Berbicara mengenai ekonomi, tentu tidak terlepas dari pengaruh sebuah lingkungan. Karena lingkungan merupakan komponen terpenting dari sistem ekonomi. Untuk melakukan suatu produksi, sumber atau bahan-bahan baku sebagian besar didapat dari alam. Seperti hasil pertambangan, pertanian, dan perkebunan. lingkungan merupakan faktor utama dari suatu kegiatan perekonomian.
Keterkaitan antara ekonomi dan lingkungan ibarat dua mata uang yang tidak terpisah, keduanya saling melengkapi. Namun, apabila tidak ada keseimbangan di antara keduanya dapat memberikan dampak negatif.
Jika manusia tidak berproduksi, tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, apabila manusia berlebihan dalam berproduksi hingga mengeksploitasi secara tidak wajar, dapat merusak lingkungan dan mengancam kelangsungan makhluk hidup di permukaan bumi.
Saat ini, dunia sedang gencar membicarakan tentang environmental ethics atau etika lingkungan. Mengutip majalah Greenpeace, sekitar 4,5 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat polusi udara dari bahan bakar fosil. Terutama batubara, minyak, dan gas.
Ini merupakan suatu fenomena yang terus mengancam eksistensi kehidupan umat manusia dan juga makhluk hidup lainnya. Tak heran jika seorang gadis belia Greta Thunberg, aktivis iklim Swedia menentang keras pemimpin-pemimpin dunia yang terus melanggengkan pabrik-pabrik kapitalisme yang menimbulkan kerusakan terhadap alam.
Mungkin, alam dan lingkungan dipandang seperti benda mati dan dianggap sebagai inferior dan subordinatif.
Dari sini dapat diketahui, bahwa ekonomi global saat ini hanya mengedepankan keuntungan belaka (Profit Oriented) dengan terus menerus mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam.
Tak heran apabila mesin pabrik tidak pernah berhenti, asapnya mengeluarkan karbon mencemari udara dan limbahnya mengeluarkan zat-zat beracun yang mencemari air dan tanah. Inilah pembangunan ekonomi yang tidak berwawasan terhadap lingkungan.
Instrumen Ekonomi Islam
Ajaran agama Islam merupakan ajaran agama holistik (luas dan menyeluruh) yang mengatur segala aspek kehidupan, baik ibadah maupun muamalah. Islam juga telah mengajarkan kepada manusia tentang tatacara berekonomi yang dapat menumbuhkan nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, dan juga keseimbangan terhadap alam.
Syed Nawab Haider Naqvi, pemikir ekonomi Islam kontemporer, menjelaskan berdasarkan frame etika. Bahwa nilai etis dalam ekonomi Islam meliputi: kesatuan (tauhid), keseimbangan dan kesejajaran, (al-‘adl wa al-ihsan), kehendak bebas (ikhtiyar) dan tanggungjawab (fardh).
Berdasarkan nilai etis tersebut, selain mengatur aspek hubungan antara manusia dengan tuhannya, manusia dengan dirinya, dan manusia dengan orang lain, nilai etis ekonomi Islam juga mengatur keseimbangan (mizan) terhadap alam.
Di Era Globalisasi ini, dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat, manusia memiliki kemampuan yang dahsyat untuk mengubah lingkungan sesuai yang diinginkannya. Jika eksploitasi sumber daya alam (SDA) untuk kepentingan ekonomi dilakukan terus menerus tanpa memperhatikan dampaknya, maka dapat merusak tatanan ekosistem.
Apabila tatanan ekosistem sudah rusak, tidak hanya manusia yang dirugikan. Makhluk hidup seperti hewan dan tumbuhan juga merasakan akibatnya. Disinilah terjadinya ketidak seimbangan terhadap alam.
Buya Hamka juga menjelaskan nilai-nilai etis ekonomi Islam terhadap keadilan, kebebasan, kemerdekaan, dan keseimbangan untuk alam. Dalam memandang harta misalnya, kepemilikan harta yang sejati hanyalah milik Allah SWT.
Adapun manusia, baik sebagai individu maupun kelompok (masyarakat), hanyalah memiliki hak untuk menggunakannya dan memelihara sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi, dan harta hanyalah pinjaman (Hamka, 2015: 2-3).
Dalam mendapatkan harta pun, tidak sembarangan menurut Hamka. Usaha merupakan cara pertama yang dimiliki oleh manusia untuk memiliki harta. Dan ini dikuatkan dengan anjuran agama dalam berusaha (QS. An-najm[53]: 39), “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya,”; (QS. Al-Baqarah[2]: 202), “Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan”.
***
Tentu dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, dan sesuai kesepakatan umum. Beberapa bentuk usaha yang dilakukan oleh manusia dalam mendapatkan harta meliputi beberapa hal berikut: a) Berburu dan memancing, b) Pertanian, c) Pertambangan, d) Harta rampasan (perang), e) Jasa dn wirausaha, f) Tanah pemerintah yang diusahakan g) Warisan atau wasiat, dan h) Zakat (Hamka, 2015: 81-92).
Delapan jenis itulah yang diakui oleh Islam sebagai sumber kepemilikan harta halal. Sedangkan, cara-cara yang lain seperti mencuri, menipu, mengumpat, dan merampok, berspekulasi (ikhtikar), riba adalah sumber kepemilikan harta yang dilarang dalam Islam dan dianggap sebagai harta haram (Hamka, 2015: 95-99).
Secara eksplisit, tentang keseimbangan terhadap alam, mungkin tidak spesifik dijelaskan oleh Hamka. Namun, jika ketika menyadari kepemilikan harta sejatinya hanyalah milik Allah swt dan manusia hanya sebagai wakil Allah (khalifatullah) untuk mengelolanya dengan baik, niscaya manusia segera sadar.
Perlombaan dalam menumpuk harta hingga mengaleniasikan alam demi memenuhi hawa nafsu pasti tidak akan tercapainya keseimbangan alam dengan baik.
Walaupun menurut Hamka dalam mendapatkan harta diperbolehkan dengan cara bertani dan bertambang, namun harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan sesuai dengan kesepakatan umum.
Pertumbuhan ekonomi hendaknya harus berwawasan terhadap lingkungan, sehingga alam tidak teralienasi, tercemari dan tereksplotasi dengan tidak wajar. Dan pada akhirnya, keharmonisan antar makhluk hidup dan alam dapat terjalin dengan baik.
afwan, bolehkah saya mengetahui judul buku karya buya hamka yang sender kutip di artikel ini?