dengan trend ngopi di kafe berkutat sebatas nge-game, pacaran, ghibah, dan lain sebagainya yang un-faedah. Sungguh begitu memilukan bagi saya pribadi.
Sebelum menyayangkan realitas saat ini, saya menginginkan kebiasaan ngopi tempo lalu hadir di saat ini. Hal itu dikarenakan banyak sekali nilai positif dari ngopi itu sendiri, entah secara agama maupun negara. Sebab tanpa adanya tindakan ngopi, orang dulu akan terus terjerembab terhadap kubangan kerugian besar di kehidupannya.
Layaknya dalam curhatan Abdul Ghaffar—seorang guru tarikat Shadiliyah—menulis curhatan di bukunya. Ia mengungkapkan kalau di negeri Ethiopia setiap malam Senin dan Jumat mayoritas masyarakatnya ngopi. Namun bukan untuk asik-asikan, tapi dalam rangka bermunajat kepada tuhan: “Usai menyeruput kopi, mereka mengucapkan “la illaha il’ Allah”.
Tindakan itu, bagi sang guru tarikat Shadiliyah, sama dengan kebiasaan orang-orang di daerah Yaman. Para kaum sufi di sana melakukan ngopi bersama demi membaca ratib sebanyak 1661 kali di waktu malam. Semua itu mereka lakukan demi mendekatkan diri kepada tuhannya: Tuhan Yang Maha Esa.
Secangkir kopi yang membuat orang akan terus terjaga, dijadikan sarana penangkal kantuk, demi melakukan tindakan munajat tersebut. Hal itu disebabkan stereotip orang dulu yang meyakini kalau tidur mempercepat kematian, karena waktu akan terus berjalan maju tanpa ada jeda maupun redplay. Sedangkan secara logika, sungguh sesuai sampai sekarang.
Selain itu perihal minuman kopi, mereka bukan saja melihat akan manfaat penangkal kantuknya, ada juga manfaat lain di dalam kopi. Kopi ialah salah satu minuman penghantar rileksnya pikiran. Sebagaimana hasil dari penelitian di American University. Dalam jurnalnya, peneliti mengungkapkan bahwa, di dalam kopi ada zat perangsang rasa bahagia sekaligus percaya diri. Hal itu dipicu oleh zat kafein di mana bisa membantu produksi hormon serotin dan dapamine dalam otak manusia.
Lantas dari sana, ketika ngopi, orang kebanyakan bisa berfikir jernih. Sebab tiada lagi unek-unek membebani akal fikiran. Melalui ngopi otak manusia malah bisa bekerja secara teratur, mulai dari mengingat, mengoreksi, dan menerka masa depan. Sehingga darinya, cakrawala pengetahuan terbuka satu persatu demi memperbaiki hidup yang akan datang.
Sebagaimana berbagai literatur yang sempat saya baca di berbagai buku dan media, kalau sesungguhnya sang bapak bangsa juga pencinta kopi. Dirinya seakan tidak pernah lepas dari minuman hitam pahit ini. Racikan satu sendok bubuk kopi dengan setengah sendok teh untuk takaran gulanya, tidak pernah alpa tiap pagi.
Ir. Soekarno membiasakan hal demikian bukan tanpa alasan. Ia merasakan bahwa dengan ngopi pagi, ialah sarana bagi dirinya agar bisa lebih fokus lagi terhadap pekerjaannya sebagai presiden. Sebab ia tahu betul, kalau berbagai keputusan ada di tangannya. Lantas darinya, jika salah sedikit saja, maka bisa runyam satu negara.
Begitulah substansi ngopi zaman dahulu. Orang dulu ngopi bukan untuk perkara tren atau hanya untuk asik-asikan, tapi demi religiusitas dan spirit nasionalisme. Lalu pertanyaannya sekarang, “bisakah kita kembali demi semua substansi tersebut?”
Sungguh negara kita sekarang tidak lagi baik-baik saja kawan! Perkataan Silfester dalam acara Rakyat Bersuara patut sekali diragukan. Sebab kita semua tahu betul, kalau sistem negara Indonesia telah begitu terpuruk. Demokrasi mulai menjelma dinasti. Sehingga betul kata Adian Napitupuluh bahwa, “dari manakah definisi Indonesia baik-baik saja?”
Berbagai oknum telah dibutakan oleh jabatan dan uang. Sehingga kesejahteraan masyarakat mulai digadaikan dengan kelanggengan keluarga. Dikikisnya pilar-pilar negara melalui oknum-oknum pemerintah yang meretakkan sekaligus merapuhkannya.
Lalu siapakah yang akan memperbaiki kerusakan itu, kalau tidak dimulai dari diri kita sendiri. Diskusi menjadi sah satu sarana tepat hari ini, sedangkan kopilah penikmatnya. Hal demikian ialah dalam rangka upanya kita bersama merawat perjuangan para pahlawan terdahulu, mengoreksi masa kini, dan menata masa depan nanti agar lebih baik. Bukan sebagai warga negara kita hanya bisa diam meratapi nasib. Maka berfikirnya secara kritis, sebab pasrah terhadap keadaan adalah kunci terpuruknya sebuah kehidupan.
Lantas melihat realitas saat ini, patutlah kita benahi secara bersama. Ngopi dengan niatan nge-game, pacaran, ghibah, dan lain sebagainya harus mulai kita rubah. Karena mengetahui nilai dari semua tindakan itu hanya menghambat, atau malah sampai mematikan kepedulian kita pada kehidupan.
Layaknya kita tahu, kalau main game di kafe kita dijauhkan terhadap berbagai literatur berita dan keilmuan; pacaran membuat kita menjamah kemaksiatan; ghibah sarana memperburuk keadaan. Begitulah manfaat yang kita lakukan selama ini.
Maka bisakah kita menyadarinya mulai sekarang! Ngopi kita sudah memperburuk keadaan.
Editor: Soleh