Bagi sebagian orang, luka di masa lalu menjadi motivasi terbesar untuk berbuat sesuatu di masa depan. Sebagian seniman mengatakan bahwa luka membuat mereka mampu membuat karya yang besar. Kisah pahit kehidupan Zainudin dalam Tenggelamnya Kapan Van der Wijck membuatnya mampu menulis maha karya berjudul Teroesir.
Dalam kehidupan nyata, ada Pramoedya Ananta Toer. Ia merupakan tahanan politik era orde baru yang dibuang ke Pulau Buru. Di Buru, Pram justru berhasil membuat mahakarya yang hari ini kita kenal dengan Tetralogi Pulau Buru.
Profil Farid Esack
Hal yang kurang lebih sama dialami oleh intelektual Islam besar dari Afrika. Ia bernama Farid Esack. Kini, Esack menjadi pengajar di University of Western Cape, Afrika Selatan. Ia juga menjadi dosen tamu di berbagai universitas terbaik dunia seperti Harvard, Oxford, Chambridge, Birmingham, Amsterdam, Cairo, Moscow, dan Karachi. Meskipun demikian, Esack lebih senang disebut sebagai “aktivis” daripada “intelektual”.
Esack menjadi salah satu intelektual besar di dunia Islam. Padahal, ia lahir dari keluarga yang, untuk bisa bersekolah saja, sudah luar biasa. Saking miskinnya, ia tak jarang harus mengais makanan di tempat sampah.
Esack lahir pada tahun 1955 di Cape Town, Afrika Selatan. Ketika masih kecil, ayahnya tiba-tiba raib entah ke mana. Meninggalkan istri dan lima anak yang masih kecil. Keluarga yang sudah miskin sejak awal itu tambah terpuruk dengan kepergian ayah yang menjadi tulang punggung. Mereka hidup di tengah kawasan pekerja miskin berkulit hitam, di bawah kepemilikan rezim apartheid.
Sebagai orang kecil, ibu Esack bekerja sebagai buruh. Ia berusaha agar mampu menghidupi kelima anaknya. Tak jarang, sebagai keluarga muslim, ia mendapatkan makanan dari tetangganya yang beragama Kristen. Bahkan, keluarga Esack cukup bergantung kepada tetangga tersebut.
Tak hanya itu, keluarga Esack juga sering mendapatkan pinjaman dari orang Yahudi. Yahudi tersebut sering memberikan tenggat waktu yang sangat longgar bahkan hingga waktu yang tak terbatas bagi pinjaman uang maupun barang dari keluarga Esack.
Hidup di tengah kubangan kemiskinan dan di bawah rezim rasial apatheid membuat Esack mampu menelurkan gagasan teologi yang membebaskan. Tak hanya itu, ia juga bergumul bersama masyarakat Afrika dan komunitas lintas agama untuk melawan apartheid. Hidup di tengah kemiskinan dan kemelaratan membuatnya berpikir bahwa teologi bukan hanya tentang surga neraka, tetapi juga tentang kehidupan sosial budaya di atas muka bumi.
Pemikiran Hermeneutika Farid Esack
Di beberapa pesantren, santri biasa diajarkan tentang definisi Alquran. Salah satu definisi Alquran yang masyhur di sebagian pesantren adalah “wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad, ditulis dalam mushaf (al-maktub fil masahif), dinarasikan secara mutawatir dan mendapatkan pahala bagi mereka yang membacanya”. Ibnu Manzur, mendefenisikan al-Qur’an sebagai “perkataan Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril secara lisan”.
Esack tidak sepakat dengan penafsiran tersebut. Menurutnya, definisi tersebut membuat Alquran seolah-olah hanya merupakan bacaan semata. Alquran menjadi tidak memiliki makna praksis di dalam kehidupan sosial masyarakat. Padahal, menurutnya,, Alquran adalah wahyu yang turun dalam rangka merespon berbagai peristiwa di atas muka bumi.
Esack menyebut bahwa Alquran mengandung setidaknya tiga hal, yaitu teks, kontekstualiats makna, dan relevansi dalam kehidupan sosial. Alquran hadir sebagai petunjuk yang turun secara gradual. Ringkasnya, Alquran mengandung ajaran yang mementingkan perubahan sosial, tidak hanya mementingkan kesalehan individu dan hubungan manusia dengan Tuhan semata.
Makna Muslim dan Kafir Menurut Esack
Perdebatan tentang makna muslim dan kafir adalah salah satu perdebatan yang mencuri perhatian banyak orang. Di Indonesia, salah satu ormas Islam terbesar, NU, melarang penggunaan kata kafir. Menurut NU, sebutan kafir dapat menimbulkan berbagai polemik di tengah keberagamaan yang majemuk.
Keputusan tersebut menimbulkan banyak polemik. Banyak umat Islam di luar NU yang menganggap keputusan NU tidak sesuai. Sebagai inteletkual cum aktivis, Esack turut memberikan perhatian terhadap persoalan ini.
Menurut Esack, Islam bukanlah sebutan untuk kelompok etno-sosial tertentu. Sebutan Islam justru lebih dititikberatkan kepada usaha individu dalam memajukan kehidupan sosial. Islam bukan label yang khusus untuk komunitas muslim, melainkan label kepada siapapun yang merespon dan memenuhi panggilan Tuhan.
Sementara itu, menurut Esack, ada orang-orang kafir yang kafir secara sosio-politik. Yatu orang-orang yang menghalangi penegakkan keadilan di atas muka bumi. Orang yang kafir adalah orang yang melawan upaya para nabi dalam menegakkan keadilan dan kesejahteraan.
Kafir juga merupakan suatu sistem tirani yang akut, seperti rezim yang otoriter atau rasial. Selain itu, makna kafir adalah menolak memberikan sedekah pada anak yatim dan orang miskin, mendiamkan penindasan, dan apatis terhadap segala bentuk eksploitasi. Pemahaman ini merupakan konsekuensi dari teologi pembebasan yang telah ia tuangkan dalam berbagai karyanya.
Editor: Yahya