Hadis

Empat Metode Para Orientalis dalam Melacak Hadis

4 Mins read

Para pengkaji dan kritikus barat berbeda-beda dalam menetapkan sebuah teori dan metode penanggalan hadis sesuai dengan disiplin ilmu mereka. Untuk melacak dan mengkaji penanggalan hadis, Harald Motzki telah mengklasifikannya ke dalam empat metode yaitu: pertama, menggunakan matan. Kedua, menggunakan sanad. Ketiga, menggunakan tradisi. Keempat, menggunakan sanad dan matan.

Penanggalan Hadis dengan Metode Matan

A. Ignaz Goldziher

Salah satu pelopor yang terkenal dengan teori penanggalan hadis berdasarkan matan ialah Ignaz Goldziher. Hal ini terlampir di dalam karyanya Muhammedanische Studien (1980). Beliau menyatakan bahwa hadis merupakan cerminan dari doktrin dan politik yang berkembang beberapa abad setelah Nabi Saw wafat.

    Dengan demikian, cakupan hadis sebagai sumber sejarah Islam pada masa awal terbatas pada konteks periode Dinasti Umayyah serta Kekhalifahan ‘Abbasiyah, dan bukan untuk menguraikan penjelasan mengenai konteks pada generasi sebelumnya. Guna mendukung pendapat ini, Goldziher menyusun serangkaian argumen yang disebut oleh Motzki dengan model penanggalan umum.

    Secara garis besar, argumen-argumen umum dari Goldziher mengacu pada konteks sosial, politik, dan keagamaan umat Islam di fase awal perkembangannya, yang mana konteks-konteks ini mendorong kelompok tertentu untuk memproduksi dalil-dalil bagi pemikiran dan tindakan mereka berdasarkan keterangan yang diklaim sebagai sabda dan perilaku Nabi Muhammad.

    ***

    Selain merumuskan argumen penanggalan umum, Goldziher juga memformulasikan metode dalam penentuan waktu kemunculan hadis-hadis tertentu berdasarkan empat prinsip metodologis: (1) anakronisme pada matan hadis menunjukkan bahwa hadis tersebut muncul belakangan atau tidak memiliki kesesuaian waktu dengan substansi riwayat; (2) hadis-hadis yang menunjukkan perkembangan substansi pada era berikutnya memiliki usia yang lebih muda ketimbang substansi yang kurang berkembang; (3) riwayat yang menggambarkan Nabi atau umat Islam pada zamannya dalam situasi yang kurang menguntungkan merupakan laporan yang autentik; dan (4) laporan tentang perselisihan yang terjadi  di internal umat Islam boleh jadi menunjukkan inti sejarah.

    Meski begitu, bukan berarti dia serta merta dalam menolak seluruh hadis. Ia percaya bahwa hadis memang telah ada sejak zaman Islam dating, karena kecakapan para sahabat dalam menjaga perkataan dan perbuatan Nabi setelah ia wafat yang ditulis dan disimpan dalam beberapa shuruf yang selanjutnya diturunkan dari zaman ke zaman.

    Baca Juga  Beberapa Macam dan Fungsi Asbabul Wurud dalam Hadis

    B. Marston Speight

    Speight menyusun empat tahap analisis penanggalan berdasarkan matan, yang terdiri dari: (a) menyusun suatu kumpulan yang berasal dari versi-versi riwayat yang dianggap berkaitan dengan topik yang ditelaah; (b) menyusun ulang berdasarkan kompleksitas matannya; (c) menganalisis setiap teks dengan memperhatikan tingkat perkembangannya, kepaduan pada tiap-tiap unsur, serta indikasi-indikasi di dalam gaya serta kosakata yang tampak lebih awal; dan (d) menyusun klasifikasi teks dari perspektif hubungan antar isi.

    Speight menguji coba metode analisis bentuk ini ke dalam bidang kajian keislaman, khususnya hadis, dengan asumsi bahwa setiap jenis matan merupakan bagian dari suatu tradisi lisan sebelum hadir dalam bentuk tertulis.

    Penanggalan Hadis dengan Metode Sanad

    Joseph Schacht

    Menurut Motzki, tidak memungkinkan membicarakan metode penanggalan hadis dengan basis sanad tanpa Schacht. Sumbangsih Schacht dalam metode ini ialah dengan teori common link dalam jejaring sanad hadis.

    Teori ini menyimpulkan bahwa periwayat yang berada pada struktur common link merupakan pengarang hadis yang menyusun simulasi transmisi riwayat dalam bentuk sanad fiktif kepada kelompok generasi sebelumnya. Meski tidak berlaku umum, rangkaian sanad kerap memperlihatkan perluasan cakupan jumlah periwayat yang berada pada level generasi di bawah periwayat common link.

      Schacht menindak lanjuti teorinya tentang common link dengan merumuskan lima kaidah untuk menentukan penanggalan hadis, antara lain (a) sanad yang paling lengkap adalah sanad yang muncul belakangan; (b) jika salah satu riwayat hadis memiliki sanad yang berhenti pada generasi Tabiin, sementara yang lainnya mencapai generasi Sahabat, maka sanad yang terakhir bersifat sekunder; (c) variasi sanad yang muncul pada sumber-sumber berikutnya dengan disertai tambahan periwayat adalah buatan; (d) keberadaan periwayat yang diketahui sebagai common link yang penting pada keseluruhan atau sebagian sanad merupakan indikasi kuat bahwa hadis dibuat pada waktu common link tersebut; dan (e) variasi-variasi sanad yang tidak menyebutkan atau melompati generasi common link adalah kecenderungan yang muncul belakangan.

      Baca Juga  Pandangan Asy-Syafi’i Terhadap Khabar ‘Am (Mutawatir) & Khabar Khas (Al-Wahid)

      Fuat Sezgin

      Sarjana terakhir yang turut mengupayakan rekonstruksi sumber berdasarkan sanad adalah Fuat Sezgin. Menurut Harald Motzki, metode yang digunakan oleh Sezgin adalah: (a) menyusun sanad yang terdapat di dalam literatur hadis kanonik dimulai dari periwayat yang paling muda; dan (b) sanad-sanad yang berasal dari para periwayat yang masih muda serta paling sering disebutkan oleh kompilator dan penyusun literatur hadis, seperti al-Bukhari, perlu diberikan analisis lebih lanjut untuk menemukan nama periwayat yang paling sering dikutip. Bila ditemukan, maka periwayat yang paling umum itulah yang layak disebut sebagai sebagai pembuat hadis.

      Penanggalan Hadis dengan Metode Tradisi

      1. Joseph Schacht

      Joseph Schacht merupakan pionir yang menerapkan metode ini. Schacht mengimplementasikan argumen e silentio yang juga merupakan salah satu bagian dari kritik sumber sejarah dalam rangka penentuan kredibilitas sumber. Hal tersebut bertujuan untuk meyakinkan tidak adanya beberapa riwayat pada literatur hadis.

      Shahih atau tidaknya suatu hadis ditelusuri dengan melihat adanya hadis tersebut pada masa tertentu. Juga dapat dilihat dari penggunaan hadis tersebut apakah digunakan dalam diskusi yang legal ataupun dijadikan referensi dalam menerapkan suatu kebijakan hukum.

        Salah satu contoh argumen e silentio yang disebutkan oleh Schacht adalah pendapat Abu Yusuf yang mengikuti opini ‘Ata` berdasarkan apa yang didengarkannya dari Hajjaj bin Artat. Dengan demikian, tokoh yang menjadi sumber utama dalam kasus ini adalah Artat.

        Akan tetapi, pendapat ini justru ditampilkan sebagai riwayat yang bersumber dari Nabi Muhammad pada masa al-Syafi’i. Bagi Schacht, argumen seperti ini juga memiliki basis di dalam tradisi kesarjanaan Muslim, seperti yang terbaca di dalam pendapat al-Syaybani tentang ketiadaan opini hukum yang boleh jadi diproduksi oleh orang-orang Madinah sebagai basis doktrin mereka.

        Baca Juga  Kala Orientalis Meragukan Keotentikan Al-Qur'an, Begini Jawaban Logis dari Ulama Muslim

        2. G.H. Juynboll

        Metode yang berlandaskan pada argumen e silentio yang diintroduksi oleh Schacht kemudian dikembangkan secara ekstensif oleh Juynboll melalui dua tahapan metode penanggalan: Menelaah koleksi-koleksi yang berasal dari Hijaz, Mesir; dan dari Irak.

        Dalam kajian ini, Juynboll menggunakan sumber-sumber cetak yang lazim dalam tradisi kesarjanaan Islam, seperti Musnad karya Abu Hanifah, Muwatta karya Malik, dan Musnad karya al-Syafi’i.

        Penanggalan Hadis dengan Metode Matan dan Sanad

        Dalam penilaian Reinhart, Motzki merupakan sarjana yang secara spesifik memperkenalkan istilah isnad-cum-matan sebagai metode penanggalan hadis. Motzki menjelaskan bahwa, tidak ada ketentuan terkait aspek mana yang harus didahulukan dalam penerapan metode ini. Isnad-cum-matan dapat dimulai dari investigasi sanad atau matan hadis. Bila dimulai dari sanad, maka disebut dengan isnad-cum-matan. Adapun bila diawali dengan analisis matan, maka metode ini disebut matan-cum-isnad. Secara spesifik, metode isnad-cum-matan terdiri dari:

        1. Pengumpulan semua variasi hadis yang menjadi topik penelitian;
        2. Bundel sanad disusun ke dalam bentuk diagram untuk mendapatkan gambaran jalur transmisi hadis sekaligus menemukan common link atau common link parsial. Beda dengan Schacht dan Juynboll, Motzki dalam metode penelitian sejarah berpendapat bahwa periwayat yang berada di posisi common link bukan merupakan pemalsu, melainkan seorang yang mengambil inisiatif untuk mengkoleksi dan menyebarkan hadis secara professional.
        3. Common link diperiksa lewat analisis matan dengan cara mengumpulkan varian matan di dalam jalur periwayatan yang berbeda guna menemukan bentuk perbandingan secara ringkas. Variasi-variasi sanad dan matan dibandingkan untuk melihat apakah ada korelasi antara keduanya
        4. Kesimpulan analisis dirumuskan berdasarkan korelasi yang ditemukan pada tahap sebelumnya dengan menunjukkan matan orisinil yang ditransmisikan oleh common link berikut periwayat yang bertanggung jawab terhadap perubahan yang muncul pada level setelah common link. Bagi Motzki, kekuatan di dalam kesimpulan penanggalan hadis dengan metode isnad-cum-matan sangat ditentukan oleh banyaknya varian-varian sanad dan matan yang dapat dikumpulkan dan dianalisis.

        Editor: Soleh

        Manahara Alamsyah Lubis
        1 posts

        About author
        Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Konsentrasi Hadis Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
        Articles
        Related posts
        Hadis

        Transmisi Hadits Era Tabi’in

        4 Mins read
        Pengetahuan tentang proses penyebaran hadits menjadi sangat penting, mengingat rentang waktu antara umat dengan Nabi-nya. Akan tetapi keterbatasan ruang dan waktu tersebut…
        Hadis

        Sunan Asy-Syafi'i, Kitab Hadis yang Ditulis Langsung oleh Imam Syafi'i

        2 Mins read
        Tentang Kitab Sunan Syafi’i Sesungguhnya kitab As-Sunan karya Imam Asy-Syafi’i ditulis langsung oleh beliau. Kitab Sunan ini merupakan kitab yang terbilang “…
        Hadis

        Hadis Daif: Haruskah Ditolak Mentah-mentah?

        4 Mins read
        Dalam diskursus kajian hadis, masalah autentisitas selalu jadi perhatian utama. Bagaimana tidak, dalam konstruksi hukum Islam sendiri menempatkan hadis pada posisi yang…

        Tinggalkan Balasan

        Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

        This will close in 0 seconds