Membicarakan Ekonomi dan Globalisasi
Masih relevankah membicarakan Globalisasi, Ekonomi Konstitusi, dan Nobel Ekonomi dalam konteks perekonomian Indonesia pasca Presiden Soeharto lengser?
Buku yang ditulis oleh Hendrawan Supratikno yang gemar akan isu managemen strategik dan Game Theory dari Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini memikat.
Di buku ini juga akan diulas, apa itu Game Theory dan bagaimana hubungannya dengan makroprudensial yang sedikit dibicarakan di ulasan–ulasan ekonomi yang ada. Padahal, tidak kalah penting.
Sekarang ia berkarir di partai PDI-P (Dewan Pakar Megawati Institute) yang juga merangkap Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR-RI. Analisis dan pengalamanya di berbagai komisi terkait keberadaan ekonomi konstitusi (baca: Ekonomi Pancasila) terkini di tahun 2021 bukan kaleng – kaleng.
Apakah Globalisasi Sudah Selesai?
Hendrawan menantang para pembaca dengan pertanyaan, apakah globalisasi sudah selesai? buruk atau baik bagi negara maju dan Indonesia khususnya? Ia memaparkannya dengan lugas baik yang proponen dan kontra.
Dari perdebatan Mubyarto dengan Arief Budiman mengenai filsafat Ekonomi Pancasila yang tidak empiris sampai pendapat Mohammad Chatib Basri terkait peran idiologi dalam Ekonomi Pancasila di era jayanya Orde Baru. Dengan slogannya yang terkenal “simpan nasionalismemu”
Kinerja Perekonomian Indonesia
Di buku ini juga dijelaskan bagaimana kinerja perekonomian Indonesia dibanding Vietnam, China yang sedang menggeliat bagaikan gerak ular naga di Asia dan Asia Tenggara khususnya. Di mana Vietnam sering disebut media nasional Indonesia berindikator ekonomi baik.
Menggunakan daya tahapan saing oleh Michael E Porter (1989), Hendrawan mengklasifikasikan faktor – faktor produksi yang belum optimal dan sejauh mana posisi Indonesia dengan sistem Ekonomi Pancasilanya bersaing dengan negara tetangga.
Sehingga, pembaca bisa merenungkan urgensi UU Cipta Kerja kemarin yang berpolemik di publik.
Beberapa Pertanyaan yang Diajukan
Di satu kesempatan, seminar daring melalui zoom, tertanggal 10 Mei 2021 yang diadakan oleh Perpustakaan Bank Indonesia Institute, saya yang hadir sebagai peserta mencoba menanyakan terkait pernyataan Hendrawan di buku ini.
- Bahwa dalam sistem kapitalisme, di pasar tidak ada belas kasihan dan tidak ada romantisme. Singkatnya, pasar itu kejam dan ia menyetujui bahwa pasar harus bebas karena ada invisible hand. Apakah value ini baik jika diadopsi oleh suatu negara yang berazaskan sosialisme?
- Bagaimana peran pemerintah Indonesia di kedepannya dalam mengawasi globalisasi yang ada karena menurut Joseph Stiglitz: “bukan globalisasi yang salah lebih kepada bagaimana memanajemeni globalisasi”. Apakah condong ke Konsensus Washington atau Konsensus Beijing seperti yang ditiru oleh Raul Castro sepeninggal Fidel Castro pemimpin karismatik Cuba?
Hendrawan menerangkan soal ini bahwa, menurut Deidre McCloskey “capitalism is altruistic, not in intent but in result. Kapitalisme dalam teknologi olah data lebih unggul dibanding sosialisme”.
Namun menurut peserta lain jawaban Hendrawan kurang memuaskan terkait invisible hand itu sendiri. Contohnya, Amerika yang mendengungkan konsep pasar bebas ini, perekonomian dalam negerinya penuh dengan UU yang mengatur iklim persaingan dan subsidi yang bagus dibanding negara dunia ketiga.
Dan militer Amerika berperan secara visible hand itu sendiri dalam hubungannya secara eksternal dengan negara–negara lain sehingga ekonomi internalnya terjaga equibliriumnya selain teknologi yang sudah maju dalam menyediakan barang dan jasa.
Menciptakan Iklim Persaingan
Singkatnya, dalam menghadapi globalisasi, Hendrawan setuju ada peran pemerintah yang juga harus bermain dalam menciptakan iklim persaingan di era disrupsi ekonomi dan majunya kecerdasan buatan atau Artifisial Intelegence (AI) di masa depan.
Indonesia harus mengejar soal ini. Terutama untuk mengukur aspek ketimpangan dan pemerataan, Hendrawan dan kawan – kawan tak jemuh mengusulkan ke Badan Pusat Statistik (BPS) agar mendalami alat ukur Indeks Palma yang dicetuskan ekonom Chili disanding dengan Indeks Koefisien Gini yang ada.
Indeks Gini selama ini hanya sensitif terkait aspek pengeluaran dari kelas menengah dari suatu piramida, tidak menyentuh strata ekonomi bawah.
Membaca buku ini ada baiknya juga disandingkan dengan buku Pengantar Ekonomi Pembangunan (Sanusi, Bachrawi:2004) dan Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986 – 1992 (Mallarangeng, Rizal: 2008). Agar pembaca dapat mengikuti kesejaharaan perekonomian dari zaman ekonomi dualisme Boeke masuk ke era kemerdekaan sampai ke Soeharto dengan berkah boom oil-nya dan bagaimana deviasi Ekonomi Pancasila itu sendiri baik sebelum dan sesudah amandemen.
Kritik Terhadap Buku
Sayangnya, Hendrawan kurang mengekplorasi secara data terkait tantangan riil perekonomian seperti ekonomi biaya tinggi, peran buruh, dan ketergantungan akan impor dan oligarki ekonomi – politik di masa partai yang menaungginya berkuasa sebagai pemenang pemilu.
Namun, Hendrawan mensyukuri terlepas dari tantangan masyarakat yang semakin liberal dan individualistis, Indonesia masih masuk negara yang beruntung karena memilliki Pancasila.
Tapi kritik fisikawan yang menulis sosial, Liek Wilardjo, patut dipertimbangkan bahwa “nasionalisme tanpa civic duty tidak jadi apa –apa. Jerman berhasil membuat mobil Volks Wagen (VW) sedangkan nasionalisme Indonesia tidak menghasilkan barang ekonomi” dan seperti Jepang dapat mengekspor jam merek Seiko keluar negeri. Ekonomi bukanlah ranah yang bebas nilai dia sedikit banyak ditentukan oleh keputusan dari siapa yang berkuasa saat itu. Seperti yang ditulis oleh Budiman Sujatmiko dalam kata pengantar, “bahwa sejarah ditulis oleh pemenang”.
Seorang sahabat berceletuk bahwa Hendrawan adalah akademisi, jadi jika mengharap menulis lebih praktis mengenai soal – soal riil ekonomi biaya tinggi di sitem Pancasila dan siapa aktornya, kemungkinannya kecil namun sebagai wakil rakyat yang sedang memasuki masa reses menulis buku untuk berdiskusi dengan publik patut di apresiasi di tengah indeks persepsi masyarakat terhadap kinerja wakil rakyat yang entah. Yang pasti buku ini bukan kaleng – kaleng. Selamat membaca.
Editor: Yahya FR