Jamal al-Banna atau Ahmad Jamaluddin Abdurrahman al-Banna (1920-2013), seorang pemikir Islam yang lahir pada tanggal 15 Desember 1920. Ia adalah adik bungsu dari Hasan al-Banna pendiri Ikhwanul Muslimin. Kendati demikian, dalam konteks pemikiran keduanya sangatlah berbeda.
Jamal al-Banna lebih dikenal sebagai penulis dan pemikir liberal, bahkan ia juga dianggap berani menggugat ajaran-ajaran pokok yang telah baku dalam tatanan syari’at Islam. Secara terang-terangan ia kerap mengkritik perkara ijma’.
Sejak kecil ia melahap berbagai kajian dan bacaan. Setiap waktu ia habiskan untuk membaca dan menulis. Berdasarkan cerita yang berkembang di tempat kelahirannya, nama Jamaluddin yang diberikan lantaran orang tuanya menyimpan harapan besar agar kelak ia menjadi tokoh revolusioner seperti Jamaluddin al-Afghani. Bahkan tak jarang ayahnya memanggil dengan sebutan “Afghani”.
Kecintaannya dalam dunia literasi menghasilkan ratusan karya dari berbagai bidang, salah satunya dalam isu gender. Ia melahirkan buku dengan judul al-Mar’ah al-Muslimah bayna Tahrir wa Taqyid al-Fuqaha yang terbit pada tahun 1999, kemudian di tahun 2002 ia menerbitkan buku dengan isu yang sama berjudul “Al-Hijab” dan pada tahun 2005 ia kembali menuangkan gagasan feminismenya dengan menerbitkan karya yang berjudul Jawaz Imamah al-Mar’ah ar-Rajula.
Dalam menulis karya-karya tersebut, ia menyelipkan doa dan harapan agar kelak karya-karyanya dapat membuka cakrawala pemikiran masyarakat terutama umat Muslim tentang pandangannya terhadap perempuan.
Empat Pemikiran Feminis Jamal al-Banna
Berbicara tentang pemikiran feminis Jamal al-Banna, tidak bisa dilepaskan dari karya utamanya yang berjudul Al-Mar’ah al-Muslimah bayna Tahrir al-Qur’an wa Taqyid al-Fuqaha. Karya tersebut membicarakan tentang bagaimana para fuqaha telah membatasi ruang gerak perempuan di saat al-Qur’an justru malah membebaskannya. Buku tersebut membahas setidaknya ada empat isu: hukum keluarga, peran sosial perempuan, hijab, dan poligami.
Pertama, pembahasan hukum keluarga. Baginya, keluarga dianggap sebagai hal yang sangat krusial karena dari keluargalah generasi tumbuh dan berkambang. Dalam hukum keluarga terdapat masalah perkawinan, Jamal mengkritik masalah konsep perkawinan yang telah dirumuskan dalam berbagai literatur fiqih klasik. Ia mengkritik berbagai definisi perkawinan yang hanya menitikberatkan pada hal seksualitas saja. Sedangkan para fuqaha kurang memperhatikan tujuan dari perkawinan yang telah dirumuskan oleh al-Qur’an. Menurutnya, jika dipresentasikan pembahasan hanya 2% saja sisanya 98% membahas kehidupan bersama sebagai pasangan suami istri.
Kedua, dalam permasalahan peran sosial perempuan. Menurutnya, perempuan berhak untuk berperan dalam berbagai bidang. Jamal menyandarkan pemikirannya pada QS. an-Nisa ayat 32 yang menurutnya, ayat tersebut tidak merincikan bidang apa saja yang menjadi bagian dari perempuan. Maka perempuan berhak berperan dalam berbagai bidang termasuk dalam bidang politik.
Ia memberikan argumentasi normatif bahwa wilayah politik bukanlah wilayah yang haram bagi perempuan. Ia memberikan fakta sejarah bahwa banyak perempuan yang menjadi pemimpin bahkan lebih sukses dari laki-laki. Pada sebagian kecil narasinya ia mencontohkan peristiwa politik yang melibatkan perempuan seperti pada pemerintahan Ratu Hasabut dari Mesir, Katrina dari Rusia, Elizabeth dan Victoria II kemudian dalam al-Qur’an dijelaskan pula ada ratu Saba.
Ketiga, dalam masalah hijab. Jamal mengemukakan bahwa hijab dan cadar merupakan produk budaya dan bukan ajaran agama. Semua jenis pakaian termasuk hijab dan cadar merupakan produk dari budaya yang menjadi tuntunan dan moral.
Tetapi di zaman sekarang, sebagaimana dipraktikkan mayoritas umat Islam dunia, jilbab diartikan sebagai ekspresi berpakaian di publik dan selama itu tidak untuk mengekang dan melarang aktivitas perempuan, jilbab adalah baik dari sisi Islam dan bisa dilestarikan.
Baginya, jilbab bukan sesuatu yang utama dalam Islam. Dia mengkritik para pejabat dan pemuka agama yang memaksa dan menghukum perempuan yang tidak berjilbab atau salah dalam berjilbab. Menurutnya, Jilbab adalah baik dan dianjurkan dalam Islam. Tetapi implementasinya ada dalam wilayah hak perempuan, bukan laki-laki, apalagi negara. Biarkan perempuan, masing-masing individu, yang memahami jilbab dan mendefinisikan bentuk, model, dan cara berjilbab. Benar ataupun salah, biar menjadi tanggung-jawab perempuan. Sebagaimana cara berpakaian laki-laki juga menjadi wilayah hak masing-masing individu laki-laki. Yang lain boleh memberi masukan, tetapi sama sekali tidak boleh memaksa.
Keempat, tentang poligami. Jamal menyatakan bahwa selama ini surat an-Nisa ayat 3 telah dijadikan argumentasi normatif para pendukung praktik poligami. Padahal ayat tersebut sama sekali tidak menganjurkan apalagi mewajibkan. Jika dilihat dari sisi historisnya, ayat terebut berbicara tentang masalah keadilan untuk perempuan janda dan anak-anak yatim yang kemudian diperkuat denga ayat lain pada surat yang sama.
Ayat tersebut turun ketik dalam konteks perang Uhud yang mana 10% dari 700 kaum laki-laki gugur dalam medan perang dan meninggalkan istri beserta anak-anaknya. Karena itulah ayat tersebut turun untuk menjamin kesejahteraan dan perlindungan terhadap janda-janda dan anak-anak yatim yang ditinggalkan.
Pemikiran-pemikiran tersebut yang telah memposisikan dirinya disebut pemikir Islam yang humanis, liberalis, dan feminis. Dari spirit ide feminisnya, Jamal ingin membebaskan perempuan dari belenggu budaya dan pemahaman agama. Ia berani keluar dari zona pemahaman mayoritas.
Editor: Soleh