Meskipun ada empat jenis kebodohan yang bisa kita kenal, pada prinsipnya Islam itu agama yang sangat menghargai akal. Islam adalah agama yang mengedepankan pemikiran-pemikiran yang rasional, dalam diktum keislaman bahwa agama itu adalah akal dan tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.
Dalam konsep Al-Qur’an sangat banyak ditekankan prinsip prinsip agar manusia memanfaatkan fasilitas yang sudah diberikan oleh Tuhan yakni akal. Itulah modal yang sangat berharga yang dititipkan oleh Tuhan kepada manusia. Namun manusia kurang memanfaatkan fasilitas tersebut.
Kebodohan dan Kesempurnaan Manusia
Ini terbukti karena Al-Qur’an banyak menggunakan term seperti “Afala ta’kilun, afala tatadabbarun” dan istilah lainnya. Sindiran-sindiran Tuhan itu supaya manusia tertarik untuk memanfaatkan akalnya demi untuk mengangkat derajat manusia sebagai makhluk yang tertinggi diantara makhluk makhluk Tuhan lainnya.
Ketika manusia memaksimalkan potensi akalnya, niscaya akan terangkat derajatnya. Demikian sebaliknya ketika manusia mengabaikan akalnya manusia akan terpuruk derajatnya sebagai manusia. Agama akan sempurna ketika manusia memaksimalkan penggunaan akalnya, dan agamanya akan minus ketika manusia tidak memanfaatkan penggunaan akalnya.
Manusia adalah makhluk yang beragama, sudah ada benih benih keagamaan dalam diri manusia. Namun demikian agama ini akan redup bilamana fasilitas yang lain diberikan oleh Tuhan tidak dimanfaatkan untuk menopang eksistensi agama. Salah satunya adalah memanfaatkan akal sebagai penyempurna dari agama.
Di situlah letak kesempurnaan manusia dibandingkan makhluk lainnya, manusia punya kecedasan intelektual yang sangat luar biasa. Ketika malaikat mengadu kepada Tuhan, pada waktu Tuhan akan menciptakan manusia, malaikat merasa terganggu tentang rencana Tuhan tersebut karena selama ini malaikat sudah sangat sempurna mengabdi kepada Tuhan. Malaikat pun mempertanyakan kenapa menciptakan lagi makhluk yang mungkin akan membuat permasalahan di dunia.
Tuhan memberikan jawaban bahwa malaikat akan mengetahui setelah manusia diciptakan. Jadi ilmu malaikat itu tidak bisa memprediksi masa depan karena fasilitas malaikat terbatas dalam melihat jauh kedepan. Di situlah rahasianya kenapa Tuhan menciptakan manusia karena akan mendapatkan kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh malaikat.
Kelebihan Manusia
Tuhan pun membuktikan setelah menciptakan manusia. Tuhan menguji kedua makhluk tersebut, dan Tuhan mengajukan pertanyaan kepada malaikat dan malaikat tidak mampu menjawabnya. Sedangkan manusia dapat menjawab dengan sempurna pertanyaaan-pertanyaan dari Tuhannya.
Di sinilah manusia harus menyadari betapa banyaknya fasilitas yang mereka nikmati yang sudah terinstal dalam dirinya. Manusia tinggal menggali fasilitas yang sudah ada dalam dirinya. Namun demikian betapun banyaknya fasilitas, manusia juga punya kelemahan kelemahan yang mereka miliki. Di antaranya tergesa gesa, suka mengeluh, tidak sabar, egois, mudah tergoda, dan berbagai penyakit hati yang sering tidak disadarinya.
Kalau kita merujuk kepada kisah Adam dan Hawa betapa luar biasanya kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada Adam dan Hawa. Tapi toh keduanya terpeleset juga dengan janji iblis yang begitu menggiurkan. Di sini kita bisa melihat betapa manusia itu mudah tergoda dengan hal yang sifatnya sesaat.
Dalam surah Al Tin disebutkan, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya, kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah rendahnya.”(QS.95.4-5). Ayat ini dapat dijadikan dasar bahwa manusia itu punya kelebihan fisik, psikis, akal, dan hati nurani. Tetapi kalau manusia tidak memfungsikan fasilitas-fasilitas di atas maka akan jatuh ke tempat yang serendah-rendahnya, yakni neraka.
Radio Dua Band
Penafsiran fii ahsani takwim atau bentuk yang sebaik baiknya, bisa kita gunakan dua pendekatan yaitu pendekatan eksoterik dan pendekatan esoterik. Pendekatan eksoterik lebih berorientasi secara fisik bahwa manusia dari segi fisik sangat mengagumkan di banding dengan makhluk yang lain. Kemudian pendekatan esoterik lebih berorentasi psikis, mengupas manusia dari sisi dalam, bahwa manusia itu punya nurani.
Dengan mencermati pemaparan diatas, menurut Jalaluddin Rakhmat, cendekiawan muslim garda depan dalam salah satu bukunya, manusia adalah “radio dua band“. Mampu menangkap gelombang panjang dan juga gelombang pendek. Ia mampu menangkap hukum hukum alam di balik gejala gejala fisik yang diamatinya, tetapi ia juga mampu menyadap isyarat isyarat gaib dari alam yang lebih luas lagi.
Bila satu potensi dikembangkan luar biasa sedangkan potensi lain dimatikan, manusia menjadi makhluk yang bermata satu. Disitulah kesempurnaan manusia dibanding dengan makhluk yang lain, dia punya dua senjata yang ampuh. Namun demikian sekali lagi bahwa jika potensi-potensi tidak dikembangkan dengan baik, manusia akan stagnan sama seperti makhluk makhluk yang lain.
Bahkan dinformasikan dalam Al-Qur’an, bahwa manusia bisa lebih rendah dari binatang, karena mereka tidak memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Atau dalam bahasa sufi bahwa manusia itu bisa terperangkap dalam kategori jahil murakkab.
Empat Jenis Kebodohan
Berkaitan dengan pengetahuan dan kebodohan menurut kaum sufi, manusia memiliki empat jenis kebodohan:
Pertama, Laa yadri wa yadri annahu laa yadri (orang yang tidak tahu, dan tahu bahwa dia tidak tau). Ini orang yang bodoh sederhana, mudah diobati dengan pengajaran dan pendidikan.
Kedua, Yadri wa laa yadri annahu yadri (orang tahu, dan dia tidak tahu bahwa dia tahu). Orang ini tertidur, maka dia harus dibangunkan dan disadarkan akan kelebihannya dan bisa bermanfaat untuk orang lain.
Ketiga, Yadri wa yadri annahu yadri (orang yang tau dan dia tahu bahwa dia tahu). Ini tergolong kaum bijaksana, yang perlu menjadi rujukan.
Keempat, Laa yadri wa laa yadri annahu laa yadri (orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu). Inilah yang disebut bodoh kuadrat, karena selain bodoh juga tidak tahu akan kebodohannya sendiri.
Ungkapan empat jenis kebodohan kaum sufi ini dikutip dari salah satu buku Cak Nur, Pintu-pintu Menuju Tuhan. Semoga kita terhindar dari kebodohan-kebodohan seperti ungkapan sufi diatas.
Editor: Nabhan