Sebentar lagi, tanggal 25 Desember 2020 akan ada Hari Raya Natal. Hari Raya Natal merupakan hari raya umat Kristen yang diperingati setiap tahunnya.
Biasanya terjadi sedikit kehebohan ketika menjelang hari raya natal di Indonesia. Kehebohan tersebut biasanya dialami oleh umat Islam di Indonesia. Kehebohan yang terjadi ketika menjelang Hari Raya Natal bagi umat Islam Indonesia adalah perdebatan tentang hukum mengucapkan selamat Natal dalam Islam.
Pada tulisan ini, penulis tidak akan membahas hukum mengucapkan selamat Natal dalam Islam. Karena penulis menyadari belum memiliki kompetensi yang memadai dalam hal menentukan hukum suatu perkara menurut ajaran Islam. Akan tetapi, di sini penulis akan membahas tentang asal mula fatwa larangan mengucapkan selamat Hari Raya Natal di Indonesia.
Tokoh ulama Indonesia yang sering diduga mengeluarkan fatwa larangan ucapan selamat Natal pertama kali adalah Buya Hamka.
Bahkan, ada juga narasi yang mengatakan kalau Buya Hamka mundur dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena tidak mau mencabut fatwa larangan ucapan selamat natal. Namun, benarkah hal itu? Jawabannya adalah tidak. Faktanya, fatwa larangan ucapan selamat natal bukan berasal dari Buya Hamka.
Buya Hamka pada zaman dahulu memang pernah mengeluarkan suatu fatwa yang kontroversial. Sehingga, membuat beliau lebih memilih mundur dari MUI ketimbang mencabut fatwanya tersebut.
Fatwa Buya Hamka
Fatwa Buya Hamka tersebut adalah“haram bagi umat Islam merayakan Natal bersama”. Coba lihat, fatwa yang dikeluarkan oleh Buya Hamka adalah larangan merayakan Natal bersama, bukan larangan mengucapkan selamat Natal.
Fatwa itu saya dapatkan dari buku yang berjudul Ayah, yang ditulis oleh seseorang yang bernama Irfan Hamka. Irfan Hamka merupakan putra kelima Buya Hamka. Oleh karena itu, penulis lebih percaya fatwa yang menyebabkan Buya Hamka mengundurkan diri dari MUI adalah fatwa tentang larangan merayakan Natal bersama, bukan fatwa larangan mengucapkan selamat Hari Raya Natal.
Sebab, sumber yang penulis baca lebih bisa dipercaya, daripada sumber yang tidak jelas dari narasi yang mengatakan bahwa Buya Hamka mengeluarkan fatwa larangan ucapan selamat Natal.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Buya Hamka tidak pernah mengeluarkan fatwa larangan ucapan selamat Natal, tetapi beliau mengeluarkan fatwa larangan merayakan Natal bersama.
Maksud dari larangan merayakan Natal bersama adalah haram hukumnya bagi umat Islam untuk merayakan Natal bersama orang-orang Kristen. Contohnya seperti ikut ke gereja, ikut bernyanyi, menyalakan lilin, dan mengikuti misa.
Fatwa larangan merayakan Natal bersama dikeluarkan oleh Buya Hamka karena pada waktu itu ada beberapa umat Islam dan Menteri Agama Indonesia yang ikut merayakan Natal bersama orang-orang Kristen karena diundang.
Namun, karena fatwa larangan merayakan Natal bersama tidak sejalan dengan pemerintah pada masa itu, maka pemerintah memerintahkan Buya Hamka untuk mencabut fatwa larangan merayakan Natal bersama atau mengundurkan diri dari MUI. Pada akhirnya beliau lebih memilih untuk mengundurkan diri dari MUI ketimbang mencabut fatwa yang telah dikeluarkannya tersebut.
Mengundurkan Diri dari MUI
Jadi, itulah fatwa yang menyebabkan Buya Hamka mengundurkan diri dari MUI, bukan fatwa larangan ucapan selamat Natal. Adapun narasi yang mengatakan bahwa Buya Hamka mengeluarkan fatwa larangan ucapan selamat Natal, penulis juga tidak tahu orang-orang mendapatkan sumber atau referensi seperti itu dari mana.
Sebaiknya, jika kita membaca suatu hal, apalagi yang berkaitan dengan sejarah, maka kita harus menggunakan sumber yang benar-benar dapat dipercaya. Jangan hanya menggunakan sumber yang tidak jelas dan abal-abal.
Kemudian, dalam hal hukum ucapan selamat Natal dalam ajaran Islam, alangkah lebih baiknya jika kita mengikuti salah satu pendapat dari ulama saja. Sehingga, perkara seperti ini tidak perlu diperdebatkan setiap tahunnya.
Editor: Lely N