Perspektif

Epistemologi Ramadhan dan Momentum Soliditas Keluarga

3 Mins read

Di tengah pandemi Covid-19 yang melanda negeri, Ramadhan 1441 H terasa spesial. Karena seluruh anggota keluarga beribadah di rumah. Tadarrus, tarawih, sahur, berbuka, dhuha, semua dikerjakan di rumah. Ramadhan tahun ini menyajikan momentum soliditas keluarga.

Namun, semangat beribadah di rumah, seharusnya tetap disertai kepedulian terhadap sesama. Tentu tidak dengan cara berjumpa langsung. Minimal silaturrahim via medsos. Peduli bila kolega dan sahabat membutuhkan uluran bantuan. Karena sejatinya, puasa Ramadhan itu dimaksudkan sebagai ruang penggemblengan ruhani pribadi-pribadi mukmin agar menjadi bertakwa (tattaqun), berilmu (ta’lamun), bersyukur (tasykurun), memperoleh kebenaran (yarsyudun), dan beruntung atau sukses (tuflihun). Penggemblengan ini bila ditelaah secara filosofis bisa saja disebut sebagai epistemologi Ramadhan.

Epistemologi Ramadhan

Ramadhan adalah salah satu bulan yang disucikan dalam tradisi masyarakat di Asia Tengah. Pada bulan-bulan yang disucikan ini dilarang bertikai, berperang dan menumpahkan darah. Ini adalah bulan perdamaian dan mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam. Puasa disyariatkan pada bulan Ramadhan. Dengan dua alasan khusus.

Pertama, dalam sejarah masyarakat Asia Tengah, Hijaz khususnya, Ramadhan memang merupakan bulan ibadah. Maka ketika bulan Ramadhan, banyak sekali di antara masyarakat yang menyepi (tahannuts) di beberapa tempat yang keramat. Rasulullah Saw., memiliki kebiasaan ini juga. Peristiwa pewahyuan Al-Qur’an terjadi ketika Rasululllah sedang bertahannuts di Hira’.

Kedua, kata Ramadhan sendiri secara bahasa bermakna membakar. Dimaksudkan sebagai proses, ruang, dan waktu membakar hawa nafsu, serta menggemblengnya menjadi hawa nafsu yang tenang (muthmainnah), ridla (radliyah), dan tunduk patuh dengan petunjuk Allah (musawwalah).

Epistemologi Ramadhan dengan demikian adalah proses subjek mukmin mencari serta mempertanyakan apa sumber pengetahuan dalam ruang-waktu penggemblengan ruhaninya itu. Dengan metode apa pengetahuan ruhaninya itu diketahui? Apakah kebenaran pengetahuan ruhaninya nyata ada dalam realitas dunia atau hanya ilusi? Apakah pengetahuan ruhaninya benar? Dan bagaimana cara membedakan pengetahuan ruhani ini benar atau salah?

Baca Juga  Covid 19: Alarm untuk Memanusiakan Manusia

Dengan demikian, epistemologi Ramadhan membawa pribadi mukmin ke dalam dialog reflektif dan dialog teleologis dengan dirinya sendiri dalam rangka meraih pengetahuan ruhaninya. Sebagaimana Al Qur’an uraikan iman, ibadah, dan aktifitas apapun yang dilakukan oleh seorang mukmin adalah untuk pencerahan dirinya sendiri. Pencapaian pengetahuan untuk kesalehan pribadi.

Epistemologi Ramadhan Sebagai Dialog Reflektif dan Teleologis

Maulana Jalaluddin Rumi pernah berpetuah kepada murid-muridnya: “Bila kalian dapati apa yang kusampaikan bukanlah sesuatu yang telah kuamalkan secara istikamah, pasti itu bukanlah pengetahuan ruhaniku. Bukan sulukku. Karena pengetahuan sejatiku adalah ilmu yang telah kuamalkan secara ajeg sebagai suluk pencerahanku.” Pengetahuan memang untuk diamalkan. Tanpa diamalkan, pengetahuan hanya jadi catatan sejarah. Bukan kesadaran sejarah.

Dalam bahasa teknis, dalam membangun epistemologi, pasti ada relasinya dengan ontologi (ada atau objek) dan aksiologi (akhlak dan nilai). Epistemologi Ramadhan sebagai proses pencapaian pengetahuan, agar menjadi pencerahan ruhani, harus ada relasinya dengan pengetahuan tentang hakekat ada (Tuhan dan alam semesta). Pengetahuan itu kemudian harus melekat menjadi amal yang berdampak pada kesalehan (akhlak) baik secara pribadi ataupun sosial.

Pengetahuan yang telah diraih subjek mukmin dan berdampak kepada kesadaran akhlak berupa kesalehan pribadi dan sosial, menunjukkan mukmin tersebut telah memiliki kecerdasan komprehensif dan holistik, yaitu: Intelligent Quotion (IQ), Emotional Quotion,  (EQ), dan Spiritual Quotion (SQ). Dia sedang mencitrakan diri meneladani Rasulullah Saw. Uswah terbaik pribadi berpengetahuan dengan kecerdasan komprehensif dan holistik di atas.

Kecerdasan ini hadir menyatu dalam pribadi mukmin, bukan hadir parsial. Dengan demikian, kesadaran akhlak tumbuh dari fondasi pengetahuan yang tumbuh dari pribadi yang cerdas secara komprehensif dan holistik ini. Pengetahuan yang lahir dari seseorang yang selalu fokus pada kematangan teoritik, kematangan rasa dan terapan, serta kematangan emosi dan kekuatan spiritual.

Baca Juga  Bahagia ala Epictetus yang Perlu Kita Pelajari

Dalam konteks Ramadhan, seluruh amaliyah puasa di rumah sejak sahur hingga berbuka, entah diisi dengan tadarrus Al Qur’an, tarawih berjamaah, belajar dan berdialog keakraban dengan keluarga, qiyamul lail, dan ibadah sunnah lainnya, sejatinya menggembleng pribadi mukmin untuk meraih pengetahuan sebagai fondasi akhlak ini. Sebagai basis kesalehan pribadi dan sosial. Pengetahuan sebagai fondasi akhlak itu lahir dari proses epistemologis, yaitu dialog reflektif dan teleologis.

***

Proses bertakwa (tattaqun), berilmu (ta’lamun), bersyukur (tasykurun) sampai dengan memperoleh kebenaran (yarsyudun) adalah proses dialog reflektif dengan diri sendiri. Sedangkan beruntung atau sukses (tuflihun) adalah proses dialog teleologis.

Dalam dialog reflektif, seorang mukmin diharapkan mampu menjadikan realitas di luar dirinya sebagai i’tibar (pelajaran dan hikmah sejarah), bukan sekadar kisah sejarah. Pribadi mukmin ini terus belajar menggali dan menjadikan pengetahuannya sebagai dasar bertindaknya. Dengan demikian, dia tidak akan tergelincir ke dalam kubangan hawa nafsunya kembali. Inilah yang disebut pencapaian mikraj ruhani. Pendakian kesalehan hakiki.

Dialog reflektif ini belum cukup. Pencapaian mikraj ruhani dan kesalehan hakiki oleh pribadi mukmin belum cukup jika hanya dinikmati secara pribadi. Dia harus menularkannya secara positif kepada khalayak luas. Menjadikannya pencerahan yang bersifat publik. Oleh karena itu, dialog teleologis adalah dialog dengan diri sendiri untuk mengeksplorasi manfaat dan tujuan dari pencapaian kesalehan pribadi kepada dan untuk publik. Upaya seorang mukmin untuk memperluas bentuk dan daya jangkau kebermanfataannya di ruang publik.

Menariknya, di tengah pandemi Covid-19, pada puasa tahun ini, epistemologi Ramadhan dimulai dari soliditas keluarga. Bayangkan seluruh anggota keluarga masyarakat Indonesia bersama-sama membangun kesalehan individu dan sosial yang solid. Dalam rangka menikmati keberuntungan dan kesuksesan bersama keluarga, handai tolan dan seluruh sahabat. Terutama beruntung dan sukses dunia akhirat. Maka, epistemologi Ramadhan dalam soliditas kesalehan keluarga, tentu akan menjadi keberkahan dan pencerahan bagi semesta sejarah seluruh umat manusia. Wallahu a’lam.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds