IBTimes.ID – Retno Listyarti, Komisioner Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam webinar daring yang diadakan oleh Indomedia Poll menyampaikan data dari KPAI. Webinar yang diadakan pada Selasa (30/6) ini mengangkat tema “Refleksi Kebijakan Mendikbud: Mas Nadiem Bisa Apa?”
Hasil Survey KPAI
KPAI melakukan survey yang diikuti oleh 602 guru dan 1700 siswa. Hasil dari survey tersebut, diataranya 56,9% responden tidak mengetahui adanya platform gratis “Rumah Belajar” dari Kemendikbud.
Selain itu, korban dari pembelajaran jarak jauh bukan hanya siswa, melainkan juga guru. Dari survei ini, 17% guru tidak mendapatkan bimbingan apapun dari pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan. Sebanyak 79,9% responden siswa mengaku tidak ada interaksi dengan guru dan murid. “Artinya guru hanya memberikan tugas, dan murid harus mengerjakan. Bagi yang berinteraksi, 87,2% hanya berinteraksi melalui chatting. Sisanya menggunakan aplikasi Zoom dan telepon,” ujarnya.
Retno menyampaikan bahwa 73,2% responden merasa berat dengan tugas yang diberikan oleh guru selama PJJ. Sedangkan yang merasa tidak keberatan hanya 26,8%. 77% responden siswa mengaku tugasnya menumpuk karena banyak guru yang memberikan tugas. Sebanyak 42,2% mengaku tidak mampu membeli kuota internet, 15,5% mengaku tidak memiliki peralatan yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas, dan 37,1% responden mengaku tugas diberikan dalam waktu yang sempit sehingga mereka terlalu lelah mengerjakan. Dan sebanyak 76,7% responden mengaku tidak senang dengan belajar secara daring.
Evaluasi dan Perbaikan PJJ
Dalam Rapat Koordinasi Nasional, KPAI mendorong beberapa hal. Pertama, KPAI ingin pemerintah menggratiskan kuota internet untuk keperluan PJJ. Tujuannya agar semua anak terlayani dengan baik. Sedangkan untuk pemerintah daerah, mereka mendorong agar wifi di sekolah negeri maupun swasta di buka secara umum bagi siapapun agar lebih mudah untuk digunakan.
Kedua, mereka meminta pemerintah memperpendek jam belajar. PJJ bukan memindahkan sekolah ke rumah, jadi sebaiknya sekolah menyusun jam pelajaran agar efektif dan efisien. Misalnya, PJJ tidak harus memindahkan jam belajar di sekolah selama 10 jam, lalu anak juga menjalani 10 jam dengan 5 guru secara bergantian dan bahkan memakai seragam sekolah selama proses PJJ.
Ketiga, KPAI mendorong agar guru fleksibel dalam proses PJJ, termasuk waktu mengumpulkan tugas dan waktu mengerjakan ulangan atau ujian. Keempat, praktik langsung ke sekolah saat belajar dari rumah. Hal ini berlaku untuk pendidikan vokasi yang membutuhkan praktik di bengkel dan jurusan IPA yang harus prakktik di laboratorium.
Kelima, penyederhanaan kurikulum 2013 menjadi kurikulum dalam situasi darurat. Keenam, penggunaan dana desa untuk pendidikan di masa pandemi. Hal ini sudah berlaku di beberapa daerah, namun belum merata.
Retno menyarankan jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak bisa berjalan sendiri, maka ia bisa menggandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes). Ia memberikan contoh dari 608 ribu siswa, 54% tidak bisa daring. Bahkan, di Bogor, kota yang masih dekat dengan Jakarta, 11% tidak mampu daring. Artinya ini menjadi wilayah Kemendikbud bersama Kemkominfo dan Kemendes.
“Ketika PJJ diperpanjang sampai Desember, maka sistemnya harus diperbaiki. Akan sangat berbahaya jika PJJ diperpanjang tetapi tidak ada upaya-upaya perbaikan,” tutupnya.
Reporter: Yusuf R Y