Secara psikologis, manusia dihinggapi kegelisahan, kegamangan, maupun kegalauan yang membuatnya tertatih-tatih melakoni diri sebagai manusia. Hal tersebut terjadi karena ia belum mampu menunaikan hakikat kemanusiaannya.
Ritual hidup bukan hanya sekadar lahir, menikah, punya anak, harta benda/kekayaan, tua-renta dan mati. Siklus hidup pun tidak hanya untuk makan, minum, bekerja, tidur, bangun, mandi, dan buang hajat. Akan tetapi, hidup adalah cara Allah mengajarkan manusia tentang autentisitas kemanusiaannya dalam hidup. Kesadaran itulah yang menjadikan manusia tahu diri, sadar diri, dan dapat memposisikan dirinya dalam pentas kehidupan ini.
Semua manusia akan berproses menjadikan dirinya sebagai manusia autentik yang cenderung pada kebaikan dan kebenaran (hanif), sebagaimana saat dirinya dijadikan Allah serta saat perjanjian premordialisme di alam rahim dahulunya. Manusia terlahir bukan hanya sebagai manusia jasmaniah saja, tapi dia adalah manusia rohaniah, yang mengetahui dari mana ia berasal, sedang di mana ia sekarang, dan ke mana ia akan pergi.
Pemahaman kita tentang kemanusiaan tidak cukup hanya sebatas kesadaran pengetahuan (IQ atau Ilmi), tanpa dibarengi dengan kesadaran keyakinan (SQ atau Imani) dan kesadaran perilaku (PQ atau amali). Penyerasian dan penyelarasan kesadaran ilmi-imani-amali merupakan langkah “spiritual baru” pasca-kegamangan dan kegalauan kemanusiaan manusia (mirip new normal pasca-covid 19).
Emansipasi kemanusiaan transedentel adalah tindakan progres yang “melampaui” sekat suku, bahasa, agama, jenis kelamin, profesi, negara, partai, peristiwa, suasana, dan identitas serta entitas lainnya.
Spirit Emansipasi Kemanusiaan Transendental
Spirit emansipasi kemanusiaan transedentel merupakan sinyal langit Ilahiah yang terpantul ke bumi-Nya serta pencerahan Sang Pembawa Risalah Cinta Agung, Rasulullah Saw dalam menuntun umatnya ke jalan keselamatan. Adapun spirit emansipasi kemanusiaan transedentel adalah:
Pertama, manusia adalah “mandataris” Tuhan di bumi-Nya. Kehadiran manusia di bumi-Nya bukan hanya sekedar lahir, menikah, punya anak, harta benda/kekayaan, tua-renta, dan mati. Siklus hidup pun tidak hanya untuk makan, minum, bekerja, tidur, bangun, mandi, dan buang hajar. Kehadiran manusia di bumi-Nya adalah sebagai khalifah atau pemimpin yang melaksanakan ‘mandat’ dari Allah Swt. Hal ini seperti dijelaskan Sang Maha Cinta Agung dalam firman qudus kesunyiannya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah {2}: 30)
Ini merupakan kesadaran imani (SQ), bahwa manusia punya tanggung jawab ketuhanan dan kemanusiaan kepada Allah Swt sebagai Tuhannya dan kehidupan kemanusiaannya.
***
Kedua, manusia harus menggunakan rasio/akal dalam menata kemanusiaan universal. Alam semesta dijadikan Allah Swt merupakan media pembelajaran bagi manusia; organ tubuh, seperti: detak jantung, denyut nadi, helaan nafas, penglihatan, pendengaran pita suara, darah, hati, kaki, tangan, sampai pada syaraf yang paling halus, merupakan cara Allah mengenalkan diri-Nya pada manusia, serta menjadi sarana pendidikan bagi manusia untuk menemukan hakikat kemanusiaannya. Ini pula yang terkandung dalam firman qudus kesunyiannya Sang Maha Cinta Agung yang menjelaskan:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (190) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka (191). (QS. Ali Imran {3}: 190-191)
Ayat di atas merupakan kesadaran ilmi (IQ), bahwa pada realitas alam semesta menjadi sarana manusia mengenal kebesaran Tuhan dan membaca realitas sosial, budaya, politik, ekonomi, dan ideologi yang menyelamatkan atau yang menghancurkan kemanusiaan manusia dalam kehidupan kemanusiaannya.
Ketiga, manusia menjadi motivator dan eksekutor dalam menyelesaikan problem kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan adalah berwujud welas asih, yakni, menebarkan rasa cinta-kasih-sayang kemanusiaan kepada semua makhluk Allah, baik flora maupun fauna. Apalagi sesama manusia ciptaan Tuhan.
Hal ini dijelaskan oleh Sang Pembawa Risalah Cinta Agung dalam sabdanya: “Ar-rahimuna yarhamuhum al-Rahmanu, irhamu man fi al-ardli yarhamukum man fi al-samai.” Artinya: “Orang-orang yang mengasihi makhluk mereka dikasihisayangi Tuhan Yang Maha Rahman, sayangilah siapa yang ada di bumi supaya engkau disayangi yang ada di langit.” (HR. At-Thabrani).
Ini merupakan kesadaran amali (PQ), bahwa setiap manusia harus menunjukkan sikap welas asih dan empati pada kemanusiaan. Sikap welas asih dan empati pada kemanusiaan merupakan wujud mencari welas asih dan empati dari Allah Swt.
***
Keempat, semua realitas dan setiap peristiwa di alam raya yang dilalui manusia merupakan cara Allah menyempurnakan karater kehanifan manusia (rindu kebaikan dan cinta kebenaran). Seperti firman Qudus Sang Maha Cinta Agung:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al–Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Al-Fushshilat {41}: 53).
Ini mensinergikan kesadaran imani (SQ), kesadaran ilmi (IQ), dan kesadaran perilaku (PQ), bahwa segala kejadian, peristiwa dan realitas alam semesta, serta yang ada pada diri manusia itu sendiri merupakan cara Tuhan menunjukkan kekuasaan-Nya. Apabila manusia mampu mensinergikan kesadaran imani-ilmi-amali tentu dirinya memiliki karakter hanif.
Dari penjelasan di atas, dapat kita ambil konklusinya, bahwa di era pasca Covid-19, sangat dibutuhkan new normal. Untuk membangun kedisiplinan kita dalam normal baru, seharusnya dimulai dari “spiritual baru”. Yakni mensinergikan kesadaran imani-ilmi dan amali. Kesadaran imani-ilmi-amali merupakan spirit emansipasi kemanusiaan trandesentel dalam mengelola hidup pasca Covid-19 dan menjadi “spiritual baru” dalam memahami dan menjalani ibadah ritual dan ibadah sosial-kemanusiaan, sehingga akan terbentuk karakter kehanifan; rindu kebaikan dan cinta kebaikan: itulah, emansipasi kemanusiaan transedentel. Wallahua’lam bishshawab.
Editor: Yahya FR