Di era sosial media ini, mempunyai ketertarikan untuk belajar filsafat agaknya bisa dikatakan sebuah privilese tersendiri bagi sebagian orang. Bagaimana tidak? Alih-alih era media sosial yang notabene menyediakan hal-hal pragmatis dan secara tersirat mendegadrasi kemampuan berpikir kritis, orang-orang yang belajar filsafat tetap teguh dan sabar berkutat dengan istilah-istilah abstrak, beragamnya kebijaksanaan, serta teks-teks yang kadang membuat pusing tujuh keliling demi mendapatkan pemahaman universal tentang hakikat kehidupan.
Selain itu, dampak ketika belajar filsafat juga sangat signifikan terhadap sifat dari pemikiran seseorang. Meskipun salah satu nilai instrinsik dari belajar filsafat adalah supaya pikiran terbuka dengan banyak hal, tetapi tak sedikit pemikiran seseorang yang ketika belajar filsafat justru menjadi fanatik buta. Problematika semacam itu bukan berarti lalu menganggap filsafat sebagai kajian yang berbahaya untuk pelajari. Sebagai seorang pemula yang belajar filsafat seperti saya, yang kita butuhkan adalah cara belajar dan mengkurasinya.
Berdasarkan pengalaman pribadi dan mempelajari metode-metode belajar filsafat di berbagai literatur dan ceramah oleh para ahli, saya akan menuangkan rangkumannya dalam tulisan ini. Bukan berarti cara-cara yang akan saya paparkan di sini absolut efektif. Namun, saya menjamin paling tidak ke depannya kita tidak bingung-bingung amat, dan akan lebih bersemangat lagi menjelajahi pemikiran para filsuf yang arif dan mendalam, meskipun tidak lepas dari sifatnya yang rumit.
Pertama, Pentingnya Sebuah Kamus
Kebijaksanaan para filsuf tentu tidak lepas dari pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam sebuah tulisan. Sebagai pengantar untuk cara mengkurasi, menurut saya pertama-tama alangkah lebih baiknya jika merujuk pada bahasa. Pada umumnya buku atau tulisan-tulisan bertajuk filsafat, cenderung berisi istilah-istilah asing dan abstrak. Oleh karenanya, penting bagi siapapun yang hendak mempelajari pemikiran para filsuf lewat buku adalah dengan menyediakan kamus.
Mungkin, bagi yang sudah pernah membaca buku filsafat dan menggunakan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pernah mengalami semacam ketidaksesuaian antara kosa kata di KBBI dengan yang ada di dalam buku. Meskipun tidak semuanya kosa kata yang disediakan KBBI itu tidak relevan dengan kosa kata yang ada di buku filsafat, anjuran berdasarkan pengalaman saya adalah sediakan kamus yang khusus untuk filsafat. Tenang saja, kamus filsafat sudah banyak tersedia di toko-toko online maupun offline, begitu pula dengan harganya yang lebih bersahabat untuk sekelas buku kamus.
Kedua, Simulasi dan Kontekstualisasi
Peradaban filsafat jika dilihat secara historis, kita akan menemukan banyak sekali keragaman kebijaksanaan para filsuf, dari mulai yang saling berdebat hingga yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Tepat di situ mungkin kita akan bingung: Kebijaksanaan manakah yang harus kita ambil? Atau, bagaimanakah cara memilih dan memilah kebijaksanaan yang tepat untuk kita terapkan? Tenang saja, suatu hal yang wajar memang sebagai pemula mengalami situasi semacam itu.
Tak usah heran, karena di situlah serunya belajar filsafat. Di satu sisi kita dituntun untuk memahami pemikiran para filsuf, di sisi yang lain juga dituntun untuk merefleksikan pemikiran para filsuf terhadap apa yang sedang kita alami. Hal semacam itu yang disebut oleh para ahli dengan simulasi. Dengan kata lain, ketika kita sudah memahami pemikiran salah satu filsuf, coba kita simulasi pemikirannya: Kira-kira bagaimana jika pemikiran itu digunakan untuk menghadapi permasalahan hidup kita.
Tetapi, penerapannya akan menjadi sulit jika kita tidak memahami kondisi sosial atau latar belakang dari lahirnya pemikiran para filsuf itu. Maka selain simulasi, yang juga perlu kita lakukan adalah kontekstualisasi. Sejauh yang saya tahu, kebanyakan buku filsafat selalu menyertakan deskripsi latar belakang seorang filsuf. Jikalaupun memang di bukunya tidak ada, saya sangat menganjurkan agar jangan malas-malas mencarinya di internet, atau kalau mau lebih khusus di Stanford Encyclopedia of Philoshopy.
Ketiga, Mengkritisi
Para filsuf adalah manusia biasa seperti kita, yang artinya juga mempunyai keterbatasan dalam banyak hal. Ini penting kita internalisasi, sebab tak sedikit orang yang belajar filsafat justru seakan-akan menganggap para filsuf seperti Tuhan. Meskipun kebijaksanaan mereka mengandung nilai universalitas, tetapi di beberapa situasi kebijaksanaan itu pasti mempunyai kelemahan dan kekurangan. Maka, supaya kita tidak sampai terjerumus kesitu, kita perlu mengkritisinya terlebih dahulu sebelum mengambilnya.
Memang, secara personal kemampuan kita dalam berpikir belum sama seperti para filsuf. Akan tetapi, secara manusiawi, kita mampu untuk mengkritisi atau setidaknya mencari celah di mana pemikiran si filsuf itu mempunyai kekurangan dan kelemahan. Bukan lantas kita mejadi megalomania, yang akhirnya berlagak seperti filsuf abal-abal. Upaya mengkritisi ini agar kita memahami partikel-partikel dalam pemikiran si filsuf, dan memilih yang relevan untuk diterapkan dalam hidup kita sendiri. Bagian ini rumit, tapi bukan berarti sulit. Hanya saja butuh ketekunan, kesabaran, dan keberanian untuk melakukannya.
Keempat, Mengalami
Setelah sebelumnya sebuah cara berkutat pada mode rasionalisasi, di bagian akhir ini saya menyodorkan mode mengalami. Tidak terlalu membutuhakan tahapan-tahapan yang rumit untuk mengambil kebijaksanaan para filsuf. Kita cukup memahaminya, lalu menerapkannya secara langsung pada realitasnya. Misalnya saja kita sudah memahami kebijaksanaan Kierkegaard yang menyuruh untuk jangan berkerumun agar bisa autentik. Tetapi, ketika menerapkannya, kita justru tambah gelisah karena tipologi pribadi kita cenderung ekstrovert. Maka, bisa jadi kita cocok dengan kebijaksanaan Jurgen Habermas yang menyuruh kita untuk berkomunikasi/bersosialisasi secara kritis agar bisa autentik.
Cara yang demikian memang pahit, kita sebagai manusia kadang kala cenderung takut dengan sesuatu yang tidak sesuai ekspektasi karena harus mengalami terlebih dahulu. Cara-cara semacam itu biasanya relatif cocok dengan tipikal orang lapangan yang berani; orang-orang yang enggan berkutat pada kerumitan teori, karena ingin langsung paham tentang yang sebenarnya terjadi pada realitas. Makanya tak heran, kalau cara tersebut menjadi alternatif yang terkesan tanpa basa-basi.
Kesimpulan
Cara-cara tadi bukan berarti harus semuanya digunakan. Silakan mau menggunakan cara yang mana, syukur-syukur jika bisa operatif dengan semua cara-caranya. Kalaupun dirasa apa yang saya paparkan di atas terkesan masih rumit, maka tenang saja, saya pribadi dulunya pernah merasakan kesan seperti itu.
Filsafat memang sesuatu yang agaknya hanya untuk orang tertentu; bagi siapa yang ingin bertamasya dalam taman-taman tanpa jalan yang menentu. Oleh karenanya, dengan adanya cara-cara yang sudah saya paparkan tadi, barangkali bisa menjadi kacamata untuk melihat, bahwa sebenarnya filsafat tidak hanya bisa dinikmati oleh orang-orang tertentu.
Editor: Yahya