IBTimes.ID – Maqasid syariah Islam selama ini lebih menekankan aspek penjagaan dan pelestarian, tetapi kurang menekankan aspek development (pengembangan) dan human right (hak asasi manusia). Padahal, dalam kerja-kerja kebencanaan, yang diperlukan adalah development.
Selain itu, maqasid syariah juga sering ditekankan dalam aspek individu. Tidak untuk masyarakat, apalagi kemanusiaan. Padahal, maqasid syariah untuk kemanusiaan itu berada di tingkat yang lebih tinggi daripada untuk individu.
Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Guru Besar Ilmu Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam acara Tadarus MDMC pada Sabtu, (1/5) malam, dengan tema Islam Progresif dan Peran Lembaga Kemanusiaan.
Amin Abdullah mengawali paparannya tentang Islam Progresif dengan mengajak peserta untuk melihat landasan teoritisnya. Yaitu tentang maqasid syariah dari kerja-kerja kemanusiaan dalam kebencanaan.
“Pemahaman muslim terhadap maqasid syariah yang lama itu penekanannya juga cenderung untuk individu, belum untuk masyarakat apalagi kemanusiaan yang merupakan tingkat pemikiran lebih tinggi. Nilai-nilai paling universal dan mendasar seperti keadilan itu kadang-kadang sulit difahami,” kata Amin Abdullah.
MDMC dengan kerja-kerja kemanusiaannya dalam lingkup kebencanaan, menurut Amin Abdullah sudah berada dalam jalur yang benar menurut pandangan maqashid syariah yang baru.
“MDMC tidak lagi terjebak lagi dalam pandangan muslim non muslim, kemanusiaan adalah kemanusiaan, itu tanpa syarat. Begitu ada bencana ya harus dibantu, tanpa pandang bulu,” imbuhnya.
Enam Karakteristik Muslim Progresif
Dilansir dari Muhammadiyah.or.id, ia menyebut ada enam karakteristik muslim progresif ijtihadis atau Islam Berkemajuan. Pertama, mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Muslim saat ini.
“Kedua, cenderung mendukung perlunya fresh ijtihad dan metodologi baru dalam ijtihad untuk menjawab permasalahan permasalahan kontemporer. Ketiga, mengkombinasikan kesarjanaan Islam tradisional (turats) dengan pemikiran dan pendidikan modern (tajdid),” ujar Amin Abdullah.
Keempat, imbuh Amin Abdullah, berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah intelektual, moral, hukum, ekonomi atau teknologi, harus tergambar jelas dan terefleksikan dalam hukum Islam.
Kelima, tidak mengikutkan dirinya pada dogmatisme atau madzhab hukum dan teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya. Keenam, meletakkan titik tekan pemikirannya pada keadilan sosial, keadilan gender, HAM dan relasi yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim.
Pria kelahiran Pati, Jawa Tengah tersebut mengingatkan kepada para peserta untuk membedakan antara Islam progresif dengan sekulerisme.
“Sekulerisme apa yang kita lakukan tidak ada hubungannya dengan agama. Kalau Islam progresif, etika dan value berhubungan erat dengan agama. Muslim progresif terikat secara mendalam dengan etika agama, sedangkan sekulerisme mencabut agama seakar-akarnya,” pungkasnya.
Reporter: Yusuf