Oleh: Azaki Khoirudin
Ian G. Barbour adalah seorang ilmuwan yang menekuni bidang sains dan agama. Barbour lahir di Beijing tahun 1923. Ayahnya ahli geologi asal Skotlaindia, sementara ibunya berasal dari Amerika. Pada usia 20 tahun Barbor lulus S1 di Swartmore College, lalu S2 ke Universitaas Duke, dan Ph.D di Universitas Chicago tahun 1949.
Mulai tahun 1955 Barbour mengajar di Carleton College, Minnesota. Barbour mengajar fisika, juga membantu mendirikan jurusan agama di lembaga tersebut. Aktifitas theologinya mulai menonjol sejak tahun 1966, terutama sejak buku pertamanya terbit yang berjudul Issue in Science and Religion yang diterjemahkan Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama. Bandung; Mizan, 2002.
Empat Hubungan Agama dan Sains
Berangkat dari fenomena hubungan sains dan agama tidak pernah harmonis, mendorong Barbour ilmuwan bidang fisika dan teologi ini membuat teori hubungan antara sains dan agama. Barbour (2002: 55-56) mengelompokkan hubungan sains dan agama ke dalam empat hal yaitu konflik, independen, dialog, dan integrase
Pertama, Konflik. Pandangan ini memandang sains dan agama sebagai dua kutub yang bertentangan. Barbour menjelaskan bahwa paradigm ini berpandangan seorang ilmuwan tidak akan begitu saja percaya pada kebenaran sains. Agama dinilai tidak mampu menjelaskan dan membuktikan kepercayaannya secara empiris dan rasional.
Dengan demikian para saintis beranggapan bahwa kebenaran hanya bisa diperoleh melalui sains bukan oleh agama. Sebaliknya para agamawan beranggapan bahwa sains tidak punya otoritas untuk menjelaskan semua hal karena keterbatasan akal sebagai instrumen sains yang dimiliki oleh manusia (Barbour, 2002:75). Pada intinya, agama dan sains tidak bisa bertemu dan didamaikan dalam menjelaskan kehidupan.
Kedua, independensi. Pandangan ini menganggap bahwa agama dan sains memiliki wilayah yang berbeda dan berdiri sendiri, maka tidak perlu adanya dialog antara keduanya. Pandangan ini adalah cara yang dipakai untuk memisahkan konflik antara sains dan agama, jalan keluarnya dengan sendiri-sendiri, tetapi tidak ada dialog.
Menurut paradigm ini sains mengajukan pertanyaan “bagaimana”, sementara agama menyodorkan pertanyaan “mengapa”. Dasar otoritas sains adalah koherensi logis dan kesesuaian eksperimental, sementara dalam agama berasal dari Wahyu. Sains bersifat prediktif, sementara agama cenderung menggunakan bahasa simbolis dan analogis bersifat transendental.
Ketiga, dialog. Pandangan ini memahami bahwa ada keterkaitan antara sains dan agama, sehingga keduanya bisa didudukkan bersama untuk saling mendukung, berdiskusi, menguatkan dan mempengaruhi untuk membicarakan problem kehidupan. Pandangan ini menawarkan adanya hubungan komunikatif yang bersifat konstruktif antara sains dan agama. Sains dan agama memiliki kesamaan yang bisa didialogkan bahkan bisa saling mendukung satu sama lain.
Dalam dialog antara sains dan agama mengajukan alternatif kerjasama dengan adanya batasan pertanyaan dan paralelitas metodologis. Dalam menghubungkan agama dan sains pandangan ini diwakili oleh Albert Einstein yang mengatakan “Religion without science is blind, science without religion is lame”.
Keempat, Integrasi. Pandangan ini menyatakan bahwa agama dan sains dapat menyatu dan berpadu menyelesaikan masalah kehidupan. Model ini mengambil dialog dan percakapan lebih jauh dan berpendapat bahwa kebenaran sains dan agama dapat diintegrasikan ke dalam “keseluruhan” yang lebih lengkap atau penuh serta holistik.
Menurut Barbour dalam upaya integrasi antara sains dan agama terdapat tiga versi yaitu : 1. natural theology,2. theology of nature, dan 3. systematic synthesis. Dalam natural theology menurut Barbour eksistensi Tuhan dimanifestasikan dari wujud dan desain alam. Wujud dan desain alam yang sedemikian indah, rapih dan menakjubkan akan semakin membuat kesadaran akan keberadaan Tuhan.
Hasan Baharun (2002:93) mengutip pendapatnya Thomas Aquinas dalam bukunya Barbour bahwa sifat Tuhan bisa diketahui hanya dari wahyu, sedangkan eksistensi Tuhan yang sebenarnya hanya bisa diketahui dari nalar. Dalam natural theology tersebut semua yang ada di alam ini baik itu bentuk, tata tertib/hukum alam, dan keindahan serta kompleksitas alam mendukung adanya grand design dibalik semua itu.
Sementara itu theology of nature doktrin agama di formulasikan untuk pemahaman ilmiah yang sudah mapan. Dalam versi ini beranggapan masih terdapat doktrin agama yang bertentangan dengan sains, sehingga perlu adanya reformulasi berdasarkan teori yang ada saat ini. Seperti doktrin tentang asal usul manusia harus memperhatikan rumusan sains mutakhir. Penyelarasan pemahaman sains dengan agama perlu adanya penyesuaian dan modifikasi yang lebih besar dari sebelumnya (Barbour, 2002:84).
Sedangkan systematic synthesis merupakan integrasi yang lebih sistematis yang bisa dilakukan apabila sains dan agama memberikan arah baru bagi dunia yang lebih koheren yang digabungkan dalam kerangka metafisika yang lebih komprehensif. Sederhananya versi ini memformulasikan kerangka baru dalam upaya memberikan kontribusi yang lebih kepada sains dan agama. Dengan begitu, sains dan agama bisa saling memberikan kontribusi pandangan yang mampu memberikan alternatif.
Berdasarkan keempat hubungan sains dengan agama menurut perspektif Barbour di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sains dengan agama masih bisa bertemu dalam satu titik. Di mana hubungan tersebut bersifat dialog dan integrasi. Pandangan ini lebih bisa diterima, karena agama dan sains bisa saling menguatkan antara keduanya. Karena untuk memahami dan menanamkan keyakinan yang kuat akan eksistensi Tuhan juga diperlukan nalar kritis terhadap wujud dan desaign alam ini.